Peringati Hari Kartini, JMS dan FPL Ajak Masyarakat Kawal UU TPKS

27

Hari Kartini diperingati Kamis (21/4), hari ini. Dalam rangka mengingat sepak terjang salah satu pahlawan perempuan Indonesia yang menginspirasi ini, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS dan Forum Pengada Layanan (FPL) menginisiasi diskusi media dengan tema “Bersama Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Sebagai Tonggak Peradaban Baru Indonesia Tanpa Kekerasan Seksual”.

Diskusi yang dihelat di kantor Indonesia Untuk Kemanusiaan ini dihadiri sejumlah aktivis perempuan, penyintas serta perwakilan media.

Dian Novita, aktivis perempuan dari LBH APIK Jakarta memandu diskusi yang dilangsungkan juga secara online melalui Zoom.

Hadir sebagai narasumber lainnya Mike Verawati Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Demokrasi, Ina Irawati dari Women Crisis Center Dian Mutiara Malang, Lusi Peilow dari Jaringan Masyarakat Sipil Maluku untuk Advokasi UU TPKS, Venny Siregar aktivis perempuan, Ellen Kusuma dari Safenet dan Yeni Rosa Damayanti dari Koalisi Disabilitas untuk TPKS melalui Zoom Meeting.

Lusi dari Jaringan Masyarakat Sipil Maluku mengatakan, dalam rangka Hari Kartini dia mendorong agar perlindungan terhadap korban kekerasan seksual jangan hanya terorientasi di Pulau Jawa.

“Kami masih bergelut dengan kasus kekerasan seksual. Saat ini momentum yang tepat utk merefkejsi negara hadir untuk rakyat secara utu. Tidak hanya soal Jawa,” jelas Lusi.

“UU TPKS adalah sesuatu yang dinantikan khusus oleh perempuan, tak hanya di Pulau Jawa, karena di pulau luar Jawa banyak yang tidak dapat mengakses layanan,” bebernya.

Baca Juga:  Pesan Aqua Dwipayana: Insan Pers Harus Punya Filosofi Kuat dalam Relasi Sosial

“Implementasinya perlu dikawal untuk bisa secara maksimal agar dirasakan manfaatnya,” pungkas Lusi.

Di sisi lain, Ina Irawati dari Women Crisis Center Malang menyambung, sejauh ini banyak dilakukan masyarakat sipil dalam konteks kekerasan seksual.

“Katakanlah menyediakan shelter dan lainnya. Bagaimana adopsi aman dan tidak ada potensi trafficking. Keterlibatan masyarakat dalam UU TPKS sangat krusial,” tambahnya.

Venny Siregar, aktivis perempuan yang ikut membahas UU TPKS menaambahkan, TPKS adalah kebijakan yang komperhensif. “Restoratif justice masih dilakukan sebelum TPKS. Isu kekerasan seksual dulu minim diproses secara hukum. Kita berbangga karena UU TPKS memiliki berbagai capaian, baik dari cyber maupun fisik dan non fisik dan lainnya,” ungkapnya.

Ada capaian banyak, lanjutnya, masyarakat sipil jadi bagian dari pemantauan. “Berharap benar-benar memastikan korban mendapatkan haknya. Harus kita kwal untuk implementasinya. Di Hari Kartini menjawab tantangan-tantangan di Indonesia,” sebutnya.

“Layanan untuk korban harus gratis apapun alasannya. Berharap ke depan tidak lagi pusing mencari dana untuk mendapingi korban. visum dikawal agar tetap gratis juga psikiater,” ungkap Fenny.

Diskusi berjalan interaktif baik dari narasumber maupun peserta. Bahkan, termasuk testimoni dari penyintas. “Yang pasti dengan adanya UU TPKS jadi angin segar untuk mengurangi potensi kekerasan seksual. Kita harus mengawal agar UU TPKS ini bisa terus berjalan dan bisa sampai ke daerah-daerah,” pungkas Dian. (jpg)