Vaksinasi booster dimulai kemarin (12/1). Vaksinasi booster diberikan gratis setengah dosis secara injeksi intramuskular atau injeksi ke dalam otot tubuh. Penyuntikan setengah dosis menggunakan jarum suntik ADS 0,3 ml yang telah diberikan tanda ukuran dosis 0,15 ml dan 0,25 ml.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr Maxi Rein Rondonuwu memastikan ketersedian vaksin untuk booster memadai. Saat ini masih ada hampir 130 juta dosis di Biofarma.
Masyarakat kelompok prioritas penerima vaksin booster dapat mengecek tiket dan jadwal vaksinasi di website dan aplikasi PeduliLindungi. Tiket tersebut dapat digunakan di fasilitas kesehatan atau tempat vaksinasi terdekat pada waktu yang sudah ditentukan.
Jika termasuk kelompok prioritas tetapi belum mendapatkan tiket dan jadwal vaksinasi di aplikasi PeduliLindungi, masyarakat bisa datang langsung ke fasilitas kesehatan atau tempat vaksinasi terdekat dengan membawa KTP dan surat bukti vaksinasi dosis satu dan dua.
Pada kesempatan lain, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan saat ini Omicron telah teridentifikasi di 150 negara dan menimbulkan gelombang baru dengan puncak yang lebih tinggi di berbagai negara dunia.
Ia menyebut, Indonesia bukan tidak mungkin dapat mengalami hal sama. ”Kasus kemungkinan akan naik, tapi kita jangan panik. Kita harus tetap waspada dan terus bekerja sama,” jelas luhut dalam pernyataannya, Selasa (11/1) malam.
Luhut menyebut per Selasa 11 Januari, total kasus infeksi Omicron mencapai 802 kasus. Sebagian besar masih disumbangkan oleh Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN). ”Dari 537 kasus di Jakarta, 435 kasus berasal dari PPLN,” ujarnya.
Pemerintah kata Luhut akan terus memonitor secara ketat perkembangan kasus dan akan mengambil langkah-langkah antisipasi yang diperlukan. ”Perawatan di RS akan menjadi salah satu indikator utama. Kami akan high alert ketika BOR (Bed Occupancy Rate) mendekati 20 sampai 30 persen,” jelasnya.
Mantan Menkopolhukam tersebut mengungkapkan, dari hasil pengamatan terhadap pengalaman negara lain, puncak gelombang kasus akibat varian Omicron biasanya mencapai puncak dalam kisaran waktu 40 hari. Lebih cepat dari varian Delta.
”Untuk kasus Indonesia, kita perkirakan puncak gelombang karena Omicron akan terjadi pada awal Februari,” katanya.
Meski demikian, sebagian besar kasus yang terjadi diperkirakan akan bergejala ringan, sehingga nanti strateginya juga akan berbeda dengan varian Delta.
Namun demikian, Luhut optimistis Indonesia saat ini jauh lebih siap dalam menghadapi potensi gelombang varian Omicron dengan beberapa fakta bahwa tingkat vaksinasi sudah lebih tinggi, kapasitas testing dan tracing juga yang lebih tinggi.
Selain itu dari sisi sistem kesehatan, Indonesia juga sudah lebih siap. Baik dalam hal obat-obatan terapi Covid-19 termasuk Molnupiravir dari Merck, tempat tidur RS, tenaga kesehatan, oksigen, dan fasilitas isolasi terpusat.
Kasus Omicron di Indonesia yang terus meningkat harus dihadapi. Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi menyatakan karakteristik Omicron memiliki tingkat penyebaran yang sangat cepat. ”Hasil WGS juga menunjukkan proporsi varian Omicron yang mulai mendominasi,” ungkap Nadia
Namun, dilihat dari tingkat keparahan, mayoritas kasus Omicron tidak menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan. Sehingga, tidak membutuhkan perawatan yang serius di rumah sakit. Untuk itu, pihaknya akan menggencarkan telemedicine yang didedikasikan bagi pasien yang melakukan isolasi di rumah.
”Kami bekerja sama dengan 17 platform telemedicine untuk memberikan jasa konsultasi dokter dan jasa pengiriman obat secara gratis bagi pasien Covid-19 yang sedang menjalani isolasi di rumah,” ucapnya.
Selain itu dari sisi teurapetik, Kemenkes juga akan menyertakan penggunaan obat Monulpiravir dan Plaxlovid untuk terapi pasien Covid-19 dengan gejala ringan. Dari sisi tracing akan dilakukan penemuan kasus aktif dengan meningkatkan tracing menjadi lebih dari 30 per kasus positif.
Hasil Seakurat Swab PCR
Sementara itu, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil memperoleh izin edar untuk inovasi RT-LAMP. Alat ini bekerja untuk deteksi Covid-19 seakurat swab PCR (Polymerase Chain Reaction). Tetapi hasilnya keluar satu jam. Jauh lebih cepat dibandingkan hasil swab PCR umumnya yang bisa sampai satu hari.
RT-LAMP bekerja mendeteksi Covid-19 tanpa menggunakan alat PCR. Reaksi amplifikasi gen target dari alat ini berlangsung kurang dari satu jam. Sehingga, hasil diagnosa Covid-19 menggunakan RT-LAMP bisa lebih cepat diketahui. Jadi, prinsip perbedaan alat ini dengan PCR pada proses amplifikasi gen targetnya.
Peneliti Kimia BRIN Tjandrawati Mozef bersyukur inovasi RT-LAMP itu sudah mengantongi izin edar dari Kemenkes. Inovasi ini mulai digarap sejak Maret 2020 lalu bersama PT Biosains Medika Indonesia. ”Dengan izin edar ini, kita sekarang memiliki alternatif baru untuk mendeteksi Covid-19,” katanya kemarin (12/1).
Dia menjelaskan sejumlah negara, seperti Belanda dan Spanyol sudah menerapkan RT-LAMP untuk deteksi Covid-19 setara RT-PCR. Dia mengatakan, RT-LAMP memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan PCR.
Selain prosesnya lebih cepat, perangkat ini tidak memerlukan lagi alat deteksi PCR yang harganya mahal. Kemudian harga kit RT-LAMP juga lebih murah dibandingkan kit swab PCR.
Tjandrawati mengatakan, RT-LAMP menggunakan sampel ekstrak RNA hasil swab di hidung. Saat ini RT-LAMP juga sedang pengembangan untuk dapat menggunakan sampel saliva atau ludah. Sehingga, masyarakat lebih nyaman menjalani deteksi Covid-19, karena tidak perlu lagi dicolok hidungnya.
Selain itu, RT-LAMP juga terus menjalani pengujian terhadap varian-varian Covid-19. Termasuk, di antaranya varian Omicron. Diharapkan perangkat RT-LAMP ini bisa digunakan untuk syarat dokumen perjalanan. Menggantikan penggunaan swab PCR yang membutuhkan biaya lebih mahal.
Dalam kesempatan lain, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan tahun ini disiapkan dua pendanaan riset. Termasuk, riset-riset untuk mendukung penanganan Covid-19 di Indonesia.
Handoko mengatakan, BRIN memiliki skema baru pendanaan riset yaitu Pusat Kolaborasi Riset. ”Skema baru ini merupakan upgrade dari Pusat Unggulan Iptek (PUI),” katanya. Untuk tahun ini BRIN menyiapkan anggaran Rp 10 miliar untuk Pusat Kolaborasi Riset. Anggaran ini ke depan akan terus bertambah.
Handoko mengatakan untuk riset-riset tertentu, nantinya akan diikat kontrak tahun jamak. Durasinya bisa sampai tujuh tahun. Menariknya, seluruh skema pendanaan riset di BRIN itu tidak ada monitoring dan evaluasi (monev), kecuali di akhir tahun saja. Yaitu, untuk untuk evaluasi kelanjutan riset di tahun berikutnya. ”Jadi, tidak mengganggu dalam melakukan aktivitas riset,” tuturnya.
Mantan kepala LIPI itu mengatakan, Pusat Kolaborasi Riset itu bisa juga melibatkan perguruan tinggi. BRIN nantinya menyiapkan berbagai fasilitas. Selain pendanaan, juga menyiapkan open platform atau pemanfaatan fasilitas riset, dan lainnya.
Dengan adanya skema open platform tersebut, fasilitas infrastruktur riset yang dimiliki BRIN boleh dipakai semua pihak. Sehingga, lembaga riset perguruan tinggi atau perusahaan swasta tidak perlu keluar uang untuk membeli fasilitas riset. (wan/tau/lyn/jpg)