Survei Lingkungan Belajar AN Dinilai Mirip TWK KPK

39
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji.(NET)

Belum resmi dimulai, Program Asesmen Nasional (AN) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah berpolemik. Muncul tangkapan layar yang diduga bagian dari survei lingkungan belajar AN yang mengandung isu SARA.

Misalnya saja, ada pertanyaan soal lebih senang mengajar dan membimbing siswa yang beretnis sama. Lalu, soal presiden yang baiknya dijabat oleh laki-laki daripada perempuan hingga preferensi lebih mendukung perempuan sebagai wakil pemimpin daripada ketua.

Diklarifikasi mengenai contoh soal yang beredar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kemendikbudristek Anindito Aditomo tidak menyangkal.

Dia mengatakan, bahwa pertanyaan tersebut merupakan bagian dari survei iklim kebhinekaan dalam survei lingkungan belajar AN.

Dia menjelaskan, ada banyak aspek yang diukur dalam survei lingkungan ini. Diantaranya, pembelajaran yang terdiri dari fasilitas belajar, praktik belajar mengajar di kelas apakah guru menerapkan pembelajaran interaktif, praktik refleksi guru, hingga soal iklim sekolah baik itu keamanan maupun kebhinekaan di sekolah.

”Hasilnya akan kita kembalikan ke sekolah untuk refleksi diri. Apakah sekolah sudah cukup aman dan cukup inklusif untuk kebinekaan. Nah, jika skornya rendah maka ada sinyal sekolah tersebut tidak memiliki iklim kebhinekaan dan iklim keamanan.

Sehingga sekolah perlu melakukan evaluasi. Tapi ini sama sekali tidak ada maksud untuk profiling individu. Saya jamin. Karena sekali lagi ini portret kolektif,” ujar pria yang akrab disapa Nino dalam Bincang Pendidikan, kemarin (27/7).

Nino menegaskan, bahwa tujuan AN ialah mengetahui potret kolektif sekolah dan mendorong perbaikan sekolah. Caranya, dengan memberikan umpan balik tentang hasil belajar siswanya, praktik pembelajaran yang dilakukan sekolah, apakah kepsek berorientasi pada praktik pembelajaran atau tidak, hingga iklim sekolah yang jadi prasyarat pembelajaran baik dari aman atau kebhinekaan.

”Apakah anak merasa diterima terlepas dari identitas apakah orang kaya, suku ras mana, ini kita ukur juga,” katanya.

Baca Juga:  Sidang Etik Teddy, Semestinya PTDH

Diakuinya, survei ini sudah berjalan secara terbatas di sejumlah sekolah penggerak. Sesuai dengan skema awal, bakal ada penyesuaian instrumen usai survei terbatas dijalankan.

Sehingga, akan ada versi terbaru yang telah disesuaikan untuk keperluaan AN yang dijadwalkan mulai September 2021. Meski, jadwal tersebut juga masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut karena kondisi pandemi Covid-19 saat ini.

”Nanti ada kajian dari tim teknis, juga akan dikaji tim pengembang instrumen. Pengembangan untuk versi berikutnya,” paparnya.

Sementara itu, Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menyoroti pelaksanaan survei lingkungan belajar (AN) yang dilakukan Kemendikbudristek. ”Ini persis litsus (penelitian khusus, red) di era orde baru,” katanya kemarin.

Indra mengatakan materi pertanyaan dari survei tersebut jauh dari bayangannya. Dia membayangkan survei yang dilakukan Kemendikbudristek untuk mengukur soal teknis seperti kondisi sekolah, bangku sekolah, papan tulis, komputer, internet, dan lainnya.

Atau lingkungan sekolah apakah dekat dengan jalan raya, laut, sungai, tempat pembuangan sampah, pasar, pabrik, atau hal-hal lainnya yang bisa membuat pembelajaran di sekolah tidak nyaman.

Tetapi yang ditanyakan justru hal-hal sangat personal dan sejatinya dilindungi oleh HAM. Serta seharusnya menjadi rahasia pribadi guru tersebut.

Indra mengatakan dengan soal yang sangat personal, seperti terkait keagamaan, para guru menjadi sangat hati-hati dalam menjawab. Para guru tersebut takut dicap radikal atau sejenisnya seperti yang dialami 75 orang pegawai KPK setelah mengikuti TWK.

”Bahkan ada guru yang memilih mengosongkan atau tidak menjawab,” jelasnya.

Indra mengatakan jangan sampai kegiatan survei tersebut menjadi semacam profiling guru. Kemudian bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Jika dijadikan ajang profiling, Indra mengatakan sangat berbahaya.

Dia mengatakan lebih baik Kemendikbud mengadakan ujian psikotes ketimbang soal-soal survei berbau SARA. (mia/wan/jpg)