
Sejak berdiri tahun 1933, Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di bawah naungan Yayasan AL Hikmah Buya Haji Umar Bakri Pariangan, Batusangkar, Tanahdatar masih eksis hingga saat ini. Sekolah yang terletak di Jorong Padangpanjang ini dahulunya banyak melahirkan laskar pejuang pada masa penjajahan.
SEKOLAH yang saat ini juga memiliki kampus dengan nama Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Pariangan itu, awalnya didirikan oleh beberapa tokoh agama pada masa penjajah Belanda sekira tahun 1933 silam. Diantaranya Haji Umar Bakri, Haji Muchtar Katik Mulia, serta Ahmad Datuak Sidano serta beberapa orang lainnya.
Sekolah yang memang dari awal diberi nama MTI Pariangan itu didirikan berupa bangunan tempo dulu dan bukan bangunan permanen seperti saat ini. Dengan izin dan bantuan para tokoh adat serta ninik mamak kala itu, bangunan didirikan secara gotong royong bersama warga.
Mendirikan sekolah saat itu tentu saja tidak segampang saat ini. Apalagi sekolah dengan keagamaan menjadi sorotan dan perhatian penjajah kala itu. Bahkan Buya Haji Umar Bakri pada masa itu pernah ditangkap oleh penjajah dan dihajar oleh “Belanda Hitam” (istilah untuk orang pribumi yang memihak Belanda) pada masa itu.
Pimpinan MTI Pariangan saat ini Misbar saat dijumpai di ladangnya pada Selasa (21/3) sore lalu mengungkapkan, jika sejak dahulunya sekolah itu telah didatangi dan menjadi tempat menimba ilmu. Tidak hanya warga lokal saja, akan tetapi juga dari luar daerah seperti Riau, Tapanuli, Bengkulu dan Jambi.
Sekolah itu awalnya didirikan dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa yang berbasis nilai keagamaan. Pelajaran agama serta mempelajari kitab-kitab keagamaan menjadi tiang utama pembelajaran.
Tokoh utama kala itu, Buya Haji Umar Bakri yang hampir menamatkan sekolahnya di MTI Jaho mendapat titah dari gurunya agar mendirikan MTI di Pariangan. Dengan beberapa orang lainnya dan restu dari para ninik mamak, pembangunan sekolah dimulai dengan gotong royong bersama warga setempat.
Awal berdiri pada tahun 1933, sekolah mulai menerima siswa, yang memang pada dasarnya didominasi oleh warga lokal Pariangan dan Tanahdatar pada umumnya. Pada masa penjajahan, para siswa kemudian dibentuk menjadi laskar pejuang dan dilatih baris berbaris serta menggunakan senjata terutama bambu runcing.
Buya Haji Umar Bakri yang menjadi pimpinan pernah ditangkap penjajah pada masa itu. Bahkan pernah dihajar oleh orang pribumi yang memihak penjajah Belanda. Pada saat Buya Haji Umar Bakri ditahan penjajah Belanda, sekolah itu pernah ditutup setahun lamanya, hingga kemudian buya Umar dilepaskan, sekolah kembali beroperasi.
Dari sekolah itu banyak para laskar pejuang dilahirkan, dan hingga saat ini banyak para veteran terutama dari Pariangan sendiri yang merupakan alumni sekolah itu. Setelah masa penjajahan, MTI Pariangan juga pernah ditutup pada masa pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1957-1958.
Karena pergolakan terus meningkat dan wilayah di Simabur kala itu menjadi salah satu lokasi basis pertempuran, sekolah ditutup sejak tahun 1958 hingga tahun 1960-an. “Pada dasarnya sejak dibangun hingga tahun 1960-an itu yang menjadi pelajaran utama adalah pelajaran berbasis agama dengan mempelajari ilmu Al Quran serta kitab-kitab keagamaan,” terang Misbar.
Buya Haji Umar Bakri yang pasca kemerdekaan bergabung dengan Partai Perti, pada tahun 1955-1959 terpilih menjadi anggota konstituante pusat. Karena harus mengabdi di pusat, pimpinan sekolah diserahkan pada seorang guru lainnya kala itu Labay Marajo.
Setelah Partai Perti dibubarkan oleh pemerintah, Buya Haji Umar Bakri kemudian pindah ke Tanjungpinang dengan menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tanjungpinang. Kala itu menjadi Kepala KUA setara dengan Kepala Kemenag saat ini.
Sekitar tahun 1970an, Buya Umar Bakri Kembali ke Tanahdatar sebagai Kepala KUA Tanahdatar. Saat kembali itu serta tidak lama setelah pensiun, Buya Umar Bakri kembali fokus mengelola sekolah MTI Pariangan.
Pada tahun 1960 hingga tahun 1976, dimulailah adanya mata pelajaran umum. Diantaranya bahasa Inggris dan aljabar (matematika). Pada tahun 1965, mulailah murid-murid berdatangan dari provinsi tetangga seperti Tapanuli Selatan, Bengkulu, Riau, dan lain sebagainya.
Tahun 1976 didirikan Akademi Dakwah yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Pariangan. Pada tahun 1982, Akademi Dakwah berganti nama menjadi Fakultas Dakwah (setara D3). Kemudian pada tahun 1986 hingga tahun 2000 silam berganti nama menjadi STIT Pariangan.
Pada tahun 2000 sampai sekarang, akhirnya berubah nama menjadi STAI Pariangan. Pada tahun 1991, Buya Umar Bakri meninggal dunia. Pimpinan MTI digantikan oleh menantunya Duskiman Saad Datuak Rajo Sindo yang juga menjabat sebagai ketua yayasan dan ketua STAI. Setelah Duskiman meninggal, kemudian pimpinan digantikan oleh Drs Nasrul.
Saat ini MTI membawahi Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsyanawiyah (MTS). Selain itu hingga saat ini kampus STAI masih tetap eksis. Misbar yang saat ini menjadi pimpinan MTI merupakan alumni MTI setempat. Dirinya masuk tsanawiyah pada tahun 1980-1986 lalu itu menghabiskan waktu belajarnya di MTI Pariangan hingga saat ini menjadi pimpinan di sana.
Untuk mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangan dunia pendidikan, di MTI Pariangan saat ini mulai dikombinasikan pendidikan agama dan pelajaran umum. “Jadi 50 persen pelajaran agama dan 50 persen pelajaran umum.
Namun, karena MTI merupakan sekolah berbasis agama, maka pelajaran agama kita tambah jamnya, tapi di asrama dan rumah guru,” tuturnya. Saat ini, jumlah total siswa di MTI Pariangan sebanyak 183 orang, dengan jumlah guru 33 orang. Di sekolah disediakan asrama bagi siswa baik siswa lokal maupun siswa dari luar daerah.
Untuk operasional sekolah sendiri ujar Misbar, sekolah tidak hanya mengandalkan bantuan dana BOS akan tetapi sekolah juga aktif menjalankan proposal kepada tokoh masyarakat, perantau maupun warga. “Kita selalu dapat dukungan dari warga untuk perkembangan sekolah. Tidak hanya bantuan dana, tapi juga partisipasi lainnya,” katanya.
Hanya saja saat ini, karena lokasi lahan yang semakin sempit menjadi kendala tersendiri bagi pihak sekolah untuk mengembangkan bangunan sekolah kedepannya. ”Solusinya tentu kita cari lahan lain yang memadai untuk perkembangan bangunan sekolah,” ucapnya. Sekolah MTI sejauh ini sebutnya, telah banyak melahirkan lulusan terbaik, bahkan banyak alumni MTI yang berkiprah menjadi guru.
Beberapa orang lainnya menjadi kepala Pengadilan Agama, serta tidak terhitung jumlahnya yang telah menjadi mubalig, serta menjadi petugas departemen penerangan. (Nanda Anggara)