Buk Susi, Ya Guru, Ustazah dan Penulis….!

20
Buk Susi

Buk Susi, begitu murid-murid beliau menyapa. Wanita kelahiran Pekanbaru, 19 Januari 1975 ini, berprofesi sebagai Guru PAI di SDN 17 Bonjo Alam, kecamatan Ampekangkek.

Selain mengajar, beliau juga berprofesi sebagai penulis. Karena itulah anak dari Almarhumah Syamsimar ini, bergabung dengan organisasi KGI (Komunitas Guru Inspiratif) kabupaten Agam.

Pendidikan yang ditempuh wanita bernama lengkap Susilawati atau lebih dikenal dengan nama pena Susi Rank kotohilalang ini adalah TK Pertiwi Kotohilalang, SDN Pandai Sikat, MTsN Candung dan MAN 1 Bukittinggi.

Pendidikan S1 beliau adalah IAIN Imam Bonjol Padang yang kini telah berubah status dengan nama UIN. Jurusan yang beliau ambil adalah Bahasa dan Sastra Arab.

Pengambilan jurusan ini dilatarbelakangi kecintaannya yang besar terhadap mata pelajaran Bahasa Arab. Dalam diri Susi muda telah tertanam tekad yang kuat untuk menjadi guru Bahasa Arab di Madrasah.

Tapi takdir berkata lain. Walaupun sempat honor 5,5 tahun mengajar mata pelajaran Bahasa Arab di MTsN Candung, namun nasib menentukan ia harus menjadi guru Pendidikan Agama Islam di jenjang Sekolah Dasar.

Semula ada rasa kecewa dan frustasi dalam jiwanya karena cita-cita tak kesampaian. Tapi perjalanan waktu dan pengalaman telah mengajarkannya untuk berbaik sangka kepada Allah Sang Pengatur kehidupan manusia.

Ketika honor di MTsN Candung, ia mencoba peruntungan untuk ikut tes guru bantu gelombang pertama. Berkat ‘inayah dariNya, Susi lulus. Ia ditempatkan di SDN 15 VI Kampung, kecamatan Candung. Ia menjadi guru kelas V.

Suatu tantangan baginya mengajarkan bidang studi umum yang sama sekali tidak relevan dengan jurusan semasa ia kuliah. Inilah masa-masa menjadi guru yang penuh perjuangan.

Susi yang tak banyak kata seakan dipaksa untuk pandai bercerita, mengurai-urai materi pelajaran. Ditelaah malam, disampaikan kepada siswa keesokan harinya. Dari sinilah awal bermula, Susi belajar untuk terampil berbicara.

Kepandaian berbicara banyak yang ia dapat secara autodidak akhirnya berkembang. Didukung tempaan ilmu sastra Arab, ia pun mulai menulis puisi, cerpen dan opini yang kala itu dikirim ke koran Padang Ekspres. Opini yang paling berkesan baginya berjudul Antara Syurga dan Neraka.

Tulisan ini berisikan motivasi kepada teman-teman sesama guru bantu yang saat itu mengalami down karena mendengar wacana, pemecatan otomatis karena kontrak tidak akan diperpanjang.

Ternyata itu hanya kabar burung alias hoax semata, karena kenyataannya beberapa bulan kemudian, Susi beserta rekan-rekan justru diangkat menjadi PNS. Tiga tahun terakhir, kepiawaian menulis anak keempat dari tujuh bersaudara ini kian berkembang.

Ia telah membuktikannya dengan melahirkan 9 hasil karya berupa buku berISBN. Buku perdananya berjudul Membuang Garam ke Laut terbit di penghujung tahun 2018, telah mendapat penghargaan dari Bupati Agam priode 2016-2021, Indra Catri Datuak Malako Nan Putiah.

Perhargaan Bupati ini, didapatkan Buk Guru berpembawaan kalem ini atas keikutsertaannya menyemarakkan Gemarlis (Gerakan Gemar Menulis).

Dalam waktu yang tak lama secara berturut-turut, Buk Susi telah melahirkan 8 buku berISBN dengan judul Kaca Retak Seribu, Senandung Sang Profesor Kehidupan, Terkalang di Mata Terasa di Hati, Jangan Sirami Rumput Liar, Hidupku Hanya UntukMu, Kucari Laut yang Tak Berombak, Meniti Buih Menggapai Tanah Tepi.

Baca Juga:  SD Negeri 50 Payakumbuh, Seberapa Penting Asesmen Awal Pembelajaran Bagi Guru?

Karya tulis terbaru terbit bulan Mei 2021 adalah sebuah novel berjudul Andai Jiwaku Seluas Samudera. Hari ini penjualannya sudah mencapai angka 400 eksemplar.

Satu capaian yang patut disyukuri, begitu ungkapnya. Kini ia tengah berkonsentrasi menulis buku ke 10 dan 11, berupa novel kedua dan ketiga yang berjudul Trauma di Rumah Gersang dan Firasat Bapak.

Menulis bagi Ibu dari Aini, Aan dan Aila ini, merupakan satu kebiasaan yang sulit untuk dihentikan. Baginya menatap layar laptop setiap hari selama berjam-jam merupakan kenyamanan yang tak boleh diganggu gugat siapapun.

Hobi menulisnya tumbuh subur, buah dari kebiasaan hobi membaca semenjak masih duduk di bangku SD. Buk Susi merasa beruntung memiliki seorang Bapak, Ustaz Syakur Abdullah (Almarhum) yang dulunya juga seorang kutu buku. Maklumlah profesi Bapaknya sebagai Dai, memang membutuhkan materi bacaan yang memadai.

Semasa kanak-kanak, Susi kecil sering menemani Bapaknya ke mesjid-mesjid atau mushalla tempat berdakwah. Agaknya kebersamaan dengan Bapaknya, Almarhum Ustaz Syakur itu, telah membuatnya ketularan bakat berdakwah. Kini, Buk Susi dikenal jamaah dengan sebutan Ustazah Susi. Beliau telah menjalani aktifitas dakwah semenjak tahun 2005 silam.

Bercerita tentang keterampilan berdiri di hadapan audien, istri dari Syafrizal, Ag ini mengaku seperti mendapat keajaiban dari Sang Khalik. Ia tahu betul tentang kwalitas diri serta kepribadiannya yang kelewat pendiam dan pemalu bahkan mendekati minder yang parah.

Batinnya mengatakan mustahil untuk bisa tampil di hadapan orang banyak. Jangankan menghadapi tatapan mata orang banyak, menghadapi tamu Bapak atau Amak yang datang ke rumah saja, ia tak punya nyali sehingga sering menyembunyikan diri di kamar.

Namun masa yang berlalu, musim yang berganti telah merubah keadaan. Tahun-tahun pertama ia menyandang gelar S. Ag, sebuah kalimat lecutan dari seorang pengurus mesjid “mana ada orang tamat IAIN tak pandai berceramah”, membuatnya tersentak dan termotivasi untuk bisa tampil. Semenjak itulah ia memberanikan diri untuk berdiri di podium.

Berawal dari tema-tema yang sederhana hingga kini telah berkembang menjadi sajian yang ia olah secara komplit dan sistematis. Saat ini tempat berdakwahnya tak lagi sekitar Kotohilalang, kampung asalnya melainkan sudah meliputi sebagian wilayah Agam Timur , kodya Bukittinggi dan Kodya Payakumbuh.

Berbicara tentang dunia dakwah yang ia jalani, Ustazah Susi menanggapi dengan antusias. Katanya, hal paling membahagiakan selama terjun ke dunia dakwah adalah bertambah banyaknya silaturrahmi.

Para jamaah yang sama sekali tidak memiliki hubungan tali darah, tapi berkat pelajaran agama yang disampaikan, serasa ada ikatan ukhuwwah Islamiyyah yang kuat. Kelezatan jiwalah yang membuat wanita berkulit kemerah-merahan ini menikmati arena dakwah.

Ada lisan-lisan usil yang mengatakan bahwa berdakwah merupakan UMEGA alias Usaha Menambah Gaji, namun wanita bertubuh sedang ini sudah terlatih meluaskan hati dan melapangkan dada menerima setiap komentar miring.

Beliau belajar dari beragam pengalaman bahwa tiada guna menghiraukan segala sesuatu yang bersifat sampah. Eloklah fokus pada kebahagiaan yang hakiki, yakni kebahagiaan yang tak bisa dinilai dengan uang berlimpah atau materi semewah apapun, pungkasnya.(*)