Defisit APBN Tembus Rp 682,1 T

54
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (jawapos.com)

Sampai akhir September 2020, defisit APBN mencapai Rp 682,1 triliun. Defisit ini terjadi karena realisasi belanja negara yang lebih tinggi dibanding pendapatan negara. Kendati begitu, ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dari negara lain.

Demikian dilaporkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN KITA, kemarin. Tercatat, hingga 31 September 2020, APBN sudah defisit Rp 682,1 triliun atau 4,16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Pendapatan negara hingga akhir September, tercatat mencapai Rp 1.159 triliun. Angka tersebut turun 13,7 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 1.342,25 triliun,” kata Sri Mulyani.

Menurut dia, penurunan pendapatan negara paling besar disebabkan oleh bisnis dan pembayaran pajak yang mengalami tekanan sepanjang pandemi korona. Dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020, pemerintah merancang pendapatan negara akan mencapai Rp 1.699,9 triliun di akhir tahun. Sehingga, realisasi pendapatan hingga akhir September 2020 setara 68,2 persen dari yang direncanakan pemerintah.

Sementara untuk belanja negara, secara keseluruhan sudah terealisasi Rp 1.841,1 triliun atau 67,2 persen dari alokasi dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020. Serapan ini juga meningkat 15,5 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar Rp 1.594,66 triliun. “Kita mengakselerasi belanja secara luar biasa di kuartal III dan diharapkan menjadi pendorong atau menciptakan siklus yang positif atau mendekati positif pada kuartal III dan IV,” ujar Sri.

Dia mengatakan, meski defisit anggaran Indonesia membengkak akibat penanganan dampak virus korona, kondisinya masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain. Defisit di berbagai negara lain mencapai di atas belasan atau 20-an persen. Kalau Indonesia 4,16 persen, dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mengalami kontraksi di kisaran minus 2 persen hingga minus 0,16 persen. Amerika Serikat, misalnya. Pada tahun ini defisitnya diproyeksi mencapai -18,7 persen, Kanada mencapai -19,9 persen dan China diperkirakan -11,9 persen.

Baca Juga:  MoU Bantuan Hukum, BRI Padang dan Khatib Sulaiman Gandeng Kejari Padang

Selain itu, sejumlah negara di kawasan Eropa mengalami defisit yang cukup dalam, seperti Jerman yang diproyeksi mencapai -8,2 persen, Italia -13 persen dan Inggris -16,5 persen. “Dibandingkan negara tetangga, defisit APBN kita tidak sedalam Malaysia yang pada akhir 2020 diperkirakan -6,5 persen dan Filipina -8,1 persen. Defisit APBN kita diperkirakan mencapai -6,3 persen,” papar Sri.

Terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menganggap pelebaran defisit sebagai hal yang wajar. Negara-negara di dunia pun mengalami hal serupa karena pandemi. “Di tengah kondisi seperti ini, kita kan tidak bisa berharap pada penerimaan pajak. Kalau tidak ada penerimaan pajak dan sementara pengeluaran tidak bisa dihentikan, tentu pemerintah juga tidak bisa tak belanja,” ujarnya.

Piter melanjutkan, pemerintah hingga kini terus dituntut untuk mendorong belanja dengan menggelontorkan bansos, insentif dunia usaha, stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN), dan masih banyak lainnya. Maka, wajar apabila belanja pemerintah amat tinggi dan defisit APBN pun melebar. “Pelebaran defisit adalah keniscayaan negara dan itu juga terjadi di banyak negara,” imbuh dia.

Lantas, bagaimana upaya untuk menambal defisit? Piter menyebut penambalan defisit dengan cara utang sebenarnya juga hal yang wajar. Namun, perlu digarisbawahi bagaimana upaya pembiayaan utang yang dilakukan.

Dia mengimbau pemerintah dapat mengurangi utang luar negeri (ULN). Sebagai gantinya, bisa menggunakan utang domestik yang terbagi menjadi dua keran. Yakni, pembiayaan dari Bank Indonesia dan pasar dalam negeri. Mekanisme burden sharing yang digagas pemerintah dan Bank Indonesia juga disebut sebagai upaya yang tepat. “Burden sharing tetap harus diandalkan. Sebab, tidak mungkin semua utangnya dari luar atau pasar domestik saja,” tandasnya. (jpg)