Pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku memiliki data intelijen terkait arah partai politik menjelang Pemilu 2024 mendapat sorotan dari berbagai pihak. Hal itu dinilai akan berbahaya dan merusak demokrasi, jika digunakan untuk intervensi politik pencapresan.
Partai politik memiliki pandangan beragam terhadap pernyataan presiden soal data intelijen. PKS misalnya, tidak mempersoalkan data intelijen. Sekjen PKS Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan, presiden mempunyai hak untuk memiliki data rahasia itu. “Kami tidak ada beban,” terangnya.
Menurutnya, sangat wajar jika presiden memiliki data intelijen terkait negara. Dengan data itu, presiden bisa memetakan berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Tidak terkecuali soal arah koalisi parpol dalam menghadapi pemilu.
Aboe mengatakan, presiden bisa mendapatkan data intelijen dari BIN, kepolisian, kejaksaan, dan TNI. Semua lembaga itu melaporkan data rahasia kepada kepala negara.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono mengatakan, sebagai kepala negara, wajar jika Jokowi memiliki data intelijen soal arah parpol menjelang pemilu. “Wajar kalau Presiden Jokowi punya data intelijen,” ungkapnya.
Dia tidak mempersoalkan pernyataan Jokowi di depan publik. Sebab, yang disampaikan presiden hanya sebatas informasi umum. Presiden tidak menjelaskan apa saja data intelijen itu. Jadi, hanya presiden yang mengetahui data tersebut.
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali mengaku kaget ketika mendengar presiden menyampaikan bahwa dirinya memiliki data intelijen terkait arah koalisi. “Kami kaget ketika mendengar itu,” ucapnya.
Sebenarnya, kata dia, wajar seorang presiden memegang data intelijen. Namun yang menjadikan dia kaget adalah pernyataan itu disampaikan di depan umum. Tentu, hal itu akan menimbulkan multitafsir.
Menurut Mad Ali, publik sebenarnya sudah mengetahui kalau presiden memegang data intelijen. Tapi sangat mengagetkan jika hal itu disampaikan kepada masyarakat luas. “Seharusnya tidak disampaikan ke publik agar tidak menimbulkan multitafsir,” tegasnya.
Pengamat Politik Ujang Komarudin mengatakan, ada sisi positif dan negatif dari pernyataan yang disampaikan presiden soal data intelijen. Menurutnya, hal yang positif jika presiden mempunyai data intelijen.
Dengan data itu, presiden bisa mengetahui kondisi Indonesia, mendapat gambaran terkait potensi kerawanan, dan bisa menyusun strategi dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan. “Presiden memang harus memiliki data intelijen,” bebernya.
Presiden, lanjut Ujang, juga berhak memiliki data intelijen soal arah parpol dalam menghadapi pemilu. Namun, seharusnya data itu disimpan saja oleh presiden dan tidak perlu disampaikan ke pihak lain.
Menurutnya, akan sangat berbahaya jika data intelijen itu digunakan untuk cawe-cawe atau intervensi politik pilpres. Kalau presiden memanfaatkan data tersebut untuk intervensi arah parpol, maka hal itu akan merusak tatanan politik dan demokrasi. “Itu sisi negatifnya, akan merusak tatanan politik dan demokrasi kita,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu menegaskan, partai politik memiliki kemandirian dan independensi dalam menentukan arah politik pemilu, sehingga tidak perlu diintervensi.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai surveillance terhadap parpol merupakan bentuk skandal dan penyalahgunaan intelijen oleh presiden. Menurut koalisi, tindakan tersebut merupakan masalah serius dalam kehidupan demokrasi.
“Tidak boleh dan tidak bisa dalam negara demokrasi, presiden dan perangkat intelijennya menjadikan partai politik sebagai objek dan target pemantauan intelijen,” kata anggota koalisi M. Isnur kepada Jawa Pos (grup Padang Ekspres), kemarin.
Isnur mengakui, data intelijen memang berfungsi memberikan informasi, terutama kepada presiden. Namun, informasi tersebut seharusnya terkait dengan musuh negara dan berkaitan dengan masalah keamanan nasional. “Bukan terkait dengan masyarakat politik atau partai politik,” ungkapnya.
Fungsi intelijen itu, lanjut Isnur, diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Nomor 17/2011 tentang Intelijen Negara. Mengacu ketentuan itu, presiden tidak pantas dan tidak boleh memantau, menyadap, dan mengawasi mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden.
Berlandas Aturan
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan bahwa sangat wajar bila presiden memiliki data intelijen. Menurut dia, hal itu tidak ada kaitannya dengan cawe-cawe. “Itu tidak ada kaitannya,” kata dia tegas.
Mahfud menyatakan, presiden manapun sudah pasti mendapat laporan intelijen. Jangankan presiden, dia menyebut, pejabat sekelas menteri pun memiliki. Pejabat asal Madura itu mencontohkan, pejabat selevel menteri koordinator mendapat laporan intelijen setiap bulan.
“Kalau presiden setiap hari. Pagi ini ada apa, ini ada apa. Itu biasa, punya data parpol itu biasa,” imbuhnya.
“Siapa politikus yang nakal, siapa politikus yang benar, siapa yang punya kerja gelap, siapa yang punya kerja terang. Itu punya (informasi intelijennya) presiden,” tambah pria yang pernah bertugas sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
Mahfud menyampaikan, salah satu tugas presiden terkait dengan banyak hal. Termasuk urusan politik, hukum, keamanan. “Apa-apa yang sensitif di masyarakat, presiden setiap hari mendapat laporan dari intelijen,” imbuhnya.
Dia menegaskan, penyampaian informasi intelijen kepada presiden juga berlandas aturan. Yakni undang-undang. “Intelijen negara itu laporannya ke presiden dan setiap saat. Bukan hanya di hari kerja dan di jam kerja,” beber dia.
Karena itu, dia menilai bahwa hal tersebut wajar dan tidak melanggar aturan yang berlaku di Indonesia. Termasuk undang-undang berkenaan dengan intelijen negara. “Presiden wajib diberi laporan setiap saat oleh intelijen. Itu ketentuan undang-undang. Apa gunanya ada intelijen kalau tidak boleh lapor ke presiden,” lanjut dia.
“Oleh sebab itu, kita harus hati-hati. Pejabat, politikus, dan sebagainya. Presiden itu tahu semuanya,” ujarnya. (lum/syn/tyo/jpg)