Pascagempa 6,1 SR mengguncang Pasaman Barat, sejumlah kampung dan jorong di Nagari Kajai bagai kampung mati. Banyak rumah yang hancur. Yang rusak ringan juga tak dihuni. Namun begitu, ada satu kampung tak terdampak, meski berada di pusat gempa. Dipenuhi rumah adat, kampung itu kini masih “hidup”. Seperti apa?
NAMANYA Kampung Tinggam. Berada di Jorong Lubuaksariak, Nagari Kajai, Pasaman Barat. Saat kampung lain poran-poranda diterjang gempa, justru Kampung Tinggam tetap tentram.
Sudah lebih sepekan, siang dan malam warga lebih banyak menghabiskan hari-hari di tenda, tapi aktivitas di kampung ini malah berjalan seperti biasa.
Ya, bangunan di Kampung Tinggam didominasi oleh rumah gadang atau rumah adat yang sudah berumur ratusan tahun. Warga menyebut ada yang berumur sekitar 100 tahun dan diwariskan turun temurun.
Bahkan, baru hanya beberapa rumah yang dipugar melalui dana dari kementerian terkait. Selebihnya masih asli. Banyak warga di Kampung Tinggam sampai kini melestarikan rumah yang sudah turun temurun itu.
Yusni, 50, yang akrab disapa Upiak, salah satu pemilik rumah gadang di Kampung Tinggam. Rumah gadang itu sudah ia kosongkan sebelumnya, karena pindah rumah di kawasan Pasar Kajai. “Rumah ini sebelumnya kosong. Kami pindah ke pasar, tapi rumah tetap dirawat,” ujarnya.
Kini rumah Upiak di kawasan pasar juga terdampak gempa. Karena takut gempa susulan, rumah betonnya itu untuk sementara ia tinggalkan. Upiak lebih memilih mengungsi ke Kampung Tinggam. Menurutnya, rumah gadang warisan neneknya di kampung itu lebih aman dari ancaman gempa.
Karena tidak ada kerusakan pascagempa. Rumah tersebut umumnya terbuat dari kayu. Tidak ada satupun sisi bangunan yang disemen. Hanya ada batu penyangga tiang-tiang utama rumah. “Jadi hanya tiang saja yang bergeser karena gempa,” ujarnya.
Saat ini, ia lebih merasa aman tinggal di rumah gadang tersebut. Pasalnya sudah beberapa kali terjadi gempa susulan, rumah masih tetap kokoh.
Katanya di Kampung Tinggam memang banyak berdiri rumah-rumah lama (tradisional). Ada rumah gadang dan ada berbentuk rumah panggung. Sehingga di saat kampung lain porak poranda karena gempa, Kampung Tinggam masih terlihat rapi.
Kampung Tinggam adalah permukiman kuno terakhir yang tersisa di Nagari Kajai. Di sana tersisa 6 rumah gadang dan sekitar 50 rumah panggung dari bahan kayu. Perkampungan tradisional itu dihuni lebih kurang 100 keluarga.
Pemilik rumah gadang lainnya yaitu Kartini, 52. Saat terjadi gempa, Kartini mengira rumahnya akan roboh, karena getaran dan goncangan terasa kuat saat berada di dalam rumah.
“Saat itu saya sedang berada di dalam rumah bersama suami. Kami sempat ketakutan karena mengira rumah gadang ini akan roboh,” ujarnya.
Namun setelah gempa, tidak ada satupun reruntuhan kayu di rumah gadang miliknya itu. hanya tiang-tiang utama rumah yang agak sedikit bergeser.
Rumah gadang yang ia huni itu sebelumnya sudah ditempati lebih dari enam keturunan. Rumah gadang juga baru sekali direnovasi sekitar 15 tahun lalu. Dinding papan yang lapuk diganti papan baru. Adapun tiang-tiang bangunan yang berumur lebih dari 100 tahun masih dipertahankan.
Kenapa rumah gadang tahan gempa? Karena menggunakan sistem pasak untuk sambungan tiang, balok lantai, dan balok atap. Sambungannya berupa sambungan pasak kayu berongga. Karena mengunakan sistem pasak, bangunan itu sulit tumbang meski dihoyak gempa besar.
Rumah juga mengambang ke atas dan agak mengerucut ke bawah dan tiang-tiang utama sedikit miring sehingga memperkokoh berdirinya rumah. Meski begitu, kata Kartini, banyak juga warga Kampung Tinggam yang mengubah rumah panggung atau rumah gadang warisan leluhurnya menjadi rumah permanen.
Hal itu, terjadi karena menganggap rumah gadang sudah kuno dan harus diganti dengan rumah permanen, atau rumah beton.
Karena rumah saya ini rumah warisan leluhur, makanya tetap saya pertahankan dan tidak diubah bentuknya. Alhamdulillah, di sini kami merasa nyaman,” tuturnya.
Meski sempat menjadi kampung terlupakan karena banyak warga yang pindah dan meninggalkan kampung, tapi Kartini merasa bangga merawat warisan leluhurnya itu. Ia besryukur karena berkat rumah gadang tersebut, ia dan keluraga masih diberi keselamatan saat musibah gempa terjadi. (Willian)