
Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyepakati target penerimaan perpajakan yang lebih tinggi pada tahun 2022. Target penerimaan perpajakan 2022 ditetapkan Rp 1.510 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dari usulan pemerintah senilai Rp 1.506 triliun.
”Atau lebih tinggi Rp 3,08 triliun dari target perpajakan yang diusulkan dalam RAPBN 2022,” ujar Anggota Banggar DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi dalam raker dengan pemerintah, kemarin (28/9).
Bobby melanjutkan, kenaikan penerimaan itu terjadi baik dari sisi pajak maupun kepabeanan dan cukai. Target penerimaan pajak 2022 naik 0,16 persen dari usulan pemerintah Rp 1.262 triliun menjadi Rp 1.265 triliun. Sementara, dari kepabeanan dan cukai naik 0,4 persen. Dari Rp 244 triliun menjadi Rp 245 triliun.
”Kenaikan target penerimaan perpajakan itu didapatkan dari hasil optimalisasi penerimaan pajak sebesar Rp 2,07 triliun dan hasil optimalisasi penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 1 triliun,” jelas Bobby.
Pada kesempatan sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyetujui kenaikan target penerimaan perpajakan itu. Dia pun setuju RUU APBN dibawa ke pembahasan tingkat II yakni dalam Sidang Paripurna DPR.
”Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan dalam pembicaraan tingkat II pengambilan keputusan terhadap RUU APBN tahun anggaran 2022 pada siding paripurna,” jelas perempuan yang akrab disapa Ani.
Pada raker tersebut, juga disepakati asumsi dasar ekonomi makro dan target pembangunan tahun 2022. Dari hasil pembahasan panja asumsi pendapatan, defisit, dan pembiayaan, pemerintah lalu menyusun postur sementara RUU APBN TA 2022.
Yang kemudian dibahas dan ditetapkan dalam raker Badan Anggaran dengan pemerintah dan Bank Indonesia pada tanggal 14 September 2021. ”Berdasarkan raker itu, terdapat perubahan asumsi dasar yang menyebabkan hasil pembahasan panja asumsi berubah (update),” ujar Ketua Banggar DPR Said Abdullah.
Adapun asumsi makro yang disepakati yakni pertumbuhan ekonomi 2022 diproyeksi 5,2 persen year-on-year (YoY). Proyeksi itu dinilai cukup realistis dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada. Baik dari dalam maupun luar negeri.
Angka proyeksi itu turun ketimbang target yang disampaikan pada nota keuangan RAPBN 2022. Kala itu ditetapkan 5-5,5 persen. Selain itu, tingkat inflasi sebesar 3 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Rp 14.350.
Ada pula tingkat suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diperkirakan 6,80 persen pada 2022. Selanjutnya, asumsi harga minyak mentah atau Indonesian Crude Price (ICP) diperkirakan USD 63 per barel. Sedangkan, lifting minyak diperkirakan 703.000 per barel per hari dan lifting gas sebesar 1.036.000 per barel setara minyak per hari.
Pantia kerja (panja) meminta agar pemerintah melakukan extra effort untuk meningkatkan lifting minyak. Hal itu dilakukan melalui pengaturan regulasi yang memberikan ketenangan berusaha bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas.
”Sehingga, mampu meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi beban impor minyak,” imbuh Said.
Sementara itu, target pembangunan disepakati bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) akan berada di kisaran 5,6-6,3 persen. Kemudian, Tingkat Kemiskinan ada di kisaran 8,5-9 persen. Sementara, gini ratio ada di kisaran indeks 0,376-0,378.
Kemudian, Indeks Pembangunan Manusia disepakati 73,41-73,46. Untuk Nilai Tukar Petani (NTP) disepakati 103-105 dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) di kisaran 104-106. Selain itu, Banggar DPR RI dan pemerintah menyepakati pembiayaan utang 2022 sebesar Rp 973,58 triliun.
Anggota DPR RI Fraksi PAN Eko Hendro Purnomo mengkritisi hal tersebut. Dia meminta pemerintah bijak dan transparan dalam mengelola utang. Juga, serius dalam menjaga risiko utang.
Pria yang akrab disapa Eko Patrio itu menilai, risiko utang pemerintah menurun jika utang yang digunakan produktif. Mengingat, rasio utang terhadap pendapatan negara sudah mencapai 27 persen. Melebihi batas aman sebesar 20 persen.
Politisi PAN tersebut mendorong pemerintah menetapkan target penurunan rasio bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat. Sehingga, APBN bisa lebih berpihak untuk kepentingan masyarakat melalui belanja modal dan belanja subsidi.
”Fraksi PAN meminta pemerintah dapat memperbaiki manajemen cashflow dalam pengelolaan pembiayaan utang, mengingat sisa lebih pembiayaan anggaran atau SILPA masih mencatatkan angka yang tinggi yaitu Rp 145,6 triliun per Agustus,” bebernya.
Dia menjelaskan, besarnya SILPA menggambarkan APBN yang tidak efisien. Lantaran harus menanggung beban bunga SBN yang cukup tinggi. Makanya, penting untuk mengantisipasi terjadinya kelebihan pembiayaan serta menargetkan batas maksimum atas SILPA itu.
”Fraksi PAN tetap mengingatkan pemerintah berhati-hati terhadap berbagai risiko yang dapat menyebabkan melesetnya penerimaan negara. Hal itu jika terjadi berpotensi menambah defisit fiskal di tahun depan,” tandasnya.
Terpisah, Direktur dan Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, target penerimaan negara melalui perpajakan cukup ambisius. Sebab, adanya revisi ketentuan umum perpajakan yang mungkin akan diterapkan 2022. Selain itu, target penerimaan pajak yang terlalu tinggi malah mengganggu pemulihan daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah.
”Seperti, rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan. Ini mesti hati-hati. Jangan sampai dalam situasi saat ini pemulihan daya belinya tidak merata. Jadi kalau dikenakan pajak baru, khawatir malah bisa menggerus daya beli dan kontraproduktif terhadap pemilihan ekonomi 2022,” ungkapnya saat dihubungi tadi malam.
Bhima menyebut, asumsi pertumbuhan ekonomi 2022 yang ditargetkan 5,2 persen relatif masih banyak tantangan. Sehingga bisa jadi meleset. Sebab, jika targetnya terlalu tinggi, khawatir penerimaan pajaknya akan tidak terpenuhi.
Di sisi lain, petugas pajak di daerah akan lebih agresif mengejar pajak pengusaha. Khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masih dalam tahap pemulihan.
”Ya ini terlalu ambisius. Jangan nafsu tanpa dasar. Kasihan petugas pajak di bawah stres targetnya tinggi dan pengusaha tidak bisa ekspansi,” ujar lulusan University Of Bradford, Inggris, itu.
Bhima menyarankan, pemerintah bisa lebih realistis. Fokus dulu untuk memperbaiki skema insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran. Begitu pula, reformasi data dan administrasi. Juga, penegakkan aturan perpajakan. Termasuk untuk kelompok high net worth individual.
Terkait utang, kata Bhima, yang perlu diperhatikan adalah soal risiko terhadap kemampuan bayar pemerintah yang semakin menurun. Karena rasio utangnya meningkat, praktis akan berkorelasi terhadap beban bunga pinjaman.
”Nah, bunga pinjaman ini bisa meningkat ke depannya karena dua faktor. Yaitu, tren kenaikan suku bunga acuan dan inflasi,” jelasnya.
Faktor tersebut yang membuat bunga surat utang negara lebih mahal dibanding 2021. Artinya pemerintah harus bisa memanfaatkan utang lebih hati-hati. Dikelola untuk belanja yang sifatnya produktif. Harus ada pengetatan yang lebih terhadap belanja yang sifatnya birokrasi. (dee/han/jpg)