Distribusi minyak goreng (migor yang seret terus disorot. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turut menelisik potensi pelanggaran yang berakibat pada kelangkaan minyak goreng di pasaran.
”Saat ini berbagai pemanggilan dan permintaan keterangan dan data dari produsen-produsen masih kami lakukan, baik dari sisi hulu maupun hilirnya,” ujar Ketua Umum KPPU, Ukay Karyadi.
Informasi yang dikumpulkan tersebut akan diolah untuk mengetahui pada aspek mana pelanggaran paling mungkin terjadi. Berikut siapa yang melakukannya.
”Jadi, sekarang masih terlalu cepat untuk dapat disimpulkan bentuk pasal yang dilanggar. Potensi pasal yang dilanggar bisa terkait dengan kartel, penetapan harga, integrasi vertikal, atau pasal lainnya. Kami pasti akan sampaikan temuannya ke publik,” kata dia.
Menurut Ukay, berbagai fenomena di lapangan bisa dianggap sebagai dugaan hambatan akses konsumen atas produk minyak goreng. Akibatnya, persaingan usaha tak sehat. Karena itu, alat bukti perlu dikumpulkan.
”Baik untuk mengetahui fakta-fakta tersebut bagian dari suatu tindakan bersama-sama atau terkoordinasi maupun dilakukan secara masing-masing. Pendekatan yang digunakan KPPU akan berbeda atas bentuk-bentuk tersebut,” jelasnya.
Dari kacamata KPPU, kelangkaan minyak goreng dapat disebabkan banyak hal. Di antaranya, kurang tuntasnya koordinasi pemerintah dan pelaku usaha di lapangan dalam menerapkan kebijakan HET atau bisa juga sebagai akibat perilaku pelaku usaha yang anti persaingan.
”Yang pasti, upaya perbaikan industri minyak goreng harus segera dilakukan, dari hulu hingga hilir,” tegasnya.
Di sisi lain, Satgas Pangan Polri juga memastikan telah memanggil sejumlah produsen minyak goreng. Pemanggilan itu dilakukan untuk mengawasi distribusi yang dinilai bermasalah.
Wakasatgas Pangan Polri Brigjen Whisnu Hermawan menyatakan, produsen minyak goreng dipanggil untuk memberikan data dan hasil produksi sekaligus distribusi minyak goreng. Setelahnya, data tersebut ditelusuri.
Dengan begitu, pengawasan terhadap distribusi minyak goreng bisa dilakukan. ”Ini dilakukan untuk memperlancar distribusi,” katanya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum memberikan update terkait dengan langkah konkret untuk mengurai rantai distribusi yang mandek. Sejauh ini menteri perdagangan dan jajaran diketahui tengah intens meninjau langsung dan mengadakan operasi pasar di beberapa daerah. Terakhir di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Sementara itu, kemarin (23/2) pemerintah mengirimkan 12,7 ton minyak goreng ke Papua. Minyak goreng itu diangkut pesawat Hercules C-130 dan diterbangkan dari Pangkalan Udara (Lanud) TNI-AU Sultan Hasanuddin, Makassar.
Kepala Dinas Penerangan TNI-AU (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI Indan Gilang Buldansyah menjelaskan, sebelum singgah di Makassar, pesawat tersebut take off dari Lanud Muljono, Surabaya. ”Membawa minyak goreng kemasan 1 liter,” katanya. Pasokan minyak goreng dari Kemendag itu langsung disebar ke berbagai kabupaten dan distrik di Papua.
Beralih ke isu kedelai, pelaku usaha olahan kedelai memberikan sinyal bahwa aksi mogok produksi oleh industri-industri tahu dan tempe selama tiga hari terakhir sudah selesai.
”Nanti malam (tadi malam, red) di pasar-pasar seperti Kramat Jati, Kebayoran Lama, dan Pasar Minggu sudah kembali normal,” ujar Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Sutaryo.
Sutaryo menyatakan, pengusaha sudah berkoordinasi dengan pemerintah. Dia mengamini bahwa stok memang aman sampai dua bulan ke depan. Karena itu, masyarakat tak perlu khawatir sekalipun akan memasuki momen Ramadhan.
”Memang aksi kemarin bukan karena stok, melainkan karena fluktuasi harga kedelai yang bergerak sangat cepat,” tegasnya.
Menurut dia, aksi dilakukan sebagai bentuk komunikasi kepada konsumen bahwa harga kedelai dunia memang sedang naik dan berfluktuasi.
”Karena konsumen mengira pengusaha tahu dan tempe yang mainkan harga. Dikira (kenaikan harga) bikinan pengusaha sendiri. Dengan mogok itu terekspos bahwa kedelai itu memang lagi mahal dan harga tempe dan tahu juga harus mengalami penyesuaian,” papar Sutaryo.
Dia sekaligus mengonfirmasi bahwa tempe dan tahu yang sudah kembali normal di pasaran mengalami penyesuaian harga. ”Harga disesuaikan untuk kelayakan para perajin tahu dan tempe itu, supaya tidak gelisah seperti sebulan terakhir. Yaitu, kelayakannya harus naik 20 persen,” ujarnya.
Gambarannya, tempe yang biasa dibanderol Rp 5.000 per papan akan dijual Rp 6.000 per papan. Sementara, harga tahu dari Rp 600 per potong menjadi Rp 700 per potong.
Kebijakan berbeda diambil produsen tempe dan tahu di Surabaya. Tak ada kenaikan harga. Namun, ukuran tahu dan tempe akan diperkecil.
Ketua Paguyuban Perajin Tempe dan Tahu Surabaya dan Sekitarnya Tarjuki mengungkapkan, para perajin urung menaikkan harga untuk menjaga pelanggan. ”Ada ketakutan mengecewakan pelanggan sehingga teman-teman memutuskan harganya tetap. Tapi, ukurannya akan lebih kecil,” paparnya kemarin.
Dia menyebutkan, jika biasanya tempe seharga Rp 3.000 berukuran 25 sentimeter, mungkin ukurannya akan berkurang menjadi 20 sentimeter. Ukuran itu bergantung kepada setiap perajin. ”Bisa jadi ukurannya tetap besar, tetapi ditambah kulit kedelai sehingga kualitasnya tidak sebagus yang hanya kedelai,” ungkapnya.
Paguyuban berencana mendiskusikan wacana kenaikan harga ini pada Sabtu (26/2). Mereka akan melihat respons konsumen dulu setelah tempe dan tahu kembali ke pasaran. ”Mungkin ada yang minta lebih baik harganya dinaikkan, tapi kualitas tetap. Nanti dibicarakan (paguyuban) lebih lanjut,” tutur Tarjuki.
Sementara itu, kelangkaan kedelai saat ini dinilai tak terlepas dari ketergantungan produk impor. Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Munif Ghulamahdi menuturkan, untuk menjaga stok kedelai di Indonesia, salah satu caranya adalah meningkatkan produksi kedelai nasional. Pihaknya memiliki teknologi budi daya kedelai yang cocok ditanam di lahan pasang surut atau teknologi budi daya jenuh air (BJA) kedelai.
Dosen departemen agronomi dan hortikultura itu menjelaskan, teknologi tersebut dapat mengurangi sifat negatif dari lahan pasang surut. Dengan begitu, areal tanam kedelai di Indonesia bisa lebih luas. ”Teknologi ini telah diterapkan di Jambi, Palembang, dan Lampung,” katanya kemarin.
Munif menjelaskan, teknologi BJA itu diterapkan di area 500 hektare lahan tipe luapan C pada lahan pasang surut. Hasilnya, diperoleh 2,6 ton kedelai per hektare. Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kedelai nasional di angka 1,5 ton per hektare. (agf/wan/syn/idr/deb/c14/fal/jpg/jpg)