Sidang Rakyat mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, 2-5 Oktober mendatang. Sidang Rakyat itu muara dari luapan perasaan korban dan pendamping korban yang terabaikan.
Sidang rakyat bertujuan mendesak DPR RI memasukkan RUU P-KS di dalam Prolegnas Prioritas 2021 dan segera bersama Presiden RI untuk mensahkan RUU P-KS. Dimulai dari Pembukaan, Region Sulawesi dan Papua, Region Sumatera, Region Jawa, Region Bali, Nusra dan Kalimantan, serta Penutupan. Pembukaan sidang rakyat dipimpin oleh tiga pimpinan sidang yang terdiri dari Ni Putu Chandra Dewi (LBH Bali), Meila Nurul Fajriah (LBH Yogyakarta) dan Rezky Pratiwi (LBH Makassar).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, kekerasan seksual terjadi dimana-mana. Mulai dari rumah tangga, tempat kerja, rumah ibadah, institusi pendidikan, institusi politik dan pemerintahan, perkebunan dan pertambangan, institusi penegak hukum, masyarakat adat, dan segala lini kehidupan manusia.
“Di Indonesia ini, korban kekerasan seksual bukannya dilindungi, malah menjadi korban pelanggaran HAM yang terenggut hak atas hidup, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan dan hak-hak lainnya,” ujar Asfinawati.
Komisioner Komnas Perempuan Andi Yendriani menuturkan, RUU P-KS berbasis dari pengalaman korban kekerasan seksual. Perancangan RUU P-KS sudah dimulai sejak 2010 dan masuk dalam proses legislasi di DPR RI tahun 2016.
“RUU P-KS mengusung sembilan jenis kekerasan seksual dan memberikan perlindungan lebih kepada korban kekerasan seksual. Penundaan pengesahan RUU P-KS telah mengabaikan pemulihan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual,” ujar Andi.
Guru Besar UI Prof Sulistyowati Irianto menyampaikan, kejahatan seksual adalah kejahatan kemanusiaan (crimes againts humanity). Kejahatan yang paling keji dalam sejarah bangsa bahkan sebelum kemerdekaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. Tidak ada hukum yang cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia.
Kejahatan seksual harus dihentikan karena kejahatan kemanusiaan yang menyebabkan hilangnya nyawa korban dan trauma hingga akhir hidup. Negara wajib hadir untuk melindungi korban dengan melahirkan hukum negara yang memberikan keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual untuk mengatasi kedaruratan saat ini. RUU P-KS mesti mereformasi hukum pidana yang selama ini tidak mampu memberikan keadilan bagi korban,” tegas Prof Sulistyowati.
Dhyta Caturani dari Purple Code menuturkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) berkelindan dengan kekerasan berbasis gender offline. KBGO bentuk kekerasan seksual baru dengan menggunakan perkembangan zaman saat ini.
“Saat ini, kasus KBGO sulit diproses hukum dengan alasan ketiadaan undang-undang dan menyalahkan korban. Oleh karenanya keberadaan RUU P-KS menjadi salah satu upaya untuk mengatasi KBGO,” ungkap Dhyta.
Namun, kata Dhyta, RUU P-KS itu tersingkir di dalam proses legislasi, dan malahan RUU Ketahanan Keluarga yang mendapatkan jalan mulus di proses legislasi. Padahal RUU Ketahanan Keluarga berisi aturan yang mendiskriminasi gender dan melanggengkan patriariki.
Dian Septi (KPBI) menuturkan, pekerja perempuan seringkali menjadi korban kekerasan seksual secara massal ditempat kerja. Zona kerja dibayangi dengan pelecehan seksual namun hanya dipaksa damai oleh kepolisian. Hukum selalu saja tidak berpihak pada korban. Langgengnya kekerasan seksual di tempat kerja akibat relasi kuasa yang timpang antara korban sebagai bawahan dan pelaku sebagai atasan serta relasi antar rekan kerja yang dibarengi tempat kerja yang tidak layak. Kami kalangan pekerja ingin merdeka dari kekerasan seksual di tempat kerja.
Dinda Nur Annisa (Solidaritas Perempuan) menyatakan, kekerasan seksual seringkali dipertanyakan dan dianggap bukan sebagai kejahatan. Kejahatan seksual merupakan bentuk penindasan. Dalam konteks perlindungan sumber daya alam, kekerasan seksual dijadikan sebagai alat membungkam perjuangan rakyat. Keberadaan RUU P-KS akan menjamin ruang aman tanpa kekerasan seksual termasuk dalam ruang-ruang perlindungan sumberdaya alam di Indonesia.
Nurul Saadah (SAPDA) mengungkapkan, perempuan difabel seringkali menjadi korban kekerasan seksual. Persoalan seksualitas dijauhkan dari perempuan difabel yang diangggap sebagai aseksual. Perempuan difabel seringkali menjadi korban kekerasan seksual dari keluarga sendiri mulai dari ayah kandung, kakak kandung dan adik kandung. Perempuan difabel seringkali mengalami situasi kehamilan yang tidak dinginkan. Keberadaan RUU P-KS tentunya akan melindungi siapapun dari kekerasan seksual termasuk perempuan difabel.
Indira Suryani dari LBH Padang menyimpulkan, situasi dan kondisi Indonesia saat ini berada dalam kondisi Darurat Kekerasan Seksual. Korban terus-menerus berjatuhan dan tidak bisa menunggu.
“Pengesahan RUU P-KS kami mimpikan untuk melawan impunitas pelaku kekerasan seksual yang selama ini terjadi, pemulihan korban, jaminan HAM korban dan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan sebagai negara yang mengesahkan CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Oleh karenanya, dengan lantang kami teriakkan DPR RI, RUU P-KS Harus Jadi Prolegnas Prioritas 2021 dan sahkan sekarang juga!” ujar Indira. (*/hsn)