
Kekayaan alam Limapuluh Kota dikeruk setiap hari oleh puluhan perusahaan tambang. Izin usaha yang tak lagi wajib lewat pemda, membuat perusahaan sering lepas dari kewajiban menyetor pendapatan asli daerah. Sementara, kerugian daerah dan biaya untuk menangani dampak bencana tambang, membengkak setiap tahunnya. Siapa yang bermain?
Khairul Apit kesal bukan kepalang. Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Limapuluh Kota itu tidak menyangka, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tambang pada tahun anggaran 2022, cuma Rp5,3 miliar.
“Padahal, secara kasat mata kita lihat, ada puluhan perusahaan tambang beroperasi di daerah ini. Kok PAD dari tambang cuma Rp5,3 miliar. Sementara, nilai kekayaan alam yang dikeruk, entah sudah berapa ratus miliar. Mungkin sudah triliunan, jika dihitung sejak dulunya,” ujar Khairul Apit kepada Padang Ekspres, Minggu (26/2).
Lantaran kesal melihat PAD dari pertambangan tidak bisa “menambal” keuangan daerah yang sedang “Senin-Kamis”, Khairul Apit lantas mencari data perusahaan tambang di daerah ini. Rupanya, hanya 20 perusahaan tambang terdata di Pemkab Limapuluh Kota.
“Bayangkan, hanya 20 perusahaan terdata di pemerintah daerah. Itu data resmi dari pemerintah daerah yang disampaikan dalam rapat dengan DPRD. Padahal, hitung-hitungan kita DPRD, ada sekitar 53 perusahaan tambang yang beraktivitas di daerah ini,” kata Khairul Apit.
Hitung-hitungan DPRD Limapuluh Kota diperkirakan tidak meleset. Berdasarkan data yang diperoleh Padang Ekspres dari situs resmi Kementerian ESDM. Sampai Februari 2013 saja, ada 29 daftar pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dinyatakan CnC dan Non CNC di Kabupaten Limapuluh Kota.
Pemegang izin usaha ini, tak hanya perusahaan, tapi juga pribadi dan koperasi. Luas wilayah yang digarap pemegang izin usaha tersebut, mencapai belasan ribu hektare. Komoditasnya, mulai dari batubara, galena, galian batuan (galian C), batuan, sampai dengan batuan pasir dan dolomite.
Akan tetapi, data di Pemkab Limapuluh Kota, sampai dengan Februari 2023, perusahaan tambang yang terdata, hanya 20 perusahaan. “Ini, selain karena pemda kurang gesit mendata. Juga karena izin tambang, tak lagi wajib lewat daerah. Bisa langsung lewat pusat dan provinsi,” kata Khairul Apit.
Akibat kondisi terakhir ini pula, menurut Apit, tidak heran banyak perusahaan tambang yang tiba-tiba saja sudah beroperasi. “Misalnya, di Suliki. Saat ini, ada kegiatan eksploitasi pasir kwarsa yang dikirim ke Dumai. Izinnya, diterbitkan pusat. Tapi tidak terdata di daerah. Ini kan berbahaya. Kalau ada dampaknya, bagaimana?” kata Khairul Apit.
Mantan Wali Nagari Pandamgadang, Kecamatan Gunuang Omeh ini meminta pemda untuk segera menertibkan izin tambang dan aktivitas tambang yang ada di daerah ini. Baik yang resmi ataupun yang sembunyi-sembunyi. “Kawan-kawan DPRD juga kita minta bergerak. Kapan perlu, kita bikin Pansus Tambang,” ujar Khairul Apit.
Permintaan menertibkan perusahaan tambang dan aktivitas tambang, juga pernah disuarakan Fraksi PAN DPRD Limapuluh Kota dipimpin Marsanova Andesra. “Pertambangan harus ditertibkan. Aturan harus ditegakkan. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran masyarakat,” kata Mulyadi, mewakili Fraksi PAN.
Tak hanya politisi, masyarakat sipil di Limapuluh Kota, juga pernah meminta agar perusahan tambang dan aktivitas tambang di daerah ini ditertibkan. “Sebab, PAD yang diterima, tidak sebanding dengan dampak yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Seperti dampak lingkungannya,” kata Yudilfan Habib Dt Monti dari Forum Peduli Luak Limopuluah.
Ini sesuai pula dengan hasil kajian yang pernah dilakukan Kementerian Kehutanan Lingkungan Hidup (KLHK), melalui Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatera.
Pada 2019 lalu, P3E Sumatera melakukan kajian terhadap kondisi kerusakan Batang (Sungai) Maek di Kabupaten Limapuluh Kota yang sering memicu terjadinya banjir dan longsor di wilayah Sumbar dan Riau.
Berdasarkan kajian P3E Sumatera yang berada di bawah naungan KLHK, kerusakan di daerah aliran sungai Batang Maek selama ini dikarenakan berbagai persoalan yang terjadi. Tidak hanya karena dugaan illegal logging dan pendangkalan, saja tapi juga karena aktivitas penambangan liar dan galian C.
Menyusul kajian P3E Sumatera ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) pada 2020, juga pernah melakukan kajian terhadap aktivitas tambang di Limapuluh Kota. Khususnya di Kecamatan Pangkalan Koto Baru.
Dari catatan Walhi Sumbar saat itu, ada 12 perusahaan tambang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pangkalan Koto Baru. Ini membuat Pangkalan jadi kecamatan paling masif dan paling banyak ditemukan izin tambangnya di Sumbar.
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) di Pangkalan itu, untuk pertambangan sirtu, andesit, batubara, dan timah hitam, sudah mencapai 1.799,41 hektare. Walhi Sumbar mengkhawatirkan, aktivitas tambang di Pangkalan, bisa berdampak terhadap lingkungan.
Selain berdampak terhadap lingkungan, aktivitas tambang di Kabupaten Limapuluh Kota, termasuk PAD yang dihasilkan dari sektor tambang, tidak sebanding dengan biaya publik yang harus dikeluarkan untuk mengurus dampak tambang.
Bahkan, setiap tahun, Limapuluh Kota mengalami kerugian belasan miliar rupiah, karena bencana alam yang ikut dipicu aktivitas tambang. Hal ini pula yang pernah disuarakan cendikiawan Sumatera Barat asal Limapuluh Kota, Profesor Syafruddin Karimi.
“Besarnya biaya publik akibat bencana berkaitan tambang menjadi tidak sebanding dengan pendapatan daerah dari usaha tambang,” kata Profesor Syafruddin Karimi kepada Padang Ekspres, beberapa waktu lalu.
Menurut Syafruddin Karimi, pada satu sisi, usaha tambang penting sebagai sumber pendapatan buat buruh dan bisnis, serta penerimaan pemda yang meski masih kecil.
Tapi, pada sisi lain, besarnya biaya publik yang wajib dikeluarkan ketika bencana berkaitan tambang, tidak bisa dihindari. Kedua sisi ini, mesti jadi pertimbangan dalam evaluasi tambang yang berjalan dan yang akan dapat izin usaha baru.
Meski begitu, Syafruddin Karimi yang putra Tanjuangjati, Guguak, Limapuluh Kota tetap melihat, sektor pertambangan atau Sumber Daya (SDA) adalah kekuatan ekonomi yang bisa memajukan sebuah bangsa bila pengelolaannya memiliki governance yang baik. Bila tidak memiliki governance yang baik, kekayaan SDA bisa berubah menjadi utang sepanjang generasi. (Fajar Rillah Vesky)