Sumarak Lakak Basauik di FLS2N Sawahlunto

23
PUAS: Para pemenang FLS2N jenjang SD dan SMP tahun 2022 yang dilaksanakan pada 28-30 Maret lalu.

Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) adalah suatu kegiatan yang bersifat kompetisi di bidang seni antar siswa SMP atau yang sederajat dalam lingkup wilayah atau tingkat lomba tertentu.

Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap tahun yang diprakarsai oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sawahlunto juga tak terputus melaksanakan kegiatan ini setiap tahunnya. Sesuai dengan jenis lomba dan tingkat jenjang pendidikan yang diikuti berbagai sekolah yang langsung dikoordinir oleh Dinas Pendidikan Kota Sawahlunto.

Salah satu di antara seluruh kategori lomba yang menarik untuk diikuti dan diamati adalah cabang Festival Kreativitas Musik Tradisional Tingkat SLTP. Selalu hadir kreativitas garapan baru berupa komposisi musik berangkat dari tema-tema kearifan lokal mengunakan alat musik tradisional dan juga interpretasi alat musik tradisional yang tentunya memenuhi unsur-unsur sebuah karya komposisi musik.

Sumarak Lakak Basauik salah satu dari tiga karya yang disajikan menjadi penyaji terbaik yang coba kita ulas pada kesempatan ini, karena karya tersebut terpilih untuk mewakili Kota Sawahlunto lanjut berlaga di tingkat Provinsi Sumatra Barat.

Sekilas dari membaca judul yang menggunakan bahasa Minangkabau, jika di analisa perkata maksud pesan yang ingin disampaikan komposer pada garapan tersebut, sumarak di sini dimaksudkan dengan semarak sedangkan lakak adalah istilah untuk sebutan pukul.

Basauik sendiri artinya adalah bersahutan. Dari defenisi di atas dapat kita bayangkan bahwa komposisi ini akan menghadirkan kesemarakan motif-motif pukulan dari alat-alat musik perkusi tradisional yang akan bersahutan.

Dari uraian sinopsis, komposer menyampaikan bahwa pemilihan ide musikal pada garapan komposisi ini berangkat dari kegiatan proses bertenun yang ada di daerah Silungkang Kota Sawahlunto.

Kain Tenun dihasilkan dengan teknik mengabungkan benang secara memanjang dan melintang dengan kata lain bersilangnya antara benang lusi dan pakan secara bergantian. Rangkaian proses tersebut juga menghasilkan bunyi-bunyi yang konstan dihasilkan oleh palantai (alat tenun bukan mesin) yang terbuat dari kayu.

Jika didengarkan secara terus menerus bunyi palantai tersebut terasa saling bersahutan dan saling mengisi sehingga berasa menikmati sebuah sajian musik perkusi berpola dari beberapa timbre atau atau warna bunyi yang terangkai menjadi ritme-ritme perkusi yang menarik dan saling berkaitan.

Hal ini mirip dengan pola permainan kesenian talempong pacik dengan tekhnik permainan interlocking atau saling mengisi ruang-ruang kosong dengan pola ritme saling bertingkah dan satu pola konstan yang menjadi dasar pijakan bermain.

Karya Sumarak Lakak Basauik diawali dengan menghadirkan suasana kegiatan diperkampungan tenun diinterpretasikan melalui 3 buah miniatur palantai dan aktivitas bertenunnya memainkan ritme berbeda yang terbagi menjadi pola ritme dasar, pola dasar anak dan pola paningkah dengan tempo sedang ditambah dengan tiupan dua orang pemaian bansi yang masing-masing memainkan nada berbeda tetapi tetap dalam wilayah harmonisasi dengan free tempo menghasilkan suasana serasa kita sedang berada di wilayah perkampungan tenun.

Pengolahan vokal melalui koor atau paduan suara dengan memainkan paduan pola ritme yang tercipta sebelumnya menjadi nada nada dengan lirik terkait aktivitas bertenun yang dibawakan oleh 5 (orang) pemain musik perempuan mengambarkan lemah lembutnya para gadis petenun di Silungkang.

Vokal dimainkan saat proses transisi para pemusik pindah dan bergantian untuk memainkan alat musik lainnya. Dengan kode goreh (pekikan aba aba) para pemain serentak memainkan alat musik perkusi Minangkabau yang terdiri dari talempong, canang dan gandang tambua.

Baca Juga:  UPTD SMP Negeri 1 Kecamatan Payakumbuh, Mengapa Kurikulum Perlu Berubah?

Talempong adalah alat perkusi ritmik Minangkabau pada komposisi ini menggunakan nada diatonis yang terdiri dari 2 (dua) set. Satu berfungsi sebagai pembawa melodi dan satu lagi sebagai pengiring lebih tepatnya untuk mepertegas accord melodi yang dibawakan.

Sedangkan canang adalah talempong yang berukuran lebih besar juga terbuat dari kuningan berfungsi sebagai penghasil nada bass atau satu oktaf lebih rendah dari talempong melodi dan talempong penngiring.

Permainan pola rampak yang harmonis dari alat-alat musik ritmis melodis tadi membawa alam fikir kita kepada keseriusan dan kefokusan para petenun dalam mengarap motif-motif utama yang disebut kapalo songket agar tidak terjadi kekeliruan dalam pengrajutan antar benang dan juga dimainkan ritme-ritme dengan pola responsorial atau saling bersahutan dengan dinamika yang lembut membuat emosional penikmat karya musik terbawa penasaran atas aktivitas apa yang sedang dilakukan, disini digambarkan kesabaran proses pembuatan motif tabur atau motif pengiring kapalo songket, pola motif ini lebih banyak atau berulang terdapat pada setiap helai kain songket.

Kehadiran 2 buah alat perkusi khas Minang Gandang Tambua (double headed drum) atau gendang bermuka dua yang di pukul menggunakan sepasang panokok atau stick yang letakan pada sebuah tatakan atau standar terbuat dari kayu dengan tinggi sekitar 50 cm berfungsi untuk meninggikan posisi gandang tambua agar pemain bisa memainkan dengan posisi berdiri dan bisa bereksprisi lebih bebas sesuai dengan motif dan dinamika yang dimainkan sehingga menambah kesan atraktif pada permaianan.

Gandang tambua memainkan ritme-ritme tegas dengan pengolahan dua timbre atau warna yaitu tak dan tum menjadi motif pengikat atau mempertegas aksentuasi melodi-melodi yang dimainkan hal ini menggambarkan proses memperkuat benang-benang tenunan pada setiap penyelesaian satu buah kapalo songket dan beberapa motif tabur pada setiap proses pembuatan setiap helai kain songket.

Permainan arpegio eksplorasi tangga nada diatonis talempong dengan pola naik dan turun menjadi pola transisi untuk menghantarkan perubahan bahagian karya musik menuju kesan manis pada karya ini, dengan menghadirkan pengolahan pola birama ¾ sebagai dasar ritme.

Teknik Responsorial atau saling bersahutan antar instrument melodis dan instrument ritmis yaitu gandang tambua, talempong, bansi dan vokal terasa saling melengkapi sehingga membentuk rangkaian-rangkaian kalimat melodi yang utuh dan solah olah menyampaikan eksotisnya hasil karya-karya buah tangan masyarakat Silungkang berupa hasil tenunan yang siap diolah menjadi produk-produk turunan selanjutnya seperi Fashion, sepatu dan produk terapan lainnya.

Diakhir garapan musik hadir suasana kemeriahan, kembali dengan pola birama 4/4 dengan tempo yang agak cepat, disini sepertinya sang penggarap atau komposer ingin menyampaikan pesan bahwa songket-songket yang telah masuk prosese finishing siap untuk pasarkan, salah satu pemasaran akbar songket yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Sawahlunto adalah melalui Event Sawahlunto Internasional Songket Carnival atau yang lebih akrab disebut SISSCa.

Dengan materi dasar pengolahan motif talempong pacik, suasana carnival tampak hadir disini dan juga didukung oleh transisi para pemain musik berpindah instrument dengan pengaturan pola lantai dan sedikit pengolahan properti kain pada kostum pemain sehingga turut memperkuat kehadiran semaraknya festival pada garapan ini. (*)