Tunggu, Sendratari Kembali ke Koran!

12

Ermanto Tolantang. Ya, “Tolantang” itu nama populernya. Nama “sastranya”. Mungkin saja, itu singkatan dari “Hermanto” nan lantang. Ia kritis memang. Pikirannya menjalar bak naga di bilik-bilik seni yang merupa.

Rupa musik. Rupa sastra. Dan rupa-rupa kreasi lainnya di kamar estetika beralam takambang jadi guru. Ia guru. Guru yang tak menggurui. Bahkan ia guru besar. Guru besar linguistik FBS UNP. Ia dosen, kawan!

Dosen yang senantiasa menginspirasi mahasiswa dan mahasiswinya di alam pikiran yang luas, itulah ia. Ermanto, nama lengkapnya Prof. Dr. Ermanto, S.Pd., M.Hum. Ia lahir 12 Februari 1969.

Ermanto dilantik Rektor UNP Prof. Ganefri, Ph.D. menjadi Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang periode 2019—2023 pada Selasa 30 Juli 2019 di Auditorium UNP Air Tawar Padang. Ermanto lahir dan tumbuh di desa Tuik, Kenagarian IV Koto Mudik, Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat.

Menulis, sudah ia laksanakan sejak remaja. Sejak muda-muda benar, tulisan-tulisannya di berbagai media surat kabar, semarak sudah. Inapkan ini, ia seniman nan profesor dan profesor yang nyeni.

Ia profesor ilmu bahasa. Bilik bahasa, bukan sekedar bilik berinteraksi bunyi.Ia adalah kamar yang menciptakan ruang di bilik makna. Bunyi menjadi simbol, makna menjadi cita rasa. Soal bahasa membahasa, abas dan kemas olehnya.

Katanya, kamus bunyi dan makna adalah rasa. Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa menunjukkan karakter.Bahasa menunjukkan jiwa. Bahasa identitas personal !
Orang Minangkabau menyusun dalam “kata nan empat”. Begitulah antarannya. Antara lainnya soal linguistik, fonetik, semantik, pragmatik dalam makna berkonteks !

“Kepandaian berbahasa, bukan hanya soal kepandaian berdiksi.Lebih dari itu, kepandaian berbahasa adalah kepandaian atau kecerdasan hati dan logika.

Kecerdasan lisan dan kecerdasan tulisan adalah kecerdasan harmonis yang menjalin komunikasio menjadi sulaman seindah dan sehalus sutra dalam pengertian dan pemahaman yang seirama,” katanya, seraya menyebutkan bahasa adalah “perekat”. Satu nusa. Satu bangsa. Satu bahasa. Itulah kita, Indonesia !

Ermanto memang inspiratif. Dadanya, dada nasionalisme. Spiritnya, spirit cinta nagari. Gerakannya, gerakan merawat tradisi. Sampai kini, ia masih gemar belajar alat musik tradisi selain terus menulis tiada henti.

Ia penulis novel Tujuh Cinta Si Anak Kampung. Terbit tahun 2014. Ia menulis novel Sansai yang terbit tahun 2018. Novel ketiganya berjudul Rindu Banda Sapuluah, penerbitnya Pustaka Tunggal Jakarta. Diterbitkan Juli 2019. Panjang sudah kita bicara.

Ermanto yakin pada gerakan #kembalikekoran yang dimesini Padang Ekspres. Yakin, karena melihat perkembangan terkini Padang Ekspres yang seakan melakukan revolusi jurnalistik di badai digital dan pandemi.

“Menyimak dua bulan belakangan ini, saya yakin, Padang Ekspres akan benar-benar menjelma menjadi koran yang dicintai publik atau pembaca,” ujar profesor yang rendah hati yang selalu menghidupkan mimpi-mimpi di ruang kepalanya untuk membesarkan nagari.

Ia sangat mengapresiasi Laman Guru di Padang Ekspres. “Itu gagasan cerdas. Laman Guru adalah kebutuhan terkini di ruang pendidikan kita,” ujarnya.

Pada 23 tahun kelahiran Padang Ekspres, Ermanto dengan “barisan” seni mahasiswanya akan menggelar suguhan spesial pada “Malam Seni dan Anugerah Padek 2022” direncanakan 25 Januari 2022 di Auditorium UNP.

“Kami akan mengapresiasi Padek dengan penampilan seni, drama dan tari atau sendratari dalam tema kembali ke koran,” ujar Ermanto, profesor yang sulit menghentikan senyum ramahnya. (pinto Janir)