Sikap ”keukeuh” pemerintah ngotot melakukan impor beras mendapat sorotan sejumlah kalangan. Harusnya, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi data Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, Bulog dan lainnya.
Barulah selepas itu, membuat kebijakan tetap mengimpor beras atau tidak. Pasalnya, kebijakan secara otomatis dapat menekan harga beras maupun gabah di tingkat petani.
”Petani akan merasa kesulitan pada saat panen raya nanti. Selain harga akan turun akibat panen raya, importir beras juga membuat harganya semakin rendah lagi. Meskipun tidak dipasarkan, harga beras dan gabah akan cenderung turun berkali-kali lipat akibat impor beras,” sebut Pakar Ekonomi Pembangunan asal Unand, Prof Syafruddin Karimi kepada Padang Ekpres di Padang, kemarin (28/3).
Menurut dia, opsi impor beras bisa dilakukan jika pemerintah sudah menentukan standar harga minimum penjualan beras yang tidak merugikan petani. ”Bagaimanapun sektor pertanian ini harus berpihak kepada para petani. Kebijakan itu harus konkret, dan menjamin petani agar tidak rugi. Setelah itu, silakan buat kebijakan apapun,” kritiknya.
Dosen ekonomi pembangunan itu menyebutkan, pemerintah harus mengawasi setiap siklusnya. Jika sudah termonitori dengan baik, maka impor beras itu boleh dilakukan dengan catatan tidak merugikan petani. ”Proses monitoring itu tidak terlepas dari adanya keterwakilan para kelompok petani dalam klasemen pengambil kebijakan. Terutama, pembahasan Perum Bulog,” katanya.
Jika tidak ada keterwakilan petani, menurut dia, kebijakan impor beras dianggap sebagai dependent variabel. Di mana, petani akan selalu termarjinalkan pada setiap keputusan yang tidak ditentukan oleh petani tersebut.
”Agar nilai tukar petani padi tidak menurun seiring produksi meningkat dan tekanan impor, kita berharap agar pemerintah menetapkan harga minimum gabah tingkat petani. Harga tersebut mesti dijamin kepastiannya, dan dijamin tetap menguntungkan buat petani,” ungkapnya.
Tanpa ditetapkan sekaligus digaransi nilai tukar petani, dia yakin, harga gabah maupun beras akan anjlok. Hal ini diikuti dengan melonjaknya tingkat kemiskinan. ”Mestinya, pemerintah sudah menghitung dampak impor beras ini kepada petani secara seksama,” ingatnya.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Unand, Harif Amali PhD menyebutkan, meskipun impor beras bentuk upaya pemerintah berjaga-jaga akan ketersediaan pangan. Namun, jumlah sebanyak itu perlu dikaji ulang.
”Awalnya kebijakan itu diambil pemerintah sebagai bentuk cadangan akan ketersediaan pangan pokok berupa padi. Selain itu, impor beras juga menjadi alasan untuk menjaga kestabilan harga beras di tengah masyarakat,” jelasnya.
Menurut dia, harga beras cenderung lebih rendah saat panen raya. Artinya, jika alasan menjaga kestabilan harga itu tetap dilakukan, maka harga beras akan jauh terjun bebas. ”Jika harga turun, semangat para petani juga akan semakin rendah untuk bertani. Apalagi mereka membutuhkan biaya produksi yang tidak sebanding dengan harga jual gabah maupun beras,” tuturnya.
Dia menyebut bahwa perdebatan mengenai rencana impor beras ini membuat Jokowi mengeluarkan pernyataan tidak mengimpor beras hingga bulan juni mendatang. ”Jika dilihat, pemerintah selalu melakukan impor beras sejak tahun 2000 lalu. Oleh karena itu, pernyataan presiden untuk menunda impor beras tersebut dapat disimpulkan tidak akurat dan tidak adanya integrasi data antar-berbagai pihak,” ucapnya.
Selama ini, tambah dia, sinkronisasi data antara Badan Pusat Statistik dengan kementerian terkait belum padu. Akibatnya, Kementerian Pertanian sering mengeluarkan kebijakan sendiri-sendiri.
”Bila hal ini tidak segera diperbaiki, tentu keadaannya dengan mudah dimanfaatkan oleh beberapa orang, salah satunya berupa rantai importir beras ini. Jika data statistik itu dianggap ilmiah dan diakui validitasnya, maka impor beras itu dapat ditunda bahkan dibatalkan,” tutupnya.
Hal tersebut juga disampaikan Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unand, Ferdhinal Asful MSi. Menurut dia, pernyataan antara kementrian terkait dengan presiden itu tidak sama. Sehingga setiap kalangan, termasuk akademisi kebingungan.
”Simpang siurnya informasi dan data yang tidak terintegrasi mengenai stok beras, membuat seluruh kalangan kebingungan. Jika tidak ditangani dengan baik, maka isu ini dapat menjadi sebuah isu yang liar,” terangnya.
Ia menjelaskan, hal yang harus dibenahi terlebih dahulu ialah data riil jumlah pemasokan dan ketersediaan pangan pokok tersebut, baik dalam bentuk tiap daerah maupun menyeluruh. ”Jika data pengalokasian dan ketersediaan beras itu transparan, maka setiap kebijakan pemerintah dapat dinilai secara objektif dan dapat diterima masyarakat,” katanya.
Namun, pemerhati pertanian Unand itu menyatakan, wacana impor beras ini menjadi hangat karena kebijakan itu dianggap subjektif oleh masyarakat. Masyarakat dibiarkan terus berspekulasi karena data yang dipaparkan oleh beberapa pihak tidak sesuai dan tidak searah.
”Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang dapat menyuarakan aspirasinya secara baik, perguruan tinggi dan kelompok-kelompok petani perlu dilibatkan. Agar data yang diterima masyarakat nyata dan terpercaya,” jelasnya.
Ferdhinal menjelaskan, perlu adanya ketersediaan dan kolaborasi dari hulu ke hilir sektor pertanian. Sehingga, kolabirasi itu akan menghadirkan banyak inovasi-inovasi baru hingga impor beras itu tidak dibutuhkan lagi.
”Sebagai contoh, beberapa kelompok tani organik di Limapuluh Kota berhasil bekerja sama dan berkolaborasi. Hasil panennya dapat mereka distribusikan ke beberapa daerah. Jadi, bukan tidak mungkin kebijakan itu diambil,” terangnya.
Dia melihat, pertanian hari ini lebih mengarah kepada korporasi petani, bukan koperasi petani. Sehingga, hasil panen itu lebih dikuasai oleh perseorangan saja. Sedangkan jika bentukkoperasi, tujuannya akan mensejahterakan petani secara bersama-sama.
”Kini, koperasi petani cukup ditinggalkan akibat tidak adanya pendampingan bagi para kelompok tani. Jika pendampingan tersebut dapat dibenahi, maka kelompok-kelompok tani akan memiliki posisi tawar tinggi, sehingga dapat diperoleh kesejahteraan bagi para petani,” jelasnya.
Dia menyebutkan jika koperasi tani dapat dijalankan dengan baik, setiap kelompok-kelompok tani akan teredukasi dengan baik dan para petani akan berkembang dalam sektor pertanian. Sehingga, impor beras akan dapat dihentikan atau hanya menjadi pilihan terakhir.
”Perlunya kolaborasi setiap sektoral pada bidang pertanian. Sehingga, petani dapat juga turut andil dalam membuat kebijakan, termasuk kebijakan impor beras tersebut,” jelasnya. (cr1)