Bagi Bung Hatta, Sama Kata dengan Perbuatan Adalah Prinsip

217

Bung Hatta adalah orang yang terencana dalam kehidupan sehari-harinya. Karakternya bersandar dengan pengetahuan yang cukup. Berbicara ataupun berdialog, menyampaikan sesuatu dan memecahkan permasalahan dengan pengetahuan.

Hal ini disampaikan oleh Andrianof Chaniago pada webinar memperingati 119 tahun kelahiran Bung Hatta (12 Agustus 1902-12 Agustus 2021). Kegiatan itu digelar Universitas Bung Hatta bersama Yayasan Proklamator Bung Hatta, dan Pemprov Sumbar, Rabu (11/8/21).

Andrianof Chaniago, salah seorang narasumber webinar bertema Membangun Keteladanan Bung Hatta ini menyebutkan, bahwa sosok Bung Hatta yang kaya dengan nilai-nilai keteladanan dan kebaikan. Orang Indonesia dengan cepat ingat dengan Bung Hatta kalau terjadi krisis gagasan, krisis etika, krisis tata kelola dan lainnya. Orang cepat teringat dengan sosok Bung Hatta karena sampai saat ini Bung Hatta adalah sumber inspirasi bagi bangsa.

“Menurut saya, cara kita membangun keteladanan Bung Hatta bukanlah dengan cara menghafal atau mengutip kata-kata Bung Hatta. Yang harus dilakukan adalah memahami  dan mempelajari bagaimana Bung Hatta berproses sampai terbentuknya karakter seperti Bung Hatta,” ungkap Andrianof.

Pendidikan agama yang didapat Bung Hatta dari kakeknya, Syekh Arsyad dan dari diskusi dengan H Agus Salim adalah memahami agama sepaham-pahamnya. Ajaran yg mempengaruhi Bung Hatta bukan untuk menghafal. Hasil memahami sepahan-pahamnya itu menghasilkan pemahaman antara lain, agama bisa bertemu dengan ilmu pengetahuan, dan hukum tertinggi dalam agama adalah damai, bukan kekerasan. Antara lain itu. Hal itulah yang diingatkan Andrianof.

Webinar yang digelar secara online dengan aplikasi zoom meeting juga disiarkan langsung secara live streaming melalui youtube menghadirkan pembicara antara lain Meuthia Hatta, putri tertua Bung Hatta, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri BUMN Erick Thohir, Andrianof A Chaniago dan Prof. Dr. Maizar Rahman, Ketua umum YPBH.

Acara diikuti ratusan peserta itu hadir juga Gemala Hatta (Putri Kedua Bung Hatta). Gubernur Sumbar Mahyeldi hadir sebagai keynote speaker sekaligus membuka acara, panitia pelaksana juga menghadirkan Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono serta para rektor dari PTN di Sumbar, di antaranya Rektor Unand Yuliandri, Rektor UNP Ganefri serta Rektor UBH Tafdil Husni, sebagai tuan rumah.

Meutia Farida Hatta, putri pertama pasangan Bung Hatta dan Rachmi Rahim memaparkan bahwa ada beberapa karakter dan prinsip Bung Hatta yang tepat dijadikan teladan bagi bangsa Indonesia, baik yang sedang menjalankan tugas-tugas negara maupun para pemuda yang sedang memupuk ilmu dan keahlian mereka agar kelak bisa menjalankan pekerjaan, tugas-tugas, dan jabatan mereka dengan penuh tanggung jawab.

Ke-10 Keteladanan Nasional Bung Hatta itu adalah :

Pertama, Bung Hatta memiliki prinsip yang tegas untuk membuat dirinya “sama kata dengan perbuatan”. Beliau tidak pernah mengubah niat atau janji yang sudah disampaikan. Bagi para pemimpin bangsa, menetapi janji kepada rakyat adalah suatu keharusan sebagai perilaku anggun dan mulia. Pemimpin wajib menghormati rakyat sebelum rakyat menghormati si pemimpin itu.

Kedua, Bung Hatta memuliakan rakyat. Bagi Bung Hatta, “tahta adalah untuk rakyat”.

Ketika sepulang Bung Hatta dari Negeri Belanda, Bung Hatta ditangkap dan dipenjara di Penjara Glodok, beliau sempat menulis buku berjudul Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, bahwa beliau anti “persaingan bebas” (laisser-faire-stelsel), karena persaingan bebas ini akan memperbesar mana yang kuat dan menghancurkan mana yang lemah. Oleh karena itulah Bung Hatta bersikap apriori menolak kapitalisme dengan persaingan bebas bawaannya

Ketiga, Bung Hatta sangat menghormati kedaulatan rakyat. Bahkan, istilah kedaulatan rakyat itu Bung Hatta-lah yang menciptakannya (tulisannya tanggal 10 November 1931). Semula istilah itu dikenal dengan istilah “Volkssouvereigniteit”.

Bung Hatta-lah yang memberi nama majalah perjuangan Daulat Ra’jat yang terbit dari tahun 1931 sampai 1934 saja. Penerbitan Daulat Ra’jat terhenti sewaktu Bung Hatta dibuang ke Boven Digoel.

Itulah sebabnya Bung Hatta disebut sebagai Bapak Kedaulatan Rakyat. Pada acara peringatan Satu Abad Bung Hatta diterbitkan buku yang ditulis oleh 65 orang tokoh Indonesia dengan judul Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat. Kemudian pandangan Bung Hatta pada tulisannya tanggal 10 November 1931 itu tersurat sebagai Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat”.

Keempat, Bung Hatta dikenal sebagai arsitek Pasal 33 UUD 1945, yang menurut Bapak Des Alwi, draft corat-coret sketsa Pasal 33 itu sudah digagas Bung Hatta sejak beliau masih berada di pembuangan di Boven Digoel pada tahun 1934.

Dalam Pasal 33 UUD 1945 jelas sekali disebut pada ayat (2)nya: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dan pada Ayat (3)nya: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Dari kedua ayat itu jelas bahwa kepentingan rakyat banyak sangat diutamakan. Jadi bagi Bung Hatta, hajat hidup orang banyak yang diartikan sebagai kebutuhan pokok rakyat, harus dikuasai oleh negara. Dengan demikian negaralah yang bertanggung jawab untuk menjamin tersedianya kebutuhan pokok rakyat itu.

Kelima, pada tanggal 3 Februari 1946, hanya enam bulan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, diadakan Konferensi Ekonomi pertama di Jogyakarta (namun tak pernah terdengar ada Konferensi Ekonomi kedua).

Ini penting untuk diketahui oleh para mahasiswa kita. Saya mendengar ceramah dari seorang ekonom senior yang paham tentang konsepsi demokrasi ekonomi-nya Bung Hatta, bahwa antara kita sendiri hendaknya tidak saling bersaingan. Tetapi kita boleh “saling berlomba”saja. Apa beda antara ”bersaing” dan ”berlomba”? Dalam “bersaing” yang lemah atau kalah disingkirkan.

Baca Juga:  Kemenag Minta Garuda Sampaikan Permohonan Maaf dan Beri Kompensasi, Ada Apa?

Dalam ”berlomba” yang lemah atau kalah diberdayakan. Kita memang menganut sistem ekonomi kerjasama, bergotong royong saling memperkuat, saling memperkokoh, dan saling melengkapi. Jadi, di dalam negeri, persaingan bukanlah pilihan yang relevan untuk membangun kekuatan ekonomi.

Pada konferensi ekonomi itu, pidato Bung Hatta menekankan antara lain tentang pentingnya “meningkatkan produktivitas rakyat”. Untuk itu perlu diadakan pengaturan hak-hak atas tanah. Yang muncul terpenting adalah tentang tanah dan produktivitas rakyat di atas tanahnya itu.

Bung Hatta menegaskan bahwa “tanah tidak boleh menjadi barang perniagaan”. Artinya, Bung Hatta pasti tidak akan menyetujui adanya ide tentang Bank Tanah sebagaimana yang direncanakan saat ini.

Pada pidato beliau pada Konferensi Ekonomi itu ada pula ditegaskan, bahwa strategi pembangunan “perekonomian haruslah untuk “meningkatkan daya beli rakyat”.

Oleh Bung Hatta dikemukakan agar kita tidak “memutar ujung menjadi pangkal”, yang menjadikan Indonesia sebagai negara export economie. Artinya, kita tidak mengekspor bahan-bahan mentah semata-mata, tetapi harus lebih dahulu mengolahnya di dalam negeri sebagai barang jadi atau setengah jadi, sehingga memperluas pasaran dalam negeri dan membuka lapangan kerja.

Bung Hatta mengartikan bahwa dengan mengolah bahan mentah di dalam negeri, maka pasar dalam negeri akan berkembang, disertai dengan peningkatan “daya beli rakyat” seperti yang gtelah disebut di atas.

Keenam, pada tahun 1947, Bung Hatta menjadi Ketua dari Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (yang ditetapkan sebagai embrio dari BAPPENAS sekarang). Hal ini merupakan kesempatan bagi Bung Hatta untuk memajukan ekonomi rakyat gagasan beliau. Saya mencatat, di situ Bung Hatta mengemukakan tentang perlunya para buruh atau pekerja ikut memiliki saham perusahaan. Saya perkirakan bahwa hal itu artinya Bung Hatta berkehendak untuk meredam kapitalisme.

Di sini jelas bahwa Pasal 33 UUD 1945 yang arsiteknya adalah Bung Hatta, berprinsip tidak antibesar, melainkan yang besar itu perlu dimiliki oleh orang banyak. Sikap Bung Hatta ini sarat dengan nilai-nilai kerakyatan.

Ketujuh, saya mencatat pula bhw ketika Bung Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri jaman RIS, salah satu program utamanya adalah membangun ekonomi rakyat. Saat ini saya menyarankan agar para pemuda kita mencintai dan membeli produk-produk ekonomi rakyat, apakah itu kerajinan rakyat, industri rakyat, kopi rakyat, hasil laut rakyat, hasil tambak rakyat, kuliner rakyat, dst, dan jangan terpaku pada produk-produk impor, termasuk makanan-makanan asing.

Kedelapan, kita mengenal Bung Hatta yang mengartikan kemerdekaan Indonesia sebagai kemandirian dan keberdaulatan, juga di dalam ekonomi. Bung Hatta lebih mengutamakan kemandirian dalam arti tidak mau tergantung kepada kekuatan ekonomi asing.

Oleh karena itu Bung Hatta mengutamakan memupuk tabungan dalam negeri. Bahkan saya yakin Bung Hatta bisa memperoleh pinjaman dari luar negeri, namun beliau lebih memilih meminjam untuk membiayai belanja negara dengan meminjam kepada saudagar-saudagar kaya kita sendiri, antara lain dari Solo.

Bung Hatta kemudian menganjurkan agar Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara untuk melakukan pinjaman dalam negeri dalam bentuk obiligasi dengan nama “Pinjaman Nasional” pada tahun 1950.

Kenapa Bung Hatta tidak menyukai ketergantungan kepada luar negeri? Karena hal itu bukan merupakan suatu kemuliaan. Kemandirian adalah suatu kemuliaan. Kemandirian adalah sikap mulia yang menyangkut perihal harga diri bangsa.

Kesembilan, di dalam pidato penganugerahan Doktor Honoris Causa di UGM, Jogyakarta tahun 1956, untuk pertama kalinya Bung Hatta menyebut perkataan “kebahagiaan rakyat”, agar Pemerintah menjaga “kebahagiaan” rakyat itu. Baru pada tahun 2000-an ini PBB mengemukakan pentingnya happiness bagi rakyat.

Kemudian PBB mengukur human happiness index (HDI). Disayangkan bahwa di situ tercatat bahwa index Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan index negara tetangga kita. Indonesia pada tahun 2018 berada di urutan 116 dari 189 negara.

Kemudian dalam pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa di UI pada tahun 1975, hal yang menarik adalah kalimat Bung Hatta yang mengatakan, “Kita adalah negara hukum, oleh karena itu harus mentaati hukum,”. Yang dimaksudkan oleh Bung Hatta adalah ketertiban dalam Anggaran Belanja Negara, dan tidak boleh ada Anggaran Non Budgetaire.

Kesepuluh, Bung Hatta menolak demokrasi Barat yang berdasar liberalisme individualisme. Bung Hatta menegaskan konsepnya mengenai Demokrasi Ekonomi, yang banyak ekonom kita mengabaikannya. Intinya demokrasi ekonomi adalah kemakmuran rakyatlah yang utama bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran bagi semua orang, sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak tertindasinya. Artinya Bung Hatta selalu mengutamakan kebersamaan nasional.

Pemikiran kerakyatan Bung Hatta masa lalu itu, ketika pada saat ini muncul dalam buku-buku teks ekonomi pembangunan kontemporer, disebut sebagai strategi putting people first, artinya menempatkan peran dan kepentingan rakyat sebagai yang harus diutamakan.

Kemudian kita mengenal strategi people centered, artinya strategi yang mengutamakan kepentingam rakyat, dan strategi people based yang berdasarkan atas kemampuan (capability) rakyat.

Keteladanan Bung Hatta akan bermanfaat bila orang melakukannya dengan jujur, karena berprinsip mensejahterakan rakyat dan memuliakan rakyat Indonesia. Demikianlah keteladanan untuk dijalankan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab mengelola negara. (indrawadi)