SMK Negeri 2 Batusangkar, Jam Romawi

Mainisrina (GURU SMKN 2 BATUSANGKAR)

Lagi, Tomi mengecewakan aku. Jam angka romawi yang telah aku kirim ke alamatnya di Bekasi gagal dikirimnya ke kampung. Dan ini adalah yang kelima kalinya. Harusnya aku langsung saja memakai alamat kampung ketika mengorder jam tersebut di toko oren.

Meskipun harusnya membayar ratusan ribu untuk ongkirnya daripada mengirimnya ke alamat Tomi di Bekasi. Dan menunggu dia mengirimnya dengan waktu yang tak jelas. Padahal dia tinggal mengantar ke gudang alpukat milik orang kampung, yang setiap minggu pulang mengendarai mobil cargo dari Bekasi ke Batusangkar.

Sebagai kakaknya aku tahu kebiasaan Tomi yang suka menunda pekerjaan. Apalagi jika hal itu tidak penting baginya. Tapi untuk paket ini, aku telah bersabar menunggu hampir 4 bulan padahal jarak rumah dengan gudang tidak sampai 10 Km, tapi selalu ada alasan yang membuatnya tidak sempat mengantarnya ke Gudang.

Seperti kemarin alasannya hujan, minggu sebelumnya alasannya motornya rusak, dan banyak lagi alasan lainnya. Dua hari lagi, ada kegiatan arisan di rumah. Karena rumah baru dan keterbatasan dana, aku belum bisa melengkapi rumahku dengan perabotan yang seharusnya.

Jam romawi berdiameter 60 cm adalah instrument yang penting dan lumayan menonjol. Jika dipasang di ruang tamu. Jam yang unik dan masih langka di Kota Batusangkar. Benda itu bisa menjadi hiasan untuk rumahku yang masih kosong melompong.

Setelah membujuk dan memelas, Tomi bersedia mengantarkan ke truk cargo hari ini. Karena kalau ditunda maka jam itu tidak keburu dipajang menghias rumahku waktu kegiatan arisan.

Ketika datang hari H, sambil membereskan rumah, aku menunggu mobil cargo yang membawa paketku. Hampir jam 3 sore, tapi truk itu belum juga muncul. Aku gelisah. Jangan-jangan Tomi tidak jadi juga mengirimnya ke Gudang. “Tom, kamu jadi kan kirim jam Umi?” kataku.

Baca Juga:  Disdik Kota Payakumbuh, Tutor-Pamong Pendidikan Kesetaraan Tingkatkan Kompetensi

“Itulah Umi, kemarin itu hujan lebat jadi aku tidak bisa mengantarkan jam umi ke Gudang. Minggu depan aja umi, aku janji,” jawabnya tanpa merasa bersalah.

Aku mematikan telpon tanpa mengucapkan salam sambil menatap dinding rumah dan sudut rumah yang masih kosong. Air mataku mengalir. Kecewa, sangat kecewa. Mengapa Tomi tidak memahami perasaanku.

Rasanya aku ingin marah dan memakinya. Kali ini Tomi sangat keterlaluan, sudah berulangkali dia mengecewakan aku. Dan aku selalu bersabar selama 4 bulan ini. Dadaku terasa sesak. Merasa kesulitan bernafas, aku beristigfar sambil merenung.

Bukankah memang seperti ini kebiasaan Tomi dari dulu. Aku yang salah, mengapa berharap kepada Tomi. Kata orang, jangan berharap kepada manusia, karena kita pasti akan kecewa. Gawaiku berbunyi, sebuah pesan dari Tomi.

“Umi, umi marah ya, maafkan Tomi umi, Tomi janji besok Tomi kirim,” katanya di balik telepon genggam miliknya. Ah Tomi, adikku sayang mengapa kamu tidak pernah juga berubah?

Gawaiku kembali berbunyi. “Ya Tomi, umi maafkan. Tapi jangan seperti ini lagi ya,” kataku.
Setelah membalas pesannya, aku merasa lega. Betapa nyaman bisa memaafkan dan mengikhlaskan. Mulai saat ini, aku akan merendahkan ekspetasi (harapan), memperluas rasa maaf dan membesarkan hati karena seringkali kita kecewa karena berekspetasi terlalu tinggi.(Mainisrina, GURU SMKN 2 BATUSANGKAR)