
Deretan foto berjejar di dinding masjid yang konon dibangun sejak tahun 1860 M itu. Dengan status cagar budaya yang disandangnya, Masjid Jami’ Taluak masih dimanfaatkan masyarakat untuk beribadah dan kegiatan keislaman lainnya.
Sebagai salah satu masjid kuno yang dibangun sejak jaman kolonial, masjid ini masih terawat. Dengan nilai sejarah itu pula, tidak sedikit pengunjung yang mampir untuk sekedar melepas penat, menyapa Sang Khalik, lalu berswafoto di halaman masjid.
”Bagi yang anaknya suka ngasih makan ikan, di sini tempatnya. Kolamnya besar. Harga makanan ikan cuma Rp 2 ribu per bungkus. Dikelola oleh pihak masjid. Rekomended,” ujar Haswandi memamerkan sebuah foto yang mengabadikan keceriaan dua gadis kecilnya memberi makan ikan di kolam Masjid Jami Taluak, kemarin (26/4).
Informasi yang dirangkum Padang Ekspres, masjid ini merupakan satu-satunya masjid kuno di Sumatera Barat yang paling banyak difoto sejak masa Kolonial Hindia Belanda. Hal itu terbukti dengan banyaknya foto lama khususnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sejumlah dokumentasi tentang eksistensi masjid ini telah tersimpan di Troponmuseum, Amsterdam, Belanda. Jejak digitalnya bahkan bisa dijumpai dengan mudah di dunia maya. Termasuk arsip yang ada di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), dan Rijksmuseum Amsterdam.
Menurut akademisi ITB, Bambang Setia Budi (2017), masjid ini telah melalui beberapa kali pemugaran. Dalam penelitian berjudul ”Studi Perkembangan Fisik Arsitektural Masjid Taluk, Sumatra Barat” itu keberadaan menara masjid menjadi penentu fundamental perubahan masjid.
Kata Bambang, dalam banyak teks dan penyebutan bahasa Belanda, termasuk penamaan file foto-foto dokumentasinya, Masjid Jami’ Taluak sering disebut dengan Moskee en visvijver in Taloek bij Fort de Kock atau artinya Masjid dan Kolam Ikan di Taluk dekat (benteng) Fort de Kock.
Bukti arsip yang tertata rapi itu pula membuat tiap-tiap perubahannya dari masa ke masa dapat ditelusuri dan dirunut dengan baik dan teliti. Masjid Jami’ Taluak ditasbihkan sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia. Untuk dapat mencapai lokasi ini, pengunjung bisa melacaknya di aplikasi Google Maps. Terletak di Nagari Taluak IV Suku, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam.
Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Haji Abdul Majid pada tahun 1860, yang pada mulanya hanya terbuat dari kayu beratapkan ijuk dan diganti dengan seng pada tahun 1920. Bangunan terdiri dari tiga bangunan pokok, yaitu bangunan masjid, mihrab, dan menara. Bangunan masjid mempunyai atap berundak tiga tingkat seperti sebi arsitektur khas Masjid Demak.
Karena kawasan Nagari Taluak IV Suku berbatasan langsung dengan Kota Bukittinggi dan berada di kaki gunung, cuaca di sini cukup sejuk dan beriklim tropis. Atas pertimbangan itu, atap masjid dibangun dengan kemiringan yang jauh lebih tajam dan permukaan yang cekung. Atap yang begitu miring itu diharapkan dapat lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah.
Dari bibir jalan raya dapat disaksikan bahwa tangga masuk menuju bangunan utama masjid tidak terdapat di bagian tengah. Pintu masuk berposisi di ujung kiri dan kanan yang masing-masing memiliki atap sendiri alias terpisah dari atap utama masjid.
Pada ruangan utama terdapat 5 buah tiang utama. Empat di antaranya membentuk denah bujur sangkar dan satu tiang berada di tengahnya. Bentuk tiang kubus pada bagian bawah dan persegi delapan pada bagian tengah, dan puncaknya berbentuk pelipit.
Bagian kedua yang cukup mencolok yaitu adanya bangunan mihrab berukuran 7,5 x 3 m. Pada ruangan mihrab ini terdapat mimbar porselin berhias bunga dan stiliran daun-daunan. Mimbar ini berangka tahun 1926. Atap di bagian mihrab pun berbentuk kubah.
Keunikan yang ketiga, ada pada menara masjid yang sayangnya kini tidak dapat dijumpai lagi. Menara khas masjid kuno itu hancur dirusak gempa dahsyat tahun 2007 silam. Menurut berbagai sumber, bangunan menara berbentuk segi delapan pada bagian bawah dan membulat pada bagian tengah.
Keliling bangunan menara bagian dasar adalah 10,5 m dan pada bagian segi delapan adalah 8,7 m. Pintu masuk berada di sebelah barat, berukuran lebar 0,5 m dan tinggi 1,5 m. Antara bagian segi delapan dan bagian membulat terdapat selasar melingkar yang berpagar di bagian luar.
Diamater selasar ini lebih lebar dibandingan dengan tubuh menara sehingga terkesan menonjol. Bagian puncak di bawah atap juga terdapat selasar melingkar dan ruangan yang dinding lingkarnya di bagian luar berupa dinding kaca.
”Masjid Taluk ini merupakan bangunan heritage, semestinya perubahan dan perkembangan ini diawasi dengan ketat dan tidak dibiarkan begitu saja. Sangat perlu diberikan panduan dan pendampingan dari ahli atau pakar bangunan bersejarah agar kondisi fisiknya lebih terawat dan perubahannya lebih dapat terkontrol dan kualitas arsitekturalnya terjaga dengan baik,” tulis Bambang.
Penyebutan Taluak, sejarawan menyandingkannya dengan istilah luhak atau kolam besar yang ada di halaman masjid. Di dalam lingkungan masjid ini terdapat tiga kolam atau disebut luhak dalam bahasa setempat yang berfungsi untuk mengambil wuduk, dan di dalamnya juga dipelihara berbagai jenis ikan air tawar.
Tiga kolam masjid ini posisinya berada di depan, samping kanan, dan belakang. Dengan demikian, kompleks masjid ini melambangkan eratnya kaitan antara agama dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Di sisi lain, Kepala Seksi Pemerintahan Nagari Taluak IV Suku, Muhammad Arif menceritakan bahwa kegiatan remaja masjid pada Masjid Jami Taluak menjdi salah satu nilai lebih yang dipertahankan hingga kini. Selain itu, keberadaan tiga kolam besar yang ada di sekeliling masjid, kata Arif, juga cukup memupuk semangat sosial masyarakat.
”Makanan ikan dibeli dari dana kas pemuda sekitar lalu dibungkus kemasan kecil. Pengunjung masjid yang ingin memberi makan ikan bisa berdonasi sekaligus mengajarkan anak-anak mereka memberi makan ikan,” katanya.
Beberapa tahun berlalu, ikan yang sudah siap panen dijadikan momen silaturahmi warga dan perantau. Ada agenda pancing bersama yang dipelopori pemuda. ”Karena adanya perbedaan pendapat antara pemuda dan pengurus masjid tentang konsep memancing ikan, tradisi itu belum terlaksana belakangan ini. Biasanya uang yang diperoleh hasil mancing ikan bisa dipakai untuk pemeliharaan masjid dan jalan rusak di kampung,” terangnya.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat sekaligus mantan Camat Banuhampu, Afdhal. Menurutnya keberadaan Masjid Jami Taluak cukup memberi pengaruh besar bagi peradaban Islam dari masa lampau hingga kekinian.
”Yang jelas masjid itu menjadi tempat berkumpul warga menunaikan ibadah shalat lima waktu. Masjid juga dipakai untuk tempat bermusyawarah tentang isu yang berkembang di sekitar,” katanya.
Keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah Masjid Jami Taluak, disebut Afdhal cukup tinggi. ”Selain karena berstatus cagar budaya, warga sekitar masjid juga menjunjung tinggi nilai-nilai sejarah. Beberapa pembangunan dan renovasi yang dilakukan tetap mempedomani arsitektur dasar masjid sehingga tidak banyak perubahan yang tampak,” jelasnya.
Beberapa program pemerintah Kabupaten Agam, sambung Afdhal, juga mendapat sambutan baik oleh pengurus masjid dan jamaah sekitar. Seperti halnya Program Taharah Masjid dan Agam Menyemai.
”Lingkungan masjid cukup bersih, begitu juga tempat berwuduk dan toiletnya. Warga setempat menjadikan kolam yang ada di sekeliling masjid sebagai pusat budidaya ikan yang bernilai ekonomis,” katanya. (***)