Seribu Satu Malam di Bali

SARAS DEWI

Dosen Filsafat Universitas Indonesia.

Bali memiliki ribuan persona. Ia adalah pulau para dewata, tempat bersemayamnya para dewa-dewi di antara bukit karang yang megah. Ia adalah lagu yang kekal dinyanyikan, tentang Pantai Kuta dan kenangan indah para kekasih.

BALI adalah impian yang tak berakhir, tentang spiritualitas, adat, senandung alam, namun pada saat yang bersamaan, Bali juga mengenai kenikmatan, sanggraloka mewah, dan pesta yang berlangsung sepanjang malam. Bali adalah banyak hal, begitulah turisme Bali dipasarkan. Jarang terpikirkan apakah Bali itu bagi orang-orang Bali yang menghidupi tradisi dan budaya di tempat itu?

Pertanyaan ini muncul sebab orang-orang Bali tengah berada di titik kulminasi menghadapi tindakan-tindakan buruk para wisatawan. Meski, fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru.

Semenjak dulu orang-orang Bali harus menelan pahitnya akibat dari pariwisata yang lepas kendali. Berbagai macam problem sosial dan ekologi menjadi imbas dari proses pariwisata semacam ini, mulai konflik sosial antara warga lokal dengan para wisatawan, kesenjangan sosial, penyerobotan ruang hidup, krisis air, alih fungsi lahan-lahan hijau, hingga eksploitasi budaya Bali itu sendiri. Budaya Bali dalam konteks komersialisasi demi pariwisata kerap ditampakkan sebagian saja, bahkan sebatas di permukaan semata. Bali ditampilkan sebagai yang eksotis, indah, misterius memikat para pengunjungnya.

Padahal, budaya Bali secara holistik amat kompleks dan sarat akan nilai interkoneksi antara manusia dengan alam dan sisi kerohaniannya. Inilah yang saya pelajari dari budayawan dan pakar Subak, Prof I Wayan Windia, bahwa budaya pertanian di Bali adalah gabungan yang anggun antara kegiatan religi, ekonomi, dan sosial-ekologi. Pariwisata dewasa ini telah mereduksi budaya Bali menjadi teramat sempit. Ironisnya, semakin menyebabkan orang-orang yang memikul praktik kebudayaan tersebut terasing dan terpinggirkan. Budaya dikemas menjadi komoditas yang tidak lagi memiliki kedalaman makna maupun kepekaan pada masyarakat penghayatnya.

Larangan dari kepolisian untuk mengunggah gambar ataupun video perilaku buruk para wisatawan di media sosial, bahkan ancaman dijerat dengan UU ITE, adalah bukti ditelantarkannya aspirasi dan kekecewaan warga Bali.

Menurut pandangan saya, viralnya sikap buruk para wisatawan di penjuru media sosial adalah bentuk letupan emosi dan protes yang selama ini tidak dihiraukan. Alih-alih memperkuat regulasi dan penegakan hukum yang menjamin perlindungan terhadap budaya, lingkungan hidup, dan masyarakat adat di Bali, yang terjadi justru tersingkirnya suara warga demi citra pariwisata yang sebenarnya hampa.

Baca Juga:  Momentum Hari Tani Nasional, Saatnya Petani Berkembang dan Berdaya

Eksploitasi melalui pariwisata sebenarnya sudah berlangsung semenjak tahun 1920-an di Bali, senapas dengan romantisisme berikut angan-angan kolonial tentang Hindia yang molek. Tidak mengherankan, pola pariwisata ini menjadi cetakan –semacam arketipe, apa yang diimajinasikan tentang Bali.

Sekali waktu, di sebuah museum saya memandang lukisan yang menggambarkan warisan dan juga leluhur orang Bali. Tampak seorang gadis yang memegang bokor –sebuah wadah yang terbuat dari logam, berisi bunga dan janur. Gadis itu dibalut kain yang berwarna cerah; hijau, biru, dan emas, tetapi entah mengapa wajahnya sembilu. Saya menyadari, melampaui bingkai emas dan sorotan cahaya yang memperkuat mistifikasi tentang Bali di ruang prestisius itu, gadis itu adalah objek. Bali adalah objek yang senyap.

Freya Higgins-Desbiolles, seorang pengkaji pariwisata, berpendapat bahwa perilaku tidak terpuji dan semena-mena para wisatawan yang terjadi di berbagai wilayah wisata di dunia adalah petanda permasalahan serius dalam industri pariwisata.

Acapkali, gagasan tentang liburan adalah orang-orang diperbolehkan berbuat bebas dan dipermaklumkan saja. Sebab, wisata lekat kaitannya dengan hedonisme murni. Sedangkan menjadi seorang wisatawan tidak serta-merta meluputkannya dari tanggung jawab, yakni bersikap menghargai terhadap adat istiadat setempat.

Banyak sekali contoh yang terjadi belakangan ini di Bali; wisatawan berkendara serampangan membahayakan dirinya dan orang lain, atau memasuki ruang sakral dengan sembarangan, berseteru dan menggunakan kekerasan. Higgins-Desbiolles menduga, kejadian-kejadian semacam itu disebabkan oleh pembiasaan bahwa pariwisata menjual citra, suatu ilusi bahwa segala kepuasan yang tidak terbatas itu diperbolehkan. Wisatawan yang memosisikan dirinya sebagai konsumer seolah-olah memiliki hak istimewa (entitlement) untuk melakukan apa saja tanpa konsekuensi.

Memang terasa sulit mendedah tentang pariwisata. Sebagai orang Bali saya pun tumbuh di lingkungan sanak saudara yang menghidupi kesenangan dan tantangan mengelola usaha wisata. Higgins-Desbiolles mengusulkan pemahaman tentang wisata yang membuka percakapan dan ketersalingan berbagi cakrawala antarsubjek daripada voyeur searah, yang dapat mempertajam bias sepihak.

Berwisata seharusnya dapat menjadi kesempatan bernilai untuk menyaksikan secara langsung kehidupan yang beragam untuk belajar tentang keunikan berbagai budaya, terlebih berperan serta menjaga dan melestarikan keindahan dan keragaman itu sebagai bagian dari penduduk dunia. (*)