Akhir-akhir ini, salah satu isu paling hangat yang menjadi bahan perbincangan di Indonesia adalah isu politik. Bahkan, ada yang menyatakan, bahwa, tahun ini merupakan tahun politik.
Di mana partai politik mulai mendeklarasikan tokohnya masing-masing untuk bertarung di pemilu tahun depan, berharap, di tangan para tokoh tersebut, ada secercah harapan perubahan bagi setiap sektor prioritas yang mesti mengalami perbaikan, seperti sektor pendidikan, salah satunya.
Sektor penting, sebagai peningkat kualitas sumber daya manusia di suatu bangsa tersebut, mesti mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Sebab, jika tidak, maka, capaian-capaian yang ingin diwujudkan, hanya sebatas catatan formalitas yang dibunyikan di setiap aturan atau Undang-undang yang berlaku.
Jangan sampai, perubahan yang dilakukan tidak mengubah hal-hal yang substansi. Apalagi terkesan seperti inovasi yang dipaksakan. Harapan tersebut menguat, apalagi semenjak gaung transformasi di sektor pendidikan semakin banyak disuarakan. Bahkan semakin diperkuat, sejak terjadinya pandemi, yang hampir memasuki usianya yang ketiga.
Keterpurukan pendidikan menjadi penyebab utamanya. Seperti yang ditunjukkan oleh pelbagai survey yang ada, kualitas pendidikan Indonesia, kerap menduduki posisi terbawah. Untung saja, di tahun 2021 kemarin.
Berdasarkan data yang dipublikasi oleh World Population Review, pendidikan Indonesia naik satu peringkat dari tahun sebelumnya, yaitu dari 55 naik ke 54, dari total 78 negara yang masuk pemeringkatan pendidikan dunia.
Capaian tersebut menunjukkan setidaknya upaya transformasi yang digelar, telah menunjukkan hasil positif bagi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Berbagai gebrakan baru dimunculkan, mulai dari sistem evaluasi hingga peningkatan peran guru, kepala sekolah, dan pelbagai stakeholder lain.
Semua itu dilakukan, tak lain, karena ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Seperti evaluasi hasil belajar siswa. Dulu di tahun 2019, kita mengenal istilah Ujian Nasional. Tetapi, sejak 2020 sistem evaluasi tersebut dihapus, dan pada 2021 diluncurkan sistem evaluasi baru, bernama Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).
Mengutip Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemendikbud, AKM merupakan penilaian kompetensi mendasar yang diperlukan oleh semua murid untuk mampu mengembangkan kapasitas diri dan berpartisipasi positif pada masyarakat. Dalam AKM, dua jenis kompetensi mendasar yang dinilai adalah literasi dan numerasi.
Melalui AKM, diharapkan pendidikan Indonesia dapat terevaluasi dengan baik. Tidak hanya itu, kurikulum juga mengalami perubahan. Seperti Kurikulum 2013. Kurikulum yang kurang lebih sembilan tahun telah diterapkan tersebut. Kemudian diganti dengan kurikulum merdeka.
Tepatnya pada Februari 2022, yang langsung diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset,dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim. Kurikulum tersebut didesain sesuai dengan perubahan zaman. Hedi Aji menuturkan, penerapan kurikulum merdeka sangat sesuai di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini.
Tak hanya itu, masing-masing satuan pendidikan juga diberi kemerdekaan atau kebebasan dalam mendesain pembelajaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dengan begitu, diharapkan pembelajaran yang dilakukan akan lebih relevan, interaktif, dan menyenangkan.
Namun, dibalik itu semua, pendidikan Indonesia, masih menyimpan pelbagai persoalan. Meskipun, pembelajaran yang dilakukan, dituntut untuk bertransformasi menggunakan pelbagai teknologi digital yang tersedia, tetapi, hampir sebagian guru masih kewalahan menggunakannya.
Selain kompetensi yang tidak mumpuni, minimnya sarana dan prasarana pun menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, degradasi moral pelajar juga menjadi salah satu isu pendidikan yang perlu dibenahi, begitu banyak kasus yang tersiar di media publik, yang hampir sebagian besar pelakunya adalah para pelajar, seperti tawuran, pembegalan, bahkan yang paling parah, sampai pada pembunuhan.
Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka bisa jadi pendidikan Indonesia akan selalu melahirkan lulusan tanpa karakter. Lihat saja, degradasi moral tersebut, mulai terlihat juga di pelbagai lembaga pendidikan tinggi, banyak dosen, yang rela membayar tinggi, demi sebuah gelar tertinggi, tindakan perjokian pun tak terelakkan lagi.
Oleh karena itu, di tengah hegemoni seputar Perpolitikan Indonesia, hendaknya juga tersemat semangat juang yang tinggi untuk membenahi wajah pendidikan Indonesia, roadmap pendidikan yang telah tersusun hendaknya dapat dirapikan dan dijadikan pedoman, jangan sebatas dokumen, apalagi sekedar pajangan. Begitu juga dengan Anggaran yang digelontorkan, harus benar-benar tepat sasaran. Apalagi, sektor pendidikan, mendapat anggaran paling besar, sekitar 20%.
Sehingga, sangat disayangkan, jika anggaran tersebut tidak termanfaatkan sesuai dengan perencanaan, ujung-ujungnya komersialisasi pendidikan semakin merajalela, begitu pun dengan korupsi yang tidak pernah berhenti. Memang butuh kepedulian bersama, agar pendidikan bangsa terus berkualitas dan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Semoga.(Muhammad Iqbal, M.Pd, Guru SMP IT Al Kahfi Pasbar)