Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang telah disahkah, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) memuat berbagai kemudahan berusaha.
Salah satu bentuk kemudahan berusaha adalah kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru berupa 5G. Teknologi seluler generasi kelima ini memerlukan spektrum frekuensi radio yang lebar dan contiguous.
Namun, kerja sama atas spektrum frekuensi radio sebagai alat produksi strategis dalam industri telekomunikasi memunculkan risiko terjadinya pengaturan alat produksi dan kolusi. “Jika tidak diatur dengan baik, dapat berakibat timbulnya monopoli yang dapat berujung pada persaingan usaha tidak sehat. Hal ini tentu menjadi perhatian dari semua pihak,” ungkap Direktur Rumah Reformasi Kebijakan Riant Nugroho dalam keterangannya, Senin (28/12).
Melihat potensi monopoli dari kerja sama atas spektrum frekuensi radio ini, Riant menyebut, peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat krusial. “Yang tidak boleh, monopoli sengaja dibentuk untuk menghasilkan keuntungan sebagian pihak saja.
Monopoli jenis ini biasanya terbentuk dari merger, akuisisi, dan atau kolusi yang tujuannya tidak lain untuk mengatur alat produksi. Ujungnya, pihak yang memonopoli bisa menentukan harga pasar sesukanya. Sehingga muncul persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum,” papar dia.
Terbatasnya ketersediaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan 5G dan kebutuhan bandwidth yang besar memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah. Menurut Riant, penguasaan frekuensi 5G untuk satu operator bisa menjadi salah satu alternatif pengaturan yang dapat dipertimbangkan Pemerintah.
“5G itu perlu spektrum frekuensi 100 MHz dan contiguous. Kalau spektrum frekuensinya dipecah-pecah kemudian disebar ke seluruh operator, maka 5G tidak akan terlaksana,” ingatnya.
Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum frekuensi radio dapat bekerja sama dengan operator 5G yang mendapat alokasi spektrum frekuensi. Maksud kerja sama ini baik, yaitu memungkinkan terselenggaranya layanan 5G di Indonesia demi mendukung transformasi digital nasional.
Selain kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, ada beberapa pengaturan lain sebagai kebijakan publik dalam RPP Postelsiar yang dinilai Riant akan berdampak terhadap persaingan usaha. Beberapa pengaturan tersebut adalah penerapan tarif batas atas dan atau tarif batas bawah, kerja sama infrastruktur aktif, serta pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio.
Agar Kemenkominfo tidak menghadapi berbagai perdebatan dan tuntutan di kemudian hari, mantan KRT BRTI ini menyarankan keterlibatan KPPU dimulai sejak dari awal. “Keterlibatan KPPU harus diatur agar bersifat pre-evaluation bukan post-evaluation. Tujuannya untuk mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mempermasalahkan keputusan Kemenkominfo ke kemudian hari,” saran Riant.
Selain melibatkan KPPU, pemerintah dinilainya perlu membuat badan regulator telekomunikasi yang independen untuk mencegah pelaku usaha nakal. Sebab saat ini regulator telekomunikasi di Indonesia sudah dibubarkan oleh presiden.
“Bisnis telekomunikasi ini melibatkan dana yang sangat besar. Oleh sebab itu, peran KPPU dan badan regulator telekomunikasi independen amatlah penting. Jika industri telekomunikasi sehat maka masyarakat dan negara yang akan diuntungkan,” tandas Riant. (jpg)