PBNU-Muhammadiyah Menolak, MUI Ambil Sikap

ilustrasi miras. (net)

Gelombang penolakan dibukanya investasi minuman beralkohol bergulir. Kali ini, giliran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan sikap penolakan. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bakal menyampaikan tausiyah khusus soal investasi miras hari ini (1/3).

Sikap penolakan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Dia menyatakan, penolakannya secara tegas terhadap rencana pemerintah yang menjadikan industri minuman keras keluar dari daftar negatif investasi. Said mengatakan bahwa Al Quran telah jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak mudharat.

Said mengutip ayat Al Qurán Surat Al Baqarah ayat 195 yang artinya janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan. Dia mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus selalu berpijak pada kemaslahatan orang banyak.

”Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah. Kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat. Karena agama telah tegas melarang, maka seharusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik,” tandasnya.

Oleh karena itu, menurut Said, bahaya minuman beralkohol sudah jelas membawa berbagai dampak negatif. Maka, peredaran miras ini sudah seharusnya dicegah dan tidak boleh ditoleransi. ”Kalau kita rela terhadap rencana investasi miras ini, maka jangan salahkan kalau nanti bangsa kita rusak,” ucapnya.

Di bagian lain, Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mukti menuturkan, sebaiknya pemerintah bersikap arif dan bijaksana. Serta, dapat mendengar arus aspirasi masyarakat. ”Khususnya aspirasi dari umat Islam yang berkebaratan dengan diterbitkannya aturan itu,” jelasnya.

Dia berharap, pemerintah dalam membuka keran investasi tidak semata mempertimbangkan aspek ekonomi saja. Tetapi, juga mempertimbangkan dampak kesehatan, sosial, dan moral bangsa. Menurutnya, pemerintah bertanggung jawab menciptakan kesejahteraan material.

Kemudian, pemerintah juga wajib menjaga dan membina moralitas masyarakat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan mengatakan, rencananya hari ini (2/3) mereka menyampaikan tausiyah soal investasi miras tersebut. Bentuknya adalah tausiyah. Sebab, MUI sebelumnya pada 2009 lalu MUI sudah menerbitkan fatwa soal minuman keras atau minuman beralkohol haram.

Amirsyah juga mengatakan, MUI Provinsi Papua dan Papua Barat juga menyampaikan penolakan terhadap ketentuan investasi miras di dalam Perpres 10/2021 itu. Seperti diketahui di dalam lampiran III Perpres 10/2021 diatur bahwa investasi minuman beralkohol di empat provinsi. Yaitu di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas menyampaikan kekecewaan terhadap keputusan pemerintah mengubah industri minuman beralkohol (mihol). Dari sebelumya bidang usaha tertutup menjadi bidang usaha kategori terbuka. Keputusan itu dilandasi pertimbangan bahwa mihol masuk dalam daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini.

Menurut tokoh Muhammadiyah itu keputusan pemerintah tersebut lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha ketimbang rakyat. ”Semestinya pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelindung rakyat tentu tidak akan memberikan izin bagi usaha yang merugikan dan merusak masyarakat,” jelasnya.

Anwar menuturkan dengan keluarnya kebijakan tersebut, pemerintah dan dunia usaha memposisikan rakyat sebagai objek yang bisa dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan. Dia berharap, pemerintah saat ini fokus membangun kemaslahatan dan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk masyarakat.

Sebelumnya, Ketua MUI Cholil Nafis mengakui bahwa pada 2019 lalu MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa minuman beralkohol termasuk minuman keras hukumnya haram. Salah satu rekomendasinya adalah meminta pemerintah tidak mengeluarkan izin pendirian pabrik minol atau miras. Kemudian juga melarang peredarannya.

”Saya secara pribadi menolak investasi miras. Meskipun dilokalisir di empat provinsi saja,” katanya, Minggu (28/2). Sebab setelah diproduksi nanti produk minol beredar ke seluruh wilayah Indonesia. Menurut dia, nilai investasi yang dihasilkan dari industri minol tidak sebanding dengan potensi rusaknya SDM bangsa Indonesia.

Menurut dia, urusan minol atau miras sangat pelik di Indonesia. Bahkan baru-baru ini ada insiden oknum polisi menembak warga sipil dan TNI terkait minuman keras. Nafis mengatakan, pemerintah saat ini harus memikirkan bagaimana SDM bangsa Indonesia bisa bersaing secara global. Peredaran miras termasuk perizinan pendirian pabrik minol atau miras kontra produktif dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca Juga:  Dr Uyung Terdepan, Animo Dosen Capai 912 orang

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Mastuki juga menanggapi soal dibukanya kesempatan penanaman modal industri minol itu. Dia mengatakan, barang yang sudah jelas dinyatakan haram oleh hukum Islam atau fatwa MUI, tidak bisa disertifikasi halal. Meskipun perusahaannya memiliki legalitas untuk berusaha.

”Sertifikasi halal diperuntukkan bagi barang atau jasa yang karena sebab tertentu, misalnya penggunaan teknologi, tercampur dengan barang non halal,” katanya kemarin. Dengan kontaminasi tersebut membuat barang tersebut statusnya tidak jelas atau syubhat.

Nah untuk barang-barang tersebut, bisa dilakukan pemeriksaan atau uji laboratorium oleh lembaga pemeriksa halal (LPH). Setelah itu, dikeluarkan fatwa halal oleh Komisi Fatwa MUI. Kemudian, BPJPH Kemenag menerbitkan sertifikat halal untuk produk tersebut.

Guspardi: Lebih Pentingkan Investasi
Anggota DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus prihatin dan menyayangkan, serta mengkritisi keputusan Presiden Joko Widodo yang membuka keran investasi bagi industri minuman keras mengandung alkohol di beberapa daerah di Indonesia.

Penetapan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) yang sebelumnya masuk dalam kategori bidang usaha tertutup, jelas-jelas tidak mempertimbangkan dengan cermat akan bahaya dan dampak negatif miras yang bakal merusak generasi bangsa dan merugikan masyarakat.

”Aturan dalam perpres tersebut memperlihatkan pemerintah lebih mengedepankan investasi dan kepentingan ekonomi dan mengabaikan banyaknya korban yang telah berjatuhan akibat miras,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, kemarin (1/3).

Ia juga menilai, pemerintah abai terhadap keresahan masyarakat, serta kurang peka terhadap pemerintah daerah yang telah mengeluarkan perda. Di mana, perda tersebut untuk memproteksi dampak buruk dan bahaya sosial, serta keamanan terkait bahaya miras ini.

Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021. Jika dicermati pada Pasal 6 Perpres 10/2021, industri miras yang termasuk bidang usaha dengan persyaratan tertentu itu terbuka untuk investor asing, investor domestik, hingga koperasi, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

”Hal ini jelas akan membuat produksi miras semakin melimpah dan peredarannya juga akan semakin massif di lapangan. Padahal, dampak minuman keras selama ini sangat merugikan. Dan itu sangat berbahaya dan merusak mental anak bangsa,” ungkap politisi PAN ini. Wakil rakyat asal Sumbar itu menegaskan, banyak sekali dampak negatif yang timbul akibat miras ini.

Kejadian terbaru pada Kamis (25/2) lalu, di mana seorang oknum polisi (Bripka CS) yang mabuk karena ditagih pembayaran miras, malah mengamuk lalu melakukan penembakan yang berakibat tewasnya tiga orang, dan melukai 1 orang warga di sebuah kafe di daerah Jakarta Barat.

”Ini sungguh kejadian yang memalukan dan memilukan akibat minuman keras. Informasi dari Mabes Polri juga merilis bahwa pada periode 2018-2020 ada 233 tindak kejahatan akibat miras dan kasus miras oplosan berjumlah 1.045 kasus,” ujar dia.

Regulasi dibukanya kesempatan penanaman modal industri minol itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Aturan soal penanaman modal di industri minol ada di lampiran III Perpres 10/2010. Ketentuannya adalah penanaman modal industri minol baru dapat dilakukan di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan mempertimbangkan kearifan lokal setempat.

Ketentuan serupa juga diterapkan untuk investasi di industri minuman mengandung alkohol anggur dan minuman mengandung malt. Biasanya biji-bijian yang dijadikan malt digunakan membuat bir, wiski, dan sejenisnya. (tau/wan/jpg)