Duka Pedagang Pasar Bawah, Bangun Tengah Malam Selamatkan Dagangan

7
KORBAN KEBAKARAN: Pedagang Kopi Bubuk, Nila, menatap puing bekas kebakaran yang hangus dilahap api.(RIFA YANAS)

Garis polisi masih terpasang di sekitaran area los yang terbakar. Seketika hiruk-pikuk suasana pasar berubah. Saat api yang menghanguskan ratusan petak kios telah padam, ada duka pedagang yang belum pudar.

MATA sembab terlihat jelas dari sudut masker yang menutup wajah Nila, 31. Perempuan berkerudung hitam ini duduk tersandar dari sudut kios yang biasa ia tempati berjualan kopi bubuk.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 14.17, Sabtu (12/9) siang. Nila menatap lirih ke arah puing-puing yang legam jadi abu. Di sekelilingnya, terpajang garis polisi berwarna kuning. Aparat kepolisian dan personil Satpol PP tampak melakukan penjagaan.

Nila bertutur, matanya belum terpejam barang sedetik sejak informasi kebakaran itu ia terima. Pukul 02.00, ia mendapat kabar dari dunia maya. Lewat medsos, jantung Nila berdegup kencang. Ia menyaksikan video api berkobar di Pasar Bawah.

Tanpa pikir panjang, Nila membalut tubuhnya dengan kardigan berwarna oranye. Saat itu juga ia segera memacu langkah menuju lokasi. ”Saya sampai sekitar pukul 04.00. Api sudah padam,” katanya.

Beruntung, kedai sederhana yang Nila tempati berjualan bersama ayahnya tidak ludes seutuhnya. Hanya sisi kanan yang terjamah api. Sebuah papan merek warung kopi bubuknya itu tidak bisa lagi dibaca. Jadilah sepotong papan itu bergelantung dengan bekas gigitan api.

Sementara itu, persis di belakang dinding kios kopi bubuk miliknya itu tidak ada yang tersisa. Di sana tempat berjualan tahu dan tempe. ”Saya tahu dari medsos yang dikirimi teman. Ada kebakaran, saya langsung ke sini dan belum bisa tidur sampai sekarang,” katanya.

Baca Juga:  61 Tahun Bank Nagari, Bersinergi Wujudkan Masyarakat Sumbar Sejahtera

Ditanyakan apa merek papan yang tidak lagi bisa dibaca itu ayah Nila yang menjawab. Seorang pria paruh baya berdiri di samping Nila sembari tetap membungkus bubuk kopi ke dalam kemasan seperempat kilogram.

”Kopi Benteng Fort de Kock,” ujar Busril, 72, ayah Nila yang mengaku sudah berjualan di kios itu lebih dari 25 tahun.

”Kios-kios ini sudah ada sejak Indonesia merdeka. Lihat tiang besi itu tetap kokoh dibangun zaman Belanda,” tambah Busril menceritakan usaha yang ia warisi dari orangtuanya itu turun temurun.

Duka serupa dialami Desmawati, 60, pedagang santan kelapa. Ia bersyukur anak-anaknya terbangun di malam hari untuk melakukan evakuasi. Jika tidak, puluhan juta aset dagangannya bakal raib dimamah api.

”Anak saya enam orang. Anak yang kedua di Bandung yang pertama kali tahu. Ia menelpon ke adiknya yang sedang belajar online tengah malam. Adik-adiknya langsung pergi ke pasar untuk memindahkan mesin dan genset,” tuturnya.

Desmawati bercerita sambil menyalakan dua unit mesin itu. Ternyata masih berfungsi dengan baik. Ia bersyukur api hanya memakan dinding dan lantai kios miliknya itu. ”Mesin gilingan santan ini bisa bernilai Rp 30 juta, genset ini Rp 10 juta, mesin kukur kelapa ini Rp 2 juta. Alhamdulillah, bisa dipindahkan anak-anak saya ke tempat yang aman,” katanya.

Ia berharap Pemko Bukittinggi segera memberikan bantuan modal untuk dapat berjualan kembali. ”Semoga ada bantuan dana untuk membeli kelapa agar bisa jualan lagi,” harapnya. (***)