Kisah Relawan PakSa, Dua Tahun Mengurus Puluhan Penderita Gangguan Jiwa Warga Dipasung dan Dirantai, Pemerintah Nagari Seolah Menutupi Beranggotakan puluhan mantan pejabat dan pensiunan pegawai negeri, Relawan Palanta Aksi Kemanusiaan dan Sosial (PakSa), mengurus 36 penderita gangguan jiwa di Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Banyak suka dan duka mereka alami. Seperti apa?
SELESAI melaksanakan tugas sebagai Wakil Bupati Limapuluh Kota periode 2016-2021, tidak membuat Ferizal Ridwan, berhenti pula mengurus masyarakat. Mantan Ketua Karang Taruna terbaik nasional ini, mengumpulkan para pensiunan pejabat dan pegawai negeri. Termasuk mantan pimpinan dan anggota DPRD.
Setelah berkumpul pada Februari 2021 lalu, para mantan pejabat dan pensiunan pegawai negeri tersebut, sepakat membentuk Relawan Palanta Aksi Kemanusiaan dan Sosial atau Relawan PakSa. Sepintas lalu, nama relawan ini terbilang aneh. Apalagi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paksa memiliki arti mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau.
Namun, mengutip pernyataan William Shakespeare, seorang budayawan dan sastrawan besar Inggris, Ferizal Ridwan menyebut, apalah arti sebuah nama. “Tidak penting soal namanya. Yang penting adalah niat dan semangatnya,” kata Feri Buya, begitu Ferizal Ridwan akrab disapa.
Feri Buya yang pernah menjadi anggota DPRD dari Partai Golkar dan pernah pula memimpin DPC PKB Limapuluh Kota, terus berjalan memimpin Relawan PakSa. Relawan ini awalnya banyak melakukan kegiatan bedah rumah dan membagikan paket sembako di daerah terdampak bencana. Setelah itu, baru fokus mengurus penderita ganguan jiwa.
Rupanya, menurut Feri Buya, sebelum, selama, dan setelah ia menjabat wakil bupati, masih banyak warga Kabupaten Limapuluh Kota yang menderita gangguan jiwa. Sebagian kecil dari mereka, sudah mendapat penanganan medis dan penanganan sosial yang layak. Namun, sebagian besar, masih ‘termarginalkan’.
“Masih banyak penderita gangguan jiwa di Limapuluh Kota yang hidup dalam kondisi dipasung, dirantai, dikurung, dan dikucilkan, dari lingkungan sosial. Umumnya, mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Inilah yang diurus teman-teman Relawan PakSa,” kata Feri Buya.
Selama dua tahun pula atau terhitung sejak Februari 2021 sampai Februari 2023, sudah 36 penderita gangguan jiwa di Limapuluh Kota yang diurus Relawan Paksa. Para penderita gangguan jiwa itu, tidak hanya diantar Rke RSJ HB Saanin di Ulugadut, Padang dan RSKJ Bengkulu. Namun, juga dibawa ke LKS Aulia Rahma Lampung.
“Selama dua tahun, Relawan Paksa sudah tiga tahap mengurus penderita gangguan jiwa. Tahap pertama, ada 12 penderita gangguan jiwa yang diurus. Dari 12 orang itu, ada yang sudah sehat dan sudah berkeluarga. Tapi ada pula yang sudah meninggal dunia,” kata Feri Buya kepada Padang Ekspres, Jumat lalu (24/2).
Sedangkan tahap kedua, ada 10 penderita gangguan jiwa yang dikirim Relawan Paksa ke LKS Aulia Rahma Lampung. Dari 10 orang itu, sebanyak 7 orang dalam kondisi dipasung dan dirantai. Ketika dikirim ke Lampung, kondisi mereka sangat memilukan. Kini, dari 10 orang itu, 1 orang sudah pulang kembali. Sedangkan 9 orang masih menjalani rehabilitasi.
Sementara, untuk tahap ketiga atau pada Februari 2023 ini, Relawan PakSa mengirim lagi 14 penderita gangguan jiwa ke LKS Aulia Rahma Lampung. Mereka yang dikirim itu adalah Apasri,38, Ella, 21, dan Asrul,54. Ketiganya merupakan warga Nagari Galugua, Kecamatan Kapur IX.
Kemudian, Muhammad Irvan, 51, Muspardianto, 42, dan Rudi Hartono, 46. Ketiganya, warga Nagari Labuahgunuang, Kecamatan Lareh Sago Halaban. Ketiganya dikirim ke Lampung bersama satu warga Lareh Sago Halaban lainnya. Yakni Hermansyah, 26, asal Jorong Aiarandah, Nagari Balaipanjang.
Selain empat warga Lareh Sago Halaban ini, Relawan PakSa juga mengirim dua warga Nagari Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh ke Lampung. Yakni, Dori Saputra,27, asal Jorong Lubuakaua, dan Dedi Yufrian, 25, asal Jorong Kampuangmelayu.
Selanjutnya, penderita gangguan jiwa lainnya yang dikirim Relawan PakSa ke Lampung adalah Varma Yudira, 38, asal Jorong Madangkodok, Nagari Sungai Kamuyang, Kecamatan Luak. Kemudian, Beni Fernandes,37, asal Jorong Kapalokoto, Nagari Andaleh, Kecamatan Luak.
Berikutnya, Pasrepelita, 51, dan Nofi Arianto, 35, yang sama-sama berasal dari Nagari Sariaklaweh, Kecamatan Akabiluru. Kemudian, Irwan, 49, yang berasal dari Jorong Suayanrandah, Nagari Suayan, Kecamatan Akabiluru.
Ke-14 penderita gangguan jiwa ini berangkat ke Lampung, tidak hanya didampingi Ferizal Ridwan. Tapi ditemani oleh Relawan PakSa lainnya. Seperti Sy Dt Iyang Bosa, Ismardi, Nasrul Rasyid, dan Edison Sumar yang semuanya mantan pimpinan dan anggota DPRD Limapuluh Kota.
Selain itu, juga ikut mendampingi,Wendriadi (Wali Nagari Galugua), H Taufik Dauli (tokoh masyarakat Kototinggi), Amriyusni (mantan pegawai Dinas PU), Hafnizal (pensiunan guru), Edi Syofianto (tokoh pertanian), dan sejumlah wartawan. Seperti Aspon Dedi, Farhan, Adi Kacer, dan Ryo Brigez.
Menurut Ferizal Ridwan, selama dua tahun Relawan PakSa, mengurus 36 penderita gangguan jiwa, banyak suka dan duka dialami. “Kita merasa puas dan senang, bisa melepaskan penderita gangguan jiwa dari rantai, pasungan, dan kurungan. Lalu membawa mereka ke tempat rehabilitasi. Namun, kadang kita merasa sedih juga,” kata Feri Buya.
Kesedihan itu, bukan hanya karena setiap penderita gangguan jiwa yang direhabilitasi, memerlukan biaya perawatan sebesar Rp100 ribu orang per hari. “Bukan soal ini. Karena kalau soal ini, kita masih temukan donatur dan dermawan yang baik hati. Namun, yang bikin kita prihatin adalah masih rendahnya kesadaran pemerintah nagari,” ujarnya.
Menurut Feri Buya, ada pemerintah nagari yang seolah menyembunyikan penderita ganguan jiwa di wilayah mereka. “Entah merasa malu atau karena alasan apa, kita tidak tahu. Tapi, ada warga yang dipasung dan dirantai, namun pemerintah nagarinya, seolah tidak tahu dan tidak peduli saja,” tukuknya.
Akibat kondisi ini, menurut Feri Buya, pihak Relawan PakSa ikut jemput bola. Tidak hanya memandikan penderita gangguan jiwa, tapi ikut mengurus proses penerbitan rekomendasi atau surat keterangan dari nagari yang dibutuhkan, untuk proses rehabilitasi penderita jiwa di LKS Aulia Rahman Lampung.
Meski demikian, menurut Ferizal Ridwan, ada beberapa pemerintah nagari yang cukup serius mengurus persoalan sosial dan kemanusiaan ini. “Misalnya, Wali Nagari Galugua. Ikut mengantar, tiga warganya ke Lampung. Atau, Wali Nagari Tanjuanggadang. Dari tiga warganya yang direhabilitasi. Setiap orang dibekali uang Rp3 juta,” kata Feri Buya.
Ia berharap, ke depannya, nasib para penderita gangguan jiwa, menjadi perhatian bersama semua pihak. Termasuk, pemerintah daerah dan jajarannya sampai ke nagari. “Ini tugas kita bersama. Gerakan ini, semata-mata untuk sosial dan kemanusiaan. Untuk membuat manusia kembali jadi manusia,” ujar Ferizal Ridwan. (Fajar Rillah Vesky)