KITA baru rasakan nikmat Allah SWT yang kita terima, ketika seluruh fungsi tubuh sesuai peruntukannya. Sebaliknya, jika tubuh dan organ-organ yang ada tidak sesuai fungsinya, maka dia menjadi beban ekonomis yang besar.
Tidak terkecuali mata atas fungsi yang diberikan agar manusia bisa melihat. Kemudian dapat digunakan untuk bekerja, berkarya dan beribadah.
Betapa tidak, penulis mengalami rabun selama 4 bulan bukan karena disebabkan oleh katarak, atau lensa mata yang robek, namun karena tekanan yang tinggi akan syaraf menuju bola mata, aliran darah terganggu dan mengalami pendarahan.
Penyebab utama ada tiga. Diduga karena masalah gula, tensi yang tinggi atau kelelahan mata bekerja dan berfungsi. Akibat pendarahan mata, maka penulis mengalami penglihatan sisa sekitar 35 persen keduanya.
Rasanya hari demi hari berat dilalui. Kebiasaan menulis tidak bisa lagi. Membaca Al Quran atau opini di koran juga tidak bisa. Pegang komputer, tidak jelas apa yang akan digerakkan. Karena mata kabur ke kursor komputer.
Jika Xeroptalmia, kekurangan vitamin dan mineral bisa sebabkan munculnya katarak. Maka lemak bisa dibuang melalui bedah laser supermuderen. Sekitar 30 menit sudah selesai operasi.
Namun membersihkan bola mata dan dalamnya memerlukan waktu sekitar 45 menit lewat laser juga. Selama empat bulan tak bisa bekerja. Nilai pasarnya tidak terhingga tentunya. Belum termasuk istri yang setia menemani untuk membantu keperluan makan, aktifitas harian dan jalan. Sehingga kita perlu pendampingan.
Jika kita tidak punya BPJS, maka biaya operasi dan pemeriksaan privat akan besar taksiran sekitar Rp 30 juta hitangga Rp 40 juta per operasi. Namun jika memenuhi syarat BPJS maka kita tidak akan mengeluarkan uang dalam proses pengobatan dan operasi, kecuali opportunity cost.
Penulis bersyukur karena memiliki BPJS. Layanan Jakarta Eyes Center melalui dokter muda Joshua dan para pembantu beliau yang cekatan. SDM mata dan teknologi yang canggih.
Memang persiapan menjelang operasi sangatlah hati-hati. Namun jika sabar dan mau melalui dengan baik, maka masa operasi akan dilalui juga.
Persoalan mata tidak saja pada akses pengobatan, namun karena angka Xeropthalmia cukup tinggi dengan jumlah dokter spesialis mata yang ada sekarang antrian operasi bisa satu sampai dua bulan setelah semua pemeriksaan selesai.
Bagi penduduk yang mengalami masalah yang sama, maka pengobatan dengan memakai tanggungan BPJS akan memudahkan. Namun perlu pengorbanan dalam bentuk opportunity cost mengurus semua tahap pemeriksaan. Biaya transportasi dan pendamping memang tidak kecil kendatipun kita memiliki asuransi.
Kedepan, pengalaman merasakan bagaimana nikmatnya mata maka pemerintah sebaiknya memacu menambah jumlah dokter spesialis. Dan kemudian menetapkan sistem insentif agar dokter spesialis mata mau tinggal dan bekerja di daerah yang jauh dari kota.
Riset kedokteran dan teknologi masih sangat relevan ke depan, karena akan membuat kebahagiaan dirasakan kembali oleh mereka yang sukses melalui proses operasi. Sepertii yang penulis rasakan. (Elfindri, Dir SDG center Unand)