Benturan kepentingan, yang sering disebut sebagai konflik kepentingan, adalah setiap situasi yang berpotensi mengurangi independensi, ketakberpihakan, atau menimbulkan bias dalam diri seseorang. Salah satu sumber benturan kepentingan adalah hubungan afiliasi, baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan, maupun hubungan pertemanan.
Potensi Benturan Kepentingan
Hakim MK yang memiliki hubungan keluarga dengan presiden berpotensi mengalami benturan kepentingan dalam menjalankan tugas memeriksa dan memutus perkara. Benturan kepentingan pasti terjadi dalam memutus perkara pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum oleh presiden.
Selain itu, benturan kepentingan potensial terjadi pada perkara pengujian undang-undang (PUU), perkara yang paling banyak ditangani MK. Dalam perkara PUU, kedudukan normatif presiden memang adalah pihak pemberi keterangan sebagai bagian dari pembentuk UU bersama DPR.
Perkara PUU adalah perkara untuk mengadili norma yang ada dalam UU apakah bertentangan dengan UUD 1945. Perkara PUU tidak mengadili pembentuk UU sehingga kedudukannya adalah sebagai pemberi keterangan.
Namun, praktik perkara PUU menunjukkan kedudukan dan peran pembentuk UU, termasuk presiden yang diwakili kementerian tertentu, tidak hanya memberikan keterangan proses pembentukan dan makna suatu norma dalam UU yang diuji.
Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU selalu memosisikan diri mempertahankan norma yang tengah diuji. Bahkan, pembentuk UU tidak hanya menyoal keesuaian norma yang diuji terhadap UUD 1945, tetapi juga berupaya mematahkan permohonan dengan mempersoalkan legal standing pemohon dengan harapan permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam sejarah PUU, hanya ada satu perkara pembentuk UU setuju dengan permohonan pemohon, yaitu pada perkara pengujian UU Sisdiknas terkait anggaran 20 persen untuk pendidikan, termasuk gaji guru dan dosen. Dengan demikian, hakim MK, apalagi ketua MK, memiliki potensi benturan kepentingan jika punya hubungan keluarga dengan presiden.
Persoalan yang harus dijawab adalah apakah hubungan adik-kakak ipar antara hakim MK, apalagi ketua MK, dengan presiden merupakan bentuk hubungan keluarga yang menurut nalar wajar menimbulkan benturan kepentingan bagi hakim MK pada saat memeriksa dan memutus perkara.
Penilaian perlu dilakukan tidak hanya terkait dengan apakah hubungan itu dapat memengaruhi independensi dan ketakberpihakan hakim, tetapi juga apakah akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap independensi dan ketakberpihakan hakim dan MK.
Untuk menjawab keraguan itu, sebaiknya ketua MK mengajukan pertanyaan tertulis kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi. Dewan Etik juga dapat memeriksa dan memberikan pendapat karena persoalan ini telah menjadi perhatian publik.
Sekali lagi, yang menjadi soal adalah potensi benturan kepentingan pada saat hakim yang sekaligus ketua MK memiliki hubungan keluarga dengan presiden. Bukan soal rencana pernikahan yang sepenuhnya urusan privat individual. (*)