Keputusan Pemprov DKI Jakarta memberlakukan PSBB seperti April lalu, membuat mitigasi Covid-19 di Jabodetabek kembali seragam. Sebab, kecuali Jakarta, hingga saat ini seluruh Jabodetabek masih memberlakukan PSBB total.
Secara keseluruhan, saat ini ada 2 provinsi dan 5 kabupaten/kota yang sampai kemarin masih menjalankan PSBB. Yakni provinsi DKI Jakarta (transisi) dan Banten. Di mana di dalamnya ada kota Tangerang Selatan, kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang. Kemudian kabupaten dan kota Bekasi, Kabupaten dan kota Bogor, serta kota Depok.
”Seluruh (lima) kota dan kabupaten ini (PSBB-nya) berakhir pada 29 September,” terang juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito di kantor presiden, kemarin (10/9). PSBB transisi DKI Jakarta berakhir kemarin, sementara PSBB total di provinsi Banten berakhir 20 September mendatang.
Dengan bergabungnya DKI Jakarta, pekan depan seluruh jabodetabek kompak menjalankan PSBB total. Bila Provinsi Banten nanti memutuskan memperpanjang PSBB, maka pembatasan akan berlaku lebih lama lagi.
Dari grafik yang ada, kasus harian Covid-19 di Jakarta memang mengalami tren peningkatan sejak pemberlakuan PSBB transisi. Ada beberapa perbedaan aturan antara PSBB dan masa transisi. Saat PSBB awal, semua perkantoran wajib memberlakukan kerja dari rumah kecuali instansi pemerintah dan yang menangani Covid-19.
Rumah ibadah, serta fasilitas umum dan sosial wajib tutup. Kapasitas dan jam operasional transportasi umum dibatasi, kemudian mobil pribadi dibatasi 50 persen kapasitas. Sementara, saat masa transisi, semua fasilitas boleh dibuka termasuk tempat wisata dengan hanya 50 persen kapasitas. Yang masih konsisten tidak boleh beroperasi sejak awal PSBB adalah lembaga pendidikan.
Wiku juga menjelaskan betapa gawatnya ketersediaan bed di RS-RS yang ada di Jakarta. Per 8 September lalu, 7 dari 67 RS rujukan Covid-19 terisi penuh alias 100 persen. 46 RS okupansinya sudah di atas 60 persen. Hanya ada 14 RS yang terisi di bawah 60 persen. Di Wisma Atlet, dari 2.700 bed yang disediakan, saat ini sudah terisi sebanyak 1.600. ”Masih ada 1.100 tempat tidur untuk perawatan pasien dnegan status sedang dan ringan,” lanjut Wiku.
Di wisma atlet, pemerintah juga membuat flat isolasi mandiri dengan kapasitas 4.800 kamar di tower 4 dan 5. Untuk menampung masyarakat yang menderita Covid-19 dengan status OTG. Khususnya mereka yang tidak bisa melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing. Tower 5 sendiri mulai dioperasikan Rabu (9/9) lalu.
Ke depan, manajemen RS yang ada di DKI dan daerah lain dituntut mampu memonitor tingkat penggunaan tempat tidur, ruang isolasi, dan ICU masing-masing. Bila kapasitas sudah mulai meningkat, segera di-redistribusi ke fasilitas lainnya. ”Khusus di Jakarta bisa diarahkan memindahkan pasien dengan kondisi sedang dan ringan ke RS darurat wisma atlet,” tambahnya.
Didukung Nakes
Sementara itu, PSBB DKI Jakarta mendapat dukungan tenaga kesehatan. Langkah ini diharapkan menjadi salah satu cara menurunkan jumlah orang yang terpapar Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun upaya ini harus ada sinergitas seluruh pihak.
Salah satu dokter paru di Jakarta Eva Sri Diana kemarin (10/9) menceritakan bahwa kesulitan mencari kamar untuk pasien Covid-19 betul-betul terjadi. Dia menyayangkan pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto yang kemarin membantah pernyataan pak anies bahwa rumah sakit-rumah sakit yang menangani Covid di Jakarta sudah penuh.
Karena memang fakta di lapangan menunjukkan ruangan sudah penuh. Terutama ruang ICU. Sementara pasien yang butuh perawatan semakin banyak. ”Kalau mau, saya siap menemani Pak Airlangga atau menteri lainnya untuk ikut saya visit ke ruang perawatan Covid-19,” ucapnya.
Tak hanya soal ruang, tenaga kesehatan pun juga mulai kelelahan. Menurut Eva, tenaga kesehatan yang memang terbukti Covid positif saja yang dapat berisitirahat. Sementara nakes yang belum sakit dan belum terbukti positif Covid tetap harus bekerja walaupun sudah berinteraksi dengan nakes atau pasien yang positif.
Ini terjadi karena jumlah pasien yang meningkat tajam, sementara jumlah nakes yang melayani semakin sedikit karena banyak yang sakit, gugur dan bahkan ada juga yang sudah benar benar lelah sehingga terpaksa mundur.
Karena itu, Eva berpesan pada pemerintah agar jangan hanya ruangan rawatnya saja yang ditambah, tapi juga harus menambah jumlah tenaga kesehatannya agar tidak kelelahan dalam melayani pasien.
Peningkatan jumlah pasien merupakan salah satu dampak longgarnya aturan pembatasan sosial. Eva menceritakan, pasien mulai banyak ketika tubuh moda transportasi boleh beroperasi kembali dan persyaratan mulai dikendorkan. ”PSBB sekarang harus lebih tegas bahkan sampai tingkat RT. Kalau tidak patuh ada hukuman misal bantuan sosialnya dicabut,” sarannya.
Wakil Ketua Umum PB IDI dr Adib Khumaidi berkata senada dengan Eva. Kondisi fasilitas kesehatan di DKI Jakarta yang hampir penuh salah satu peringatan untuk melakukan intervensi cepat. PSBB ini menurut Adib, menjadi salah satu strategi intervensinya.
”Parameternya adalah analisis epidemologi tentang penyebaran virus dalam satu populasi manusia,” tutur Adib kemarin. Selain itu juga positive rate juga harus jadi perhatian. Jika dua hal itu tinggi, maka ada masalah di hulu yang harus diselesaikan. Yakni, mengurangi penyebaran virus. Pembatasan sosial bisa menjadi salah satu caranya.
Namun, dia mengingatkan bahwa mobilitas orang-orang di DKI Jakarta juga berasa dari daerah penyangganya yang ada di Jawa Barat dan Banten. Untuk itu, Adib menyarankan ada sinergitas pemerintah daerah dalam menangani hal ini. ”Yang patut jadi perhatian juga adalah PSBB sekarang berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan bisa karena sosial, ekonomi, ataupun psikologis masyarakat,” ungkap Adib.
Selanjutnya selama PSBB, pemda dan komponen terkait harus memperhitungkan bagaimana aktivitas setelah PSBB. Misal dengan penataan ruang kantor yang sehat dan meminimalisir penularan. Sehingga ketika nanti beraktivitas kembali, risiko penularan itu benar-benar nihil.
ASN kembali WFH
Kebijakan PSBB di DKI Jakarta langsung disikapi oleh Menteri Pendayagunaan Aparatus Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo. Terutama, terkait sistem kerja bagi ASN. Dia mengatakan, pihaknya sebetulnya telah mengeluarkan surat edaran terkait pengaturan sistem kerja ASN berdasarkan zona risiko.
Sebab, tidak semua wilayah/zona risiko tinggi di tetapkan sebagai wilayah PSBB oleh menteri kesehatan. Oleh karena itu, meski tidak PSBB namun kantor berada di zona merah atau wilayah risiko tinggi, maka kantor hanya boleh diisi maksimal 25 persen. ”Sesuai SE 67 Tahun 2020,” ujarnya.
Tetapi, jika wilayah zona merah tersebut telah ditetapkan PSBB maka kembali ke SE 58 Tahun 2020. Di mana, instansi di wilayah tersebut melaksanakan WFH full atau bekerja di rumah secara full. Namun, tetap harus ada yang piket di kantor maksimal 25 atau 10 persen disesuaikan kondisi kerja kementerian lembaga dan pemda masing-masing.
”Kenapa ada instansi yang wajib ada ASN yang hadir, karena harus tetap melayani masyarakat secara langsung,” jelasnya. misal, rumah sakit daerah/ swasta, pemadam kebakaran, puskesmas, dan lainnya. Untuk lama waktu WFH, lanjut dia, disesuaikan dengan keputusan kepala daerah. Yang harus mengacu pada status daerah tersebut.
Pembatasan jumlah ASN WFO sendiri telah diterapkan KemenPAN-RB sejak kemarin. Hanya pegawai terkait acara MoU netralitas ASN yang diizinkan masuk kantor. Setelah rampung, kantor langsung ditutup. Bagi pegawai lainnya diwajibkan untuk WFH.
Pimpinan unit kerja, kata dia, harus memastikan penugasan dan kinerja masing-masing pegawai. Setiap pegawai membuat laporan kinerja harian kepada masing-masing PPT Pratama (Asdep/Sesdep/Karo/Inspektur). Laporan harian akan diperhitungkan dalam pemberian tukin (sehingga absen kehadiran saja tidak cukup bila tidak disertai laporan kinerja harian).
Tiap PPT Pratama membuat laporan mingguan kepada PPT Madya masing-masing. ”Selama WFH (jam kerja) para pegawai dilarang beraktivitas di luar rumah,” tegasnya. Sedangkan ,saat di luar jam kerja diimbau membatasi aktivitas di luar rumah dan/atau menghindari kerumunan. Kantor pun akan dilakukan sterilisasi total. penyemprotan secara menyeluruh pada Jumat (11/9) dan Sabtu (12/9).
Sementara itu Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mengeluarkan surat edaran sistem kerja pegawainya dalam tatanan normal baru. Ketentuan itu dikeluarkan 9 Septermber lalu dan berlaku untuk kantor Kemenag di pusat sampai di daerah. Termasuk, juga di perguruan tinggi keagamaan negeri dan unit pelayanan teknis.
Fachrul meminta kepada seluruh pimpinan unit eselon I, staf ahli dan staf khusus menteri, serta pimipnan Kemenag di daerah untuk menjalankan tugas kedinasan berdasarkan data zona risiko yang dikeluarkan Satgas Penanganan Covid-19 setempat. ”Baik itu untuk pegawai yang bekerja di kantor maupun di rumah,” katanya kemarin (10/9).
Ketentuan bagi satuan atau unit kerja Kemenag yang berada di zona berisiko tinggi atau merah, ditetapkan bahwa pegawai yang bekerja di kantor maksimal 25 persen. Kemudian untuk di zona sedang atau orange, pegawai yang bekerja di kantor maksimal 50 persen.
”Sementara itu di zona kategori risiko rendah (kuning, red) pegawai yang tugas di kantor paling banyak 75 persen,” katanya. Sisanya sebanyak 25 persen bekerja di rumah. Lalu untuk yang berada di zona tidak terdampak kasus Covid-19 pegawai yang bekerja dari kantor maksimal 100 persen atau seluruhnya.
Seluruh pimpinan unit atau satuan kerja diminta untuk menyusun jadwal atau pengaturan kerja pegawainya. Sehingga, tidak memengaruhi pelayanan kepada masyarakat. Kepada pegawai yang mendapat giliran bekerja dari kantor, diharapan menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin. Seperti, jaga jarak, menggunakan masker, dan raci cuci tangan pakai sabun.
Harus Konsisten
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meningkatkan koordinasi dan konsisten saat menerapkan PSBB untuk mengatasi sebaran Covid-19. ”Pemerintah mutlak berkoordinasi dan konsistensi. Jika diputuskan menerapkan PSBB, maka harus konsisten dalam pelaksanaan dan pengawasannya,” ungkap Puan.
Legislator asal Dapil Jawa Tengah V itu menyatakan, pemerintah pusat dan daerah harus menghargai pengorbanan masyarakat yang membatasi aktivitas harian dan aktivitas perekonomiannya selama masa PSBB. Menurutnya, masyarakat menaruh harapan besar pada pemerintah untuk dapat mengendalikan dan menangani pandemi, termasuk optimalisasi penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat yang kehilangan pekerjaan.
”Jangan sia-siakan pengorbanan masyarakat yang berdiam diri di rumah,” paparnya. Puan mengatakan, aturan-aturan PSBB jangan hanya di atas kertas, tapi harus dilaksanakan, konsisten, dan tegas dalam pengawasannya.
Ketua DPP PDIP itu sangat prihatin terhadap peningkatan kasus Covid-19. Terdapat ribuan anak-anak berusia di bawah 19 tahun yang terkonfirmasi positif Covid-19. Sebelumnya, Puan pernah mengingatkan pemerintah untuk mengutamakan kesehatan serta keselamatan masyarakat dalam upaya menangani pandemi Covid-19.
Puan mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan sosialisasi dan pelaksanaan protokol kesehatan hingga ke tingkat keluarga. Selain disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, lanjut dia, pemerintah juga harus mampu menggerakkan masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat dengan rutin berolahraga.
Dia menyatakan bahwa DPR RI meminta pemerintah meningkatkan pelaksanaan program testing, tracing, dan treatment (3T) dalam menanggulangi penyebaran Covid-19. Pasalnya, cakupan orang yang menjalani tes dengan metode polymerase chain reaction ( PCR) selama ini masih jauh dari target yang diharapkan.
Pemerintah juga diimbau menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk bisa meningkatkan capaian tersebut dan mengawasi ketat penetapan tarif tes PCR agar terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah harus melindungi masyarakat miskin dan terpinggirkan agar mendapat pelayanan kesehatan yang setara. ”Khususnya tes PCR demi menanggulangi penyebaran Covid -19, hingga vaksin ditemukan dan didistribusikan,” ungkapnya. (byu/lyn/mia/wan/lum/jpg)