Adanya satu pasien monkeypox atau cacar monyet di Indonesia mendapat reaksi dari Presiden Joko Widodo. Dia meminta agar segera dilakukan vaksinasi dan penanganan agar kasus serupa tak menyebar.
Presiden menginstruksikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk segera menyediakan vaksin cacar monyet. ”Urusan vaksin segera,” ujarnya.
Selain vaksinasi, Presiden juga perintahkan jajaran terkait untuk lebih memperketat pemeriksaan di pintu-pintu masuk ke Indonesia. Begitu juga tempat lain dengan interaksi yang tinggi. ”Betul-betul dicek secara ketat,” tutur Kepala Negara.
Jokowi juga meminta masyarakat untuk tidak panik karena penularan cacar monyet terjadi pada saat pasien sudah bergejala dan melalui kontak fisik dengan pasien. ”Saya rasa yang paling penting adalah kesiapan-kesiapan kita mengatasi itu,” ujarnya.
Pada kesempatan lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan sudah mengirim reagen ke laboratorium yang bisa mendeteksi monkeypox. Hasil PCR dari pasien akan dilakukan penyelidikan dengan genome sequence. Ini sekaligus melihat varian monkeypox berasal dari Afrika Barat atau Tengah.
”Vaksinnya sudah kita beli sekarang sedang dalam perjalanaan datang,” tuturnya. Vaksin ini berbeda dengan vaksin Covid-19 yang harus diberikan enam bulan sekali. Pemakaian vaksin untuk cacar monyet hanya sekali seumur hidup. Selain itu, Kemenkes juga memastikan obat juga telah tersedia.
Budi mengimbau agar seluruh pihak waspada. Terutama pada orang dengan ruam pada kulit. ”Jika ada teman ada bintik-bintik seperti cacar jangan dekat-dekat,” sarannya.
WHO sendiri, menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril, belum memberikan rekomendasi untuk vaksinasi massal seperti saat pandemi COvid-19. Kendati begitu, sudah ada sekitar 2-3 negara yang melakukan vaksinasi massal untuk monkeypox ini.
Namun, pihaknya sudah melakukan persiapan untuk pengadaan vaksin penyakit cacar monyet ini. Di mana, dalam penentuannya harus melalui rekomendasi BPOM. “Insya Allah ada 10 ribu yang nanti kita adakan,” katanya.
Vaksin monkeypox ini diberikan pada mereka yang sudah terpapar. Vaksin disuntikkan saat penderita menjalani masa inkubasi. Selain itu, vaksin juga diberikan pada mereka yang kontak erat.
Selain vaksinasi, Pakar Epidemiologi Universitas Griffith Dicky Budiman meminta pemerintah menyediakan lokasi untuk isolasi pasien yang terpapar Cacar Monyet ini. Sebab, masa isolasi penyakit ini cukup panjang, yakni 3 minggu.
Bukan hanya itu, tidak semua masyarakat tergolong mampu dan memiliki tempat untuk isolasi mandiri. Mengingat, pasien harus benar-benar terpisah dan mendapat pengawasan dokter. ”Isolasinya lebih lama dibanding Covid-19. Jadi pemerintah harus siap kalau ini banyak yang terjangkit,” katanya.
Masyarakat pun diminta untuk waspada. Sebab, penyakit ini bisa menjangkit semua orang dengan perilaku seksual apa saja. Tak terbatas pada kelompok tertentu dengan perilaku seksual menyimpang.
Karenanya, lanjut dia, protokol kesehatan (prokes) 5M harus kembali ditegakkan. Pastikan selalu menggunakan masker, rajin mencuci tangan, hindari kerumunan, hingga perilaku hidup sehat dan bersih.
”Lalu jangan menstigma, membenci, dan memberikan cap negatif. Karena ini bisa membuat penderita semakin tertutup dan menjadikan penyakit ini lebih mudah penularannya,” paparnya.
Guru Besar Fakultas Kedoktera UI Prof. Tjandra Yoga Aditama menerangkan bahwa ketersediaan vaksin cacar monyet di dunia saat ini masih terbatas. Yoga menyebut bahwa WHO menyatakan kekhawatiran bahwa ketimpangan pemerataan vaksin yang pernah terjadi untuk COVID-19 akan terjadi lagi pada pengendalian cacar monyet ini.
”Karena itu baik kiranya kalau kita di Indonesia segera mengadakan vaksin di lapangan untuk yang membutuhkan,” jelas Yoga.
Selain vaksinasi, kata mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini, ada sedikitnya lima upaya kesehatan lain yang harus dilakukan menghadapi kemunculan kasus di dalam negeri.
Pertama adalah peningkatan surveilan penyakit, kemudian penelusuran kasus yang ketat.
Komunikasi risiko yang baik pada masyarakat harus selalu digalakkan. Keempat yakni keterlibatan aktif masyarakat, ke lima upaya penurunan risiko (risk reduction measures). ”Kita tentu berharap agar di negara kita setidaknya keenam upaya kesehatan ini dapat dilakukan dengan maksimal,” jelasnya.
Sementara itu, Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan pengendalian wabah tidak boleh hanya melulu tergantung pada vaksin. ”Cara pengendalian wabah apapun itu yang paling bisa pertama diandalkan adalah strategi kesehatan masyarakat atau public health intervention atau yang sering disebut dengan non pharmaceutical intervention,” jelas Dicky.
Intervensi jenis ini meliputi penguatan sistem respons terhadap wabah dengan intervensi-intervensi yang tanpa menggunakan obat termasuk vaksin. Hal ini kata Dicky dikarenakan seringkali wabah bersifat mendadak dan skalanya besar.
”Ketika pandemi terjadi, seringkali belum ada vaksinnya atau obatnya. kalaupun sudah ada, jumlahnya terbatas, sedikit atau ditambah lagi banyak yang butuh. Jadi rebutan,” kata Dicky.
Sehingga kata peneliti Global Health Security ini penting bagi pemimpin pemegang kebijakan baik di level nasional maupun daerah untuk memahami dan memperkuat sistem respons kesehatan masyarakat di wilayahnya masing-masing.
”Dan respons kesehatan ini bukan kuratif seperti diberi obat atau di rawat di rumah sakit,” katanya. (dee/tau/mia/lyn/jpg)