Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, Moderasi Beragama dan Bersinergi

MENUNTUT ILMU: Sejumlah santri Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek selepas melaksanakan Shalat Zuhur berjamaah, kemarin.(RIAN AFDOL/PADEK)

Dimulai dari halaqah pada tahun 1910, Syekh Ibrahim Musa atau lebih dikenal dengan Inyiak Parabek, memulai moderasi beragama di Sumbar. Upaya moderasi beragama ini terus dijaga dan diwariskan kepada murid-murid beliau hingga hari ini.

HALAQAH sebagai upaya moderasi beragama yang dilangsungkan di Surau Parabek itu, hari ini menjadi telah menjelma sebuah lembaga pendidikan Islam dengan nama Pondok Pesantren (Ponpes) Sumatera Thawalib Parabek. Ponpesi itu terletak di Jalan Simpang Bangkalaweh, Jorong Parabek, Nagari Ladanglaweh, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam.

Lokasi ini masih lokasi yang sama saat pesantren ini pertama kali dirintis. Dari Kota Bukittinggi, berjarak sekitar 4,7 kilometer ke arah Padangpanjang. Ponpes Sumatera Thawalib Parabek terdiri dari tiga satuan Pendidikan. Yakni madrasah tsanawiyah (Mts) madrasah aliyah (MA) dan ma’had aly setingkat perguruan tinggi.

Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek pernah menjadi anggota Konstituante. Pernah aktif di berbagai organisasi. Bahkan pernah membentuk laskar jihad. Hal tersebut diungkapkan Pimpinan Pondok H.M. Zaki Munawar, LC kepada Padang Ekspres saat berkunjung kemarin (30/3).

“Tapi itu semua terpisah dari struktur Sumatera Thawalib Parabek. Apapun pilihan politik dan apapun pilihan mazhab Inyak Parabek tidak meminta murid-muridnya untuk ikut serta. Apalagi memaksa,” ujarnya.

Disana yang ditekankan adalah keilmuan. Adapun pilihan pribadi diserahkan kepada murid untuk memilih jalan hidupnya. Bahkan dalam preferensi agama, Inyiak Parabek hanya memberikan wawasan, pengetahuan, bekal bagi murid. Soal pilihan dikembalikan kepada para santri.

Sebab itu, hari ini bisa dilihat, ada alumni Parabek yang gabung Muhammadiyah, NU, Perti, dan ormas-ormas Islam lainnya. “Ini dikarena sejak dari embrionya sudah seperti itu,” ujarnya.

Dimulai Dari Surau

Sejak Inyiak Parabek Kembali dari Mekkah pada 1910, embrio Sumatera Thawalib Parabek mulai terbentuk. Zaki Munawar bercerita, sepulang dari Mekkah Syekh Ibrahim Musa membuat halaqah untuk mengembangkan keilmuan dan misi dakwah yang telah beliau terima di Mekkah.

“Di Mekkah ia belajar dari Syekh Khatib Al Minangkabawi, murid Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti kerajaan Hijaz atau bisa kita sebut Mufti Turki Ustmasni untuk wilayah Mekkah, Madinah dan Hijaz. Jadi bisa dikatakan jalur keilmuan Ponpes Parabek sama dengan jalur keilmuan KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, dan beberapa Ulama besar lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Selain untuk mengembangkan keilmuan dan mengembangkan misi dakwahnya, kaderisasi ulama menjadi latar belakang Inyak Parabek mengembangkan halaqah-nya. Karena kehadiran ulama merupakan kebutuhan mutlak. “Ulama berperan mengaktualisasikan agama sesuai kebutuhan zaman,” ucapnya.

Metode yang digunakan di Surau Parabek ialah mangaji duduak. Di sini mengaji kitab-kitab klasik dengan sistem duduk bersila. Seorang guru membacakan teks untuk muridnya atau seorang murid membaca teks untuk dikonfirmasi oleh gurunya. Metode ini masih dipertahankan sampai sekarang.

Pada tahun 1926, sebut Zaki Munawar, mulai dibangun gedung dan lokal. Mulai lah diadopsi sistem pendidikan modern. Pada masa itu mulai menggunakan bangku, meja dan papan tulis. Semangatnya tetap sama dengan halaqah.

Tetap semangat menggali ilmu dengan serius tapi dengan pendekatan yang baru. Kemudian, pada era 1970-an mulai mengakomodir ilmu alam, aljabar dan beberapa ilmu umum lainnya.

“Pada beberapa dekade terakhir, Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek terus berbenah. Terus meningkatkan kualitas pendidikan, sarana dan prasarana untuk mendukung kelancaran proses pendidikan yang kita jalankan. Sekarang kita sudah memiliki santri berjumlah 2.100 tersebar dalam tiga satuan Pendidikan. Tsanawiyah, aliyah dan ma’had aly,” ucapnya.

Setelah terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, sambung Zaki Munawar, seluruh pesantren di Indonesia, termasuk ponpes ini mendapat rekognisi dan perhatian yang jauh lebih layak dari pemerintah.

Keberadaan pesantren sudah dilindungi dan diakui undang-undang sebagai salah satu bentuk pendidikan formal di Indonesia. Sama seperti SLTA dan juga SMP. Sejatinya saat ini Sumatera Thawalib Parabek, mengunakan dua kurikulum.

Baca Juga:  Kotorajo, Perkampungan Minangkabau Tempo Dulu: Kampung Si Bungsu di Tikam Samurai

Kurikulum yang dari Kementrian Agama dan kurikulum kepondokan. Untuk kurikulum kepondokan sendiri merupakan kekhasan dari Sumatra Thawalib sejak awal berdirinya. Yaitu kajian mendalam pada literatur kitb-kitab klasik.

Tidak hanya sampai disitu, perkembangan Ponpes Thawalib Sumatra Parabek terus berlanjut. Baru- baru ini untuk memperkuat tradisi literatur kitab kuning klasik, ponpes ini meluncurkan satuan pendidikan baru, yaitu pendidikan diniyah formal. Pendidikan khas pesantren lewat jalur formal.

Kurikulumnya 90 persen berbasis kitab kuning, berbasis keagamaan. “Hal ini bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai yang telah ada,” jelasnya.

Peran dari Satu Abad Lalu

Lebih dari seabad berdiri, Sumatera Thawalib Parabek tentu memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika perkembangan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dan di Indonesia. Kata Zaki Munawar pada masa-masa awalnya, Parabek menjadi jembatan antara ulama golongan tua dan ulama golongan muda.

“Ada memori kolektif bahwa Syekh Ibrahim Musa adalah tokoh yang progesif. Moderat. Tapi tetap dekat dengan golongan tua. Menjembatani kedua golongan itulah peran penting Parabek kala itu. Golongan tua yang dengan kajian atau pemahaman konservatif, kaum muda dengan pemahaman modrenisnya,” tuturnya.

Sejak berdirinya Parabek pun telah menghasilkan sejumlah tokoh besar yang berpengaruh di Indonesia. Berkiprah dalam berbagai bidang di Indonesia. Misalnya Buya Hamka, tokoh muslim Indonesia, Adam Malik yang pernah menjadi wakil presiden, Buya Datuak Panglimo Kayo pernah menjadi dutabesar Indonesia untuk Irak, Ja’far Ismail dan banyak nama lainnya.

“Kalau Buya Hamka, dulu saya pernah dengar bahwa beliau akrab sekali dengan Syekh Ibrahim Musa. Tidak lagi seperti murid dan guru. Terlihat seperti ayah dan anak. Jika Buya Hamka tidak ada uang, ia kadang memintanya kepada Syekh Ibrahim Musa. Sangat akrab sangat mesra. Buya Hamka dulu belajar secara langsung kepada Syekh Ibrahim Musa,” tuturnya.

Menurutnya, eksistensi ponpes semakin hari semakin diakui masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya animo orangtua untuk mempercayakan pendidikan anak-anaknya di Ponpes.

“Dengan pencapaian ini, Parabek sesungguhnya telah meletakan dirinya sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua dan teruji dan dapat menyambut estafet keulamaan,” ujar Zaki Munawar.

Bersinergi dengan Masyarakat

Bercerita tentang keunikan lain dari Pondok Pesantren Sumatra Thawalib Parabek, pimpinan pondok ini mengungkapkan, Parabek dari dahulunya terus menjalin keharmonisan dengan masyarakat sekitar. Parabek terus menjalin sinergi dengan masyarakat.

Pada masa awal sebelum ada asrama, murid atau dulu disebut orang siak, tinggal di rumah-rumah masyarakat sekitar. Mereka juga bekerja ke sawah dan ladang-ladang masyarakat. Uang yang didapatkan dari kerja tersebutlah yang dijadikan bekal selama mereka belajar di sina.

Setelah ada asrama sinergi itu terus dipertahankan. Misalnya, para santri dan guru terus shalat di Masjid Jami. Masjid yang juga digunakan oleh warga sekitar. Kalau ada warga yang kemalangan, santri juga ikut takziah. Kalau ada masyarakat punya kegiatan-kegiatan tertentu ponpes itu juga ikut terlibat.

“Kita juga berupaya untuk meningkatkan peluang ekonomi masyarakat sekitar. Misalnya, di sini kita membuka kantin, tapi untuk barang-barang yang dijual di kantin itu, kita undang masyarakat untuk menyiapkannya. Tentu kita bekerja sama dengan puskesmas terdekat untuk memastikan kehigienisannya. Contoh lainnya kita tidak membuka unit usaha laundry. Kalau pondok mau tentu gampang saja tapi kita mengupayakan bagaimana agar masyarakat tetap mendapatkan dampak ekonomi dari kehadiran kita. Selain itu untuk sumber daya manusia selama dianggap layak dan cakap kita banyak menyerap dari warga sekitar agar kita terus bisa dapat bersinergi dengan masyarakat,” tukasnya. (Rian Afdol)