Menunggu Kejutan Pidana Mati

Erianto N Koordinator pada Kejati Kalteng/Dosen Universitas Pancasila Jakarta.

Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin akan mengkaji tuntutan mati untuk pelaku mega korupsi dana PT Asabri Rp 22,78 triliun yang juga pelaku korupsi PT Asuransi Jiwasraya Rp 16 triliun di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah ternyata bukan pencitraan, lips service setelah tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat dibacakan Senin 6 Desember 2021.

Sebelum tuntutan dibacakan, Jaksa Agung memerintahkan jajarannya mengkaji bersama akademisi termasuk melaksanakan webinar di Universitas Palangka Raya, Universitas Jenderal Soedirman dan Universitas Diponegoro.

Terkait tuntutan mati, muncul perdebatan terkait hukuman mati koruptor ini; Pertama, tuntutan hukuman mati di luar ancaman pasal dakwaan di mana jaksa mendakwa Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dengan ancaman maksimal pidana seumur hidup sedangkan ancaman pidana mati termuat dalam Pasal 2 Ayat (2) sehingga bila majelis hakim mengabulkan terjadi putusan diluar dakwaan (ultra petita); Kedua, perdebatan mengenai makna pengulangan sebagai bagian dari keadaan tertentu alasan pemberatan pidana dalam UU Tipikor dibandingkan dengan nebis in idem dalam KUHP.

Putusan Ultra Petita

Dari segi hukum ultra petita dimaknai penjatuhan putusan oleh majelis hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan penuntut umum sementara dalam hukum perdata melebihi apa yang diminta didalam surat gugatan.

Menurut Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) Rbg dengan bunyi substansi sama “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. Dengan keluarnya KUHAP tahun 1981 maka HIR sepanjang hukum acara pidana sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai dengan cita cita hukum nasional

Terkait putusan maka Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP menjelaskan pengambilan keputusan oleh hakim dilakukan dalam musyawarah yang didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.

Selanjutnya, Pasal 191 ayat (1) KUHAP sangat tegas menyebut “jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang”, begitu juga terkait putusan pemidanaan juga disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP memuat “Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”.

Dengan demikian tegas sekali dasar hakim mengambil keputusan bukan hanya surat dakwaan namun yang lebih utama fakta-fakta hukum yang terungkap selama persidangan.

Dalam praktik peradilan terdapat beberapa putusan di luar tuntutan seperti Putusan PN Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi dituntut Pasal 338, Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP diputus Pasal 170 ayat (1) KUHP, Putusan PN Surabaya an.

Idris Lukman didakwa UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 114 ayat (1), Pasal 112 ayat (1) dibuktikan hakim Pasal 127 ayat (1) yang dikuatkan MA Nomor 810/K.Pid.sus/2012 “putusan judex facti dapat dibenarkan dalam rangka kemanfaatan serta keadilan putusan”.

Lainnya Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Nomor: 17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST An. Susi Tur Andayani didakwa UU Tipikor secara kumulatif, Pasal 12 huruf c terkait suap melibatkan M Akil Mochtar dan TB Wardhana untuk memenangkan calon Bupati Lebak 2013-2018 Dan Pasal 12 huruf c terkait suap M. Akil Mochtar selaku hakim konstitusi atas Rekapitulasi Perhitungan Suara Tingkat Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2010. Ternyata hakim memutus Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 yang dikuatkan sampai tingkat kasasi.

Baca Juga:  Pengembangan Kapasitas Kepemudaan melalui Workshop Branding & Digital Marketing

Dari beberapa putusan pengadilan di atas maka polemik putusan ultra petita tidak relevan lagi karena KUHAP sendiri tegas menyebutkan “hakim memutus berdasarkan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang” selama putusan masih dalam kerangka mewujudkan tujuan penegakan hukum berupa kepastian, keadilan, dan manfaat.

Bahkan sebagaimana gagasan Satjipto Rahardjo, asas ultra petitum partium yang terdapat dalam HIR dan RBg dapat diberikan pemaknaan lain dengan menggunakan teknik-teknik penemuan hukum guna mendapatkan keadilan yang sesuai dengan keadilan dalam masyarakat.

Polemik Pengulangan Korupsi

Tuntutan pidana mati sesuai UU Tipikor pernah sekali terjadi terhadap pembobol Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun oleh Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata atau Dicky Iskandar Dinata selaku Dirut PT Brocolin Indonesia yang menerima kucuran hasil pembobolan Bank BNI Tahun 2006 dan berstatus residivis korupsi di Bank Duta namun majelis hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 20 tahun.

Dalam UU Tipikor terkait pidana mati Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” di mana keadaan tertentu dimaksud sesuai penjelasan adalah “keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”

Permasalahannya apakah pengertian Residiv dalam KUHP bisa ditarik kepada pengertian pengulangan dalam UU Tipikor? Bila dikaji sistematika penulisan KUHP maka residiv diatur Pasal 486 sampai Pasal 488 dalam buku II sementara ketentuan yang memungkinkan pemberlakukan ketentuan KUHP kepada undang-undang khusus.

Termasuk UU Tipikor adalah Pasal 103 KUHP dan itu hanya untuk pemberlakuan ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP saja yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Dengan demikian maka pengulangan tindak pidana dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak memiliki dasar yang kuat ditafsirkan sebagaimana residiv dalam KUHP. Tinggal Menunggu Hari Putusan Hakim Tipikor Jakarta dalam kasus mega korupsi Asabri atas terdakwa Heru Hidayat sekaligus terpidana seumur hidup korupsi Jiwasraya tinggal menunggu hari.

Merujuk Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang sejalan dengan maksud pasal-pasal dalam KUHAP di atas, di mana “hakim memutus berdasarkan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang” sehingga hakim memiliki kebebasan memutuskan pidana yang dijatuhkan.

Apapun putusan nanti tentu akan menjadi cermin arah penegakan hukum korupsi dan menyedot perhatian publik mengingat puluhan triliun yang dikorupsi dengan modus canggih, merusak pasar modal dan perekonomian, banyak korban apalagi putusan mati belum pernah terjadi.

Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa menambah pemahaman bersama sambil menunggu ketuk palu progresif yang mulia sebagaimana ketuk palu progresif dalam memberi “makna baru terhadap pemufakatan jahat korupsi” dalam korupsi Djoko Tjandra yang sebelumnya mental dalam kasus “papa minta saham”. Wassalam. (*)