Irnilda Zenti ST MM, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Muda, Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi
Beberapa tahun belakangan, mata uang kripto memang sedang naik daun. Walaupun pada awalnya mata uang kripto ditujukan sebagai alat tukar untuk transaksi yang dilakukan secara online, saat ini telah menjadi salah satu instrument investasi yang sedang disukai oleh para kaum milenial.
Salah satu kelebihan dari mata uang kripto ini adalah transfer yang cepat dan profit investasi yang sangat besar. Sebagai contoh investasi Ethereum pada Desember 2019 dengan harga US $129, pada November 2021 melambung menjadi US $4.600. Hal ini menggambarkan bagaimana menguntungkannya berinvestasi pada aset ini. Walaupun selama Tahun 2022 harga kripto mengalami koreksi negatif yang cukup signifikan contohnya ethereum pada Desember 2022 turun hingga di posisi US $1.183,58, namun tetap memberikan imbal yang cukup signifikan.
Menurut wikipedia mata uang kripto adalah aset digital yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan dan mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset. Atau menurut investopedia, mata uang kripto merupakan mata uang digital yang dijamin dengan kriptografi yang membuatnya hampir tidak mungkin untuk dipalsukan atau dibelanjakan ganda.
Kriptografi sendiri sudah dikenal sejak zaman perang dunia ke II, ketika Jerman memakai kriptografi untuk mengirimkan kode-kode rahasia agar tidak mudah dibaca oleh pihak sekutu.
Permulaan adanya mata uang kripto, dimulai pada saat David Chaum ahli kriptologi Amerika Serikat menciptakan uang elektronik kriptografi yang disebut e-cash di Tahun 1983. Dan diimplementasikan melalui Digicash pada Tahun 1995 sebagai bentuk awal pembayaran elektronik kriptografi. Dalam praktiknya, pengguna digicash memerlukan perangkat lunak yang digunakan untuk menarik catatan dari bank dan menunjuk kunci terenkripsi tertentu sebelum dapat terkirim ke penerima. Adanya kunci ini memungkinkan mata uang digital tidak dapat dilacak oleh bank penerbit, pemerintah ataupun pihak ketiga manapun.
Dalam perjalanannya Tahun 1996 Badan Keamanan Nasional milik Amerika Serikat (NSA) menerbitkan makalah yang terpublikasi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) berjudul How to Make a Mint : the Cryptography of Anonymous Electronic Cash. Kemudian ilmuwan Wei Dai, Hal Finney dan Nick Szabo mencoba membuat system mata uang kripto, namun belum ada yang behasil secara luas.
Baru di Tahun 2008 ilmuwan Jepang bernama Satoshi Nakamoto menerbitkan buku yang berjudul Bitcoin : A Peer to Peer Electronic Cash System, dan dalam tulisannya dideskripsikan bahwa proyek asset uang kripto merupakan sebuah system pembayaran elektronik yang berlandaskan bukti kriptografi dan bukan hanya berlandaskan kepada kepercayaan. Setahun kemudian pertama kali dirilis mata uang kripto terdesentralisasi, yang sekarang dikenal dengan nama Bitcoin.
Bitcoin mendapat dukungan dari para pelaku kriptografi karena desainnya memungkinkan fitur kepemilikan dan pemindahan kekayaaan tanpa identitas (anonymous), dapat tersimpan di computer pribadi atau layanan dompet digital dari pihak ketiga, dapat terkirim lewat internet kepada siapa saja yang mempunyai alamat bitcoin, serta dengan menggunakan topologi peer to peer yang mengakibatkan data transaksi ini tidak dapat dimanipulasi oleh pemerintah atau pihak otoritas.
Awalnya banyak negara menentang keberadaan mata uang kripto ini termasuk Indonesia, namun sejak 9 Februari 2019 dengan diterbitkannya Peraturan Bappebti nomor 5 Tahun 2019 oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas maka Bitcoin dan jenis kripto lainnya bisa diperjualbelikan di bursa berjangka komoditas Indonesia. Hingga saat ini sudah 229 aset investasi kripto dari setidaknya 10.000 jenis asset kripto yang diperdagangkan, telah terdaftar di badan ini.
Namun karena asset digital ini bukan merupakan produk industri keuangan maka Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak mengakui mata uang kripto sebagai alat pembayaran di Indonesia seperti dinyatakan dalam Press Conference BI No.16/6/Dkom, 2014.
Walaupun mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah namun sebagai asset, kripto dapat dicairkan menjadi uang tunai agar dapat dibelanjakan. Pencairan kripto dilakukan dengan cara menjual sesuai dengan nilainya dalam satuan mata uang yang berlaku pada saat penjualan dan uang hasil penjualan dapat langsung dikirim ke rekening pemilik.
Aset kripto sempat dipersepsikan sebagai emas digital yang nilainya dinamis, namun saat ini melihat kondisi makroekonomi yang masih memburuk dan pergerakan kripto yang begitu fluktuatif para investor ritel cenderung untuk tidak mempertahankan kripto dalam jangka waktu yang lama. Untuk mendapatkan keuntungan yang optimal maka kepemilikan kripto bisa dimiliki hanya dalam hitungan detik sejak pembelian, untuk kemudian dijual kembali.
Mengutip dari Detikfinance berikut adalah kanal-kanal penjualan kripto; Pertama adalah Plaform Penukaran Kripto, platform ini menyediakan layanan transaksi kripto yang dapat diakses oleh pemilik asset kripto dengan cara masuk pada menu penjualan kripto, dan nilai penjualan sesuai nilai yang berlaku di waktu transaksi. Bila transaksi berhasil uang hasil penjualan bisa langsung dikirimkan ke rekening bank; Kedua ATM Bitcoin, berbentuk seperti ATM perbankan pada umumnya, namun tidak dapat diakses dengan kartu debit tapi dengan cara memindai kode QR untuk terhubung dengan dompet digital tempat pengguna menyimpan asset bitcoin; Ketiga transaksi peer to peer (P2P), transaksi ini dimungkinkan karena antar pemilik dompet bitcoin dapat terhubung dan dapat melakukan transaksi melalui jaringan P2P.
Transaksi penjualan bitcoin atau kripto lainnya dilakukan dengan cara menentukan harga kesepakatan antara penjual dan pembeli, selanjutnya pembeli membayar secara tunai atau transfer ke rekening bank kemudian penjual melepas asset kripto ke akun pembeli. Beberapa platform sudah tersedia di Indonesia untuk mempermudah transaksi trading kripto secara realtime. Platform dimaksud dapat diakses melalui computer maupun smartphone bahkan sudah tersedia juga yang mendapat izin dari Bappebti.
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan nomor 68/PMK.03/2022 dinyatakan bahwa penyerahan asset kripto oleh penjual, jasa penyedia sarana elektronik oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elekttronik (PMSE) dan Jasa verifikasi transaksi asset kripto dan/atau jasa pengelolaan kelompok penambah kripto oleh pihak penambang dikenakan PPN dengan besaran tariff yang berbeda. Hal ini menegaskan bahwa asset kripto adalah Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Tarif PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi kripto dikenakan atas transaksi jual beli pada platform yang terdaftar di Bappebti. Bila tidak terdaftar maka dikenakan PPN sebesar 0,22%.
Untuk penyerahan jasa oleh PMSE maka PPN dikenakan sesuai dengan tariff PPN dikalikan DPP. Dasar Pengenaan Pajaknya adalah sebesar komisi atau imbalan yang diterima oleh PMSE.
Selain itu untuk penambang kripto, atas penyerahan jasa yang dilakukan dikenakan tariff 10% kali Tarif PPN dikali dengan nilai uang atas kripto yang diterima oleh penambang.
Atas penghasilan dari penjualan asset kripto maka investor akan dikenakan PPh Pasal 22 bersifat final dengan tariff sebesar 0,1% dari nilai transaksi kripto bila Platform terdaftar di Bappebti, namun bila bukan maka dikenakan tarif 0,2%.
Tidak ada gading yang tek retak, selama investor mengetahui resiko suatu investasi secara menyeluruh, maka jenis investasi apapun akan bisa diperhitungkan keuntungan dan kerugiannya. Sehingga dapat diminimalisir resiko yang akan dihadapi. Selamat berinvestasi. (***)