Surau Bawah Asam yang terletak di Kampuang Galapuang, Jorong Kotogodang, Nagari Pangian, Kecamatan Lintaubuo, Tanahdatar, pernah menjadi tempat penginapan Tentara Keamanan Rakyat pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Kala itu, surau tersebut dijadikan tempat penginapan oleh tentara saat pelarian Radio Radio Yongkie Bravo Juliet (YBJ-6). Surau Bawah Asam sudah ada sejak puluhan tahun silam, namun bangunan itu dahulunya berdinding dan berlantai palupuah (anyaman bambu).
Namun, sejak lima tahun terakhir bangunan surau sudah berdiri permanen. Tahun 1948-1949 lalu, surau itu pernah menjadi bagian dari sejarah, namun tidak banyak yang mengetahui kejadian itu karena ditelan zaman. Bahkan, para orang tua yang berada di kampung tersebut tidak pula membagikan cerita itu kepada generasi.
Salah seorang tetua kampung Galapuang, Syafrudin, 80, mengatakan, dirinya sempat melihat keberadaan tentara tahun 1948-1949-an berada di surau itu. Meski tidak lama, namun surau itu lah dijadikan basecamp persembunyian tentara pengamanan pelarian radio YBJ 6.
Syafrudin yang ditemui di kediamannya Rabu (20/4) malam menuturkan, tidak hanya sebagai tempat penginapan saat pelarian, tentara yang ada kala itu juga mencetak uang disekitaran surau tersebut. ”Saya tidak ingat itu uang apa, tapi yang jelas uang kertas yang dipergunakan untuk masyarakat kala itu,” ujarnya.
Syafrudin yang akrab disapa Mak Pan itu mengatakan, jika uang tersebut dicetak tentara di Surau Tombang, terletak tidak jauh dari Surau Bawah Asam. Waktu itu, lokasi Surau Tombang lebih tersembunyi.
Kala itu sebutnya, dirinya melihat banyak tentara menginap di Surau Bawah Asam, tapi tidak tahu mengapa banyak tentara ada disitu kala itu. ”Bahkan, orang kampung setiap hari menyediakan makanan bagi tentara secara bergantian untuk makan tentara di sana,” ujarnya.
Meski tidak lama dan diperkirakan hitungan bulan, namun surau tersebut sempat mencatat bagian dari sejarah keberadaan Republik Indonesia pada masa PDRI. ”Hanya saja cerita ini tidak pernah beredar dan tersebar, karena para orangtua dahulu tidak bercerita kepada anak-anaknya,” ujarnya sembari mengingat-ingat untaian kejadian.
Mak Pan menjelaskan jika uang yang dicetak oleh tentara kala itu, nantinya ada yang menjemput untuk dipergunakan. ”Seingat saya uang itu juga tidak lama beredarnya. Karena setelah itu tentara itu sudah pergi dan tidak ada kabar lagi,” ujarnya.
Surau Bawah Asam sendiri diperkirakan menjadi tempat persinggahan sebelum Radio YBJ 6 diungsikan dari Laras Air Nagari Lubukjantan ke Sumpurkudus. ”Karena jalan dari kedua daerah itu kala itu mengikuti aliran Batang Sinamar, dan kebetulan di sini ada perkampungan yang ada di seberang Batang Sinamar, makanya jadi tempat persinggahan,” sebutnya.
Pada masa itu, keberadaan kampung Galapuang masih rimba dan belum seperti sekarang. Karena memang terletak di seberang aliran Batang Sinamar, dan kala itu untuk menyeberang hanya memakai titian dari anyaman bilah.
Dengan melintasi titian itulah para tentara pergi mencetak uang ke Surau Tombang yang ada di seberang. ”Selama para tentara itu menginap di sini, saya tidak pernah mendengar ada pesawat Belanda yang melintas. Karena memang kampung ini tersembunyi dan jauh dari jalan raya, serta susah untuk dicapai kala itu,” kenangnya.
Pada masa itu kenangnya, para tentara yang menginap di surau itu suka bergaul dengan warga setempat. ”Bahkan jika ada warga yang menjala ikan di Batang Sinamar selalu dilihat mereka,” ujarnya.
Mak Pan sempat melihat Radio YBJ 6 yang dibawa para tentara kala itu untuk memghindari pengejaran dari pihak penjajah belanda. ”Seperti kotak besi petak dan besar, mereka membawanya dengan disandang,” tuturnya.
Mak Pan memperkirakan keberadaan tentara di surau itu sekitar tiga sampai empat bulanan. ”Setelah itu mereka pergi, dan tidak ada kabar yang terdengar lagi,” tukasnya.
Selain itu, keberadaan Surau Bawah Asam dipergunakan oleh warga setempat sebagai tempat ibadah seperti rumah ibadah lainnya. Bahkan, juga pernah tempat sasaran silat orang-orang dahulunya.
Novarisman, sekretaris Nagari Pangian mengatakan, saat ini kondisi surau sudah jauh lebih baik. ”Pada tahun 2017 lalu, setelah pemilik lahan menghibahkan tanah, surau itu dibangun permanen,” ujarnya.
Surau itu kini ujarnya, dijadikan sebagai tempat ibadah dan mengaji bagi anak-anak. Kadang juga dijadikan sebagai tempat rapat dan pertemuan lainnya bagi warga setempat.
Saat ini warga Kampung Galapuang diperkirakan lebih kurang 250 jiwa atau 100 Kepala Keluarga (KK) yang sebagian besar warganya bertani. (***)