SD Negeri 13 Sungaidurian, Merdeka Dari Kekerasan Seksual

Witri Arimbi, GURU SDN 13 SUNGAIDURIAN, SAWAHLUNTO

Kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) kasus kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan pada Januari hingga Mei 2023 berjumlah 22 kasus dengan jumlah korban sebanyak 202 anak.

Jumlah ini meningkat dari tahun 2022, di mana jumlah kasus kekerasan kepada anak di satuan pendidikan sebanyak 17 kasus dengan jumlah korban 117 anak. Jumlah ini bisa saja lebih dari yang disebutkan di atas karena bisa jadi ada korban yang tidak melaporkan sehingga tidak tercatat oleh FSGI.

FSGI menyatakan bahwa dunia pendidikan Indonesia darurat kekerasan seksual. Pada tahun 2021 yang lalu, kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di satuan pendidikan, yakni: jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 kasus, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 3 kasus, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 2 kasus, dan pondok pesantren 6 kasus.

Untuk tahun 2023 ini (Januari – Mei) dari 22 kasus kekerasan seksual pada anak sebanyak 11 kasus (50%) terjadi dibawah kementrian Kemdikbudristek, 8 kasus (36,36%) di bawah Kementrian Agama, dan 3 kasus (13.63%) terjadi di lembaga informal (tempat pengajian di lingkungan perumahan).

Jika kita tilik dari data yang disampaikan oleh FSGI pelaku kekerasan seksual pada anak tersebut dilakukan oleh guru/ustad (40%), pimpinan/pengasuh pondok pesantren (33,33%), kepala sekolah (20%), dan penjaga sekolah (6,67%). Dari data terlihat bahwasannya guru menempati posisi pertama sebagai pelaku kekerasan seksual pada anak.

Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual yang dilakukan kepada anak akan menimbulkan dampak negatif. Adapun dampak jangka pendek adalah anak akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan kosentrasi yang menurun.

Jika dampak diatas tidak dapat diatasi, maka hal ini akan menimbulkan dampak jangka panjang, yakni anak akan berupaya menutupi luka-luka yang dideritanya serta merahasiakan pelakunya karena takut akan mendapatkan balas dendam, anak akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan temannya, dan jika trauma begitu mendalam tidak menutup kemungkinan anak akan menyakiti dirinya dengan mencoba melakukan bunuh diri.

Selain dampak psikologis di atas, kekerasan seksual pada anak juga akan menimbulkan dampak fisik/biologis yakni, luka memar, rasa sakit, gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina/anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina, dapat juga gejala berupa susah berjalan/duduk, infeksi penyakit kelamin, dan kehamilan.

Baca Juga:  Disdikbud Tanahdatar: Peran Pengawas Sekolah, Tingkatkan Akreditasi Sekolah

Kolaborasi Stakeholder

Melihat dari dampak yang dijelaskan diatas, mencegah dan menangani kekerasan seksual pada anak di sekolah tidak dapat seutuhnya menjadi tanggungjawab sekolah saja. Penulis melihat perlu adanya kolaborasi antar aktor dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual pada anak di sekolah. Stakeholder tersebut adalah: pertama, pemerintah.

Dalam hal ini pemerintah harus menyusun regulasi yang memberikan sanksi berat agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Jika sanksi yang dijatuhkan tidak berat, maka kejadian serupa pastinya akan terulang kembali. Selain itu, pemerintah juga harus gencar melakukan sosialisasi terkait dengan kekerasan seksual pada anak ini kepada orang tua, guru, dan masyarakat.

Kedua, orang tua. Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak ini. Peran orang tua antara lain: berikan kasih sayang dan perhatian kepada anak, berikan edukasi seksual kepada anak, ajari dan berikan contoh kepada anak tentang cara berbuat baik kepada orang lain dan cara melindungi diri, pastikan anak mendapatkan kesejahteraan emosional di dalam keluarga, dan perhatikan lingkungan sekitar anak.

Ketiga, guru. Peran guru dalam hal ini adalah dengan memberikan edukasi/sosialisasi seksual kepada anak-anak. Selain itu, sekolah juga harus menciptakan lingkungan yang kondusif, membangun kolaborasi dengan berbagai stakeholder untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual pada anak, serta harus memberikan ruang pengaduan jika terjadi tindak kekerasan seksual pada anak. Sekolah juga memiliki peran dalam memenuhi hak pendidikan anak yg menjadi korban dari kekerasan seksual.

Keempat, masyarakat. Masyarakat wajib menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal dari kekerasan seksual terhadap anak, melaporkan jika ada kasus yang terjadi di lingkungannya, dan memberikan kesaksian yang benar. Jika stakeholder ini telah memiliki tujuan dan memahami setiap perannya, ke depannya kasus kekerasan seksual terhadap anak di sekolah semakin menurun kasusnya.Semoga. (Witri Arimbi, GURU SDN 13 SUNGAIDURIAN, SAWAHLUNTO)