Pemerintah bersikukuh tetap melakukan impor beras 1 ton tahun ini. Kebijakan tak populis ini pun langsung menuai resah. Sebab, di atas kertas stok beras yang dimiliki Indonesia dinilai cukup. Ditambah lagi, panen padi tahun ini diprediksi meningkat.
Di sisi lain pemerintah bersikeras mengklaim bahwa stok tidak aman. Langkah impor perlu dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan pasokan. Lantas, bagaimanakah sebetulnya stok beras di Sumbar?
Wajar saja banyak kalangan mempertanyakan kebijakan pemerintah ini, biarpun Presiden Jokowi belakangan sudah mengklarifikasi bahwa pemerintah tidak akan melakukan impor beras sampai Juni 2021 mendatang.
Namun, tetap saja rencana impor beras ini tetap mendapat sorotan tajam. Lebih-lebih asumsi pemerintah langkah ini diambil guna menjaga kelangkaan pasokan beras. Nyatanya, argumentasi pemerintah ini tidak sepenuhnya benar, seperti terlihat di Sumbar.
Data Bulog Perwakilan Sumbar menyebutkan, saat ini stok beras Bulog di Sumbar sebanyak 10 ribu ton. Asumsi rata-rata penyaluran beras Bulog untuk di Sumbar sekitar 2.500 hingga 3.000 ton per bulan.
”Berarti tiga bulan lebih ke depan, stok beras kita aman dan cukup untuk wilayah Sumbar. Jadi, masyarakat ngga usah khawatir,” katanya kepada Padang Ekspres di Padang, Kamis (25/3) lalu.
Kendati demikian, sambung Tommy, sesuai tupoksi Bulog, pihaknya tetap fokus memonitor situasi panen raya di semua wilayah Sumbar. Selain itu, berupaya agar harga jatuh tidak terjadi.
Pasalnya, sesuai Permendag Nomor 24 Tahun 2020, harga pokok penjualan (HPP) beras Bulog yang ditetapkan sebesar Rp 8.300 per kilogram dengan kualitas kadar air 14, broken atau patah maksimal 20, dan butir menir maksimal sekitar 2 persen.
”Nah, konsentrasi kita sekarang seperti itu. Dari hasil pantuan kita di lapangan, harga jual beras di tingkat petani saat ini masih stabil, belum ada yang di bawah HPP,” terangnya.
”Jadi, yang kita pikirkan sekarang menghadapi puasa dan Lebaran, stok kita cukup. Kemudian, konsentrasi kita fokus menjaga jangan sampai pas panen raya, harga jatuh. Lalu di tingkat konsumen jangan sampai harga beras melonjak naik,” sambung Tommy.
Soal kebijakan impor beras, menurut Tommy, sejauh ini belum ada perintah langsung dari pemerintah pusat. ”Belum ada perintah impor itu,” sebutnya.
Statistisi Ahli Madya Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar Dr Rita Diana menekankan, perlu dilihat terlebih dulu cadangan beras jika pemerintah ingin mengambil kebijakan impor. ”Tidak hanya di gudang Bulog saja, tetapi stok beras itu juga ada di penggilingan dan di rumah tangga, gitu kan,” katanya kepada Padang Ekspres di Padang, Sabtu (27/3).
Untuk di Sumbar, menurut dia, luas panen gabah tahun 2020 sekitar 296 ribu hektare. Memang, mengalami penurunan 5,14 persen jika dibanding tahun 2019 yang angkanya sekitar 312 ribu hektare. Sehingga, berdampak pada produksi gabah.
Selama Januari-Desember 2020, produksi gabah kering giling di Sumbar hanya mencapai 1,39 juta ton. Artinya, mengalami penurunan 6,45 persen dibanding tahun 2019 yaitu 1,48 juta ton.
Dari data produksi gabah ini, sambung Rita, setelah dikonversi menjadi beras diketahui bahwa angka produksi beras di Sumbar dari Januari hingga Desember 2020 mencapai 799,12 ribu ton.
”Dibanding 2019 mengalami penurunan sekitar 6,46 persen. Tahun 2019 itu 854,27 ton. Ini disebabkan karena di akhir tahun 2020 sempat terjadi bencana banjir dan longsor seperti di Pesisir Selatan, Pasaman dan Solok Selatan. Sehingga memang mengalami penurunan,” paparnya.
Untuk Januari 2021, BPS memprediksi bahwa luas panen padi mencapai 23,99 ribu hektare. Diperkirakan potensi luar panen pada Februari hingga April mencapai 94,11 ribu hektare. Totalnya, potensi luas panen Januari-April 2021 diperkirakan mencapai 118,11 ribu hektare.
”Itu nanti diperkirakan akan menghasilkan produksi beras sekitar 317,49 ribu ton. Berarti diperkirakan mengalami kenaikan sekitar 7,52 persen, jika dibanding periode yang sama, Januari-April tahun 2020 hanya 295,28 ribu ton,” sebutnya.
Di sisi lain, kata Rita, berdasarkan Sensus Penduduk yang dilakukan BPS Sumbar tahun 2020 lalu, tercatat jumlah penduduk Sumbar sekitar 5,53 juta jiwa. Dari data penduduk itu, pihaknya juga melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional yang terakhir dilakukan tahun 2020.
”Dari data itu, kita peroleh konsumsi rumah tangga. Terutama untuk beras kita peroleh konsumsi beras per kapita rata-rata penduduk Sumbar itu sekitar 78,27 kilogram per kapita per tahun. Itu konsumsi rumah tangga,” sebutnya.
Berbeda dengan konsumsi beras non rumah tangga lain. Berdasarkan Survei Kajian Bahan Pokok, BPS Sumbar memperoleh data konsumsi beras di luar rumah tangga sebesar 29,98 kilogram per tahun.
”Nah kalau dikalikan, total konsumsi beras selama tahun 2020, itu sekitar 639,56 ribu ton. Jadi, kalau dikaitkan dengan data produksi tadi yang angkanya sekitar 799,12 ribu ton, ada surplus sebesar 159,57 ribu ton. Itu di tahun 2020,” paparnya.
Sementara tahun ini, di mana pada periode Januari-April prediksi angka produksi beras sekitar 317,49 ribu ton, prediksi konsumsi beras 212,16 ribu ton. Jika dikurangi antara prediksi konsumsi beras tersebut dengan prediksi angka produksi beras, juga terjadi surplus sebesar 105,33 ribu ton.
”Berlebih. Jadi stok beras aman. Itu beredar di rumah tangga. Artinya dengan begitu, impor beras tidak mesti dilakukan. Sebenarnya data itu sangat mendukung ya, masalah cadangan beras baik yang dari pemerintah yaitu di gudang Bulog, rumah tangga, ataupun di penggilingan itu kan perlu diketahui juga,” ungkapnya.
Yang dikhawatirkan bila impor beras, katanya, maka suplai beras akan meningkat dan otomatis harga beras akan turun. Kondisi ini akan berdampak kepada para petani. ”Yang dirugikan adalah petani, bukan konsumen. Kalau konsumen malah diuntungkan.
Sedangkan, berdasarkan Survei Harga Ongkos yang kami lakukan, penghasilan petani itu hanya Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per bulan. Itu di bawah UMR. Betapa miskinnya petani kita,” ucapnya.
Lebih lanjut menurut Rita, seharusnya yang dipikirkan pemerintah bukan impor beras. Melainkan meningkatkan produksi beras dengan memberikan program-program seperti mendorong minat anak muda untuk bertani, menambah luas lahan, pemberian pupuk subsidi dan sarana prasarana bertani kepada para petani, serta infrastruktur seperti irigasi.
”Program pemerintah untuk itu sudah ada, tapi sekarang yang jadi pertanyaan, menjalankan program itu secara riil atau tidak. Karena tidak ada evaluasi dari program-program itu. Sementara pemerintah menuntut petani untuk meningkatkan produksi dan hasilnya harus bagus,” jelasnya.
Di sisi lain, pemerintah juga harus membenahi masalah margin harga. Pasalnya, harga beras dari petani dibeli dengan sangat murah sementara harga di tingkat pedagang eceran atau distributor malah tinggi.
”Nah yang salahnya itu di marginnya. Jadi, tataniaganya perlu juga dibenahi sehingga harga beras di tingkat petani bisa naik. Namun, nanti di tingkat konsumen tidak terlalu tinggi. Jadi ada banyak solusi sebenarnya, tidak hanya impor,” kata Rita.
Sebelumnya, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sumbar, Effendi menyebutkan bahwa Sumbar belum membutuhkan impor beras karena masih surplus. Konsumsi beras di Sumbar per tahunnya mencapai sekitar 560.000 ton, sementara produksi beras tahun 2020 lalu mencapai 903.000 ton. Menurut dia, stok beras Sumbar di gudang Bulog juga masih mencukupi untuk 3 bulan ke depan.
Effendi menyebutkan, ketersediaan beras di Sumbar mencukupi karena tidak ada kebijakan melakukan tanam padi serentak. Setiap daerah diberi kebebasan menanam padi kapan saja sehingga stok beras selalu tersedia.
”Beda dengan daerah lain, ada tanam serentak dan panen raya. Kalau di Sumbar petaninya tanam padi kapan saja karena iklim mendukung,” terang dia. Bahkan, kelebihan beras Sumbar banyak dikirim ke daerah tetangga seperti Riau, Kepri, Sumut, Jambi dan Pulau Jawa. (i)