Bumerang Pendidikan setelah Merebaknya Covid-19

252

Awal pembentukan menteri kabinet di akhir Oktober tahun lalu, seakan ada angin segar yang mengalir begitu deras. Sistem Pendidikan Nasional terpacu di bawah komando Mendikbud Nadiem Makarim. Era yang mulai masuk dalam tantangan era tantangan globalisasi, dituntut untuk menghasilkan SDM yang mampu menguasai teknologi. Orientasi metoda edukasi pendidikan, yang mengandalkan rumusan kurikulum, dianggap mampu menjawab tantangan itu, meski masih banyak kendala yang belum terselesaikan secara tuntas.

Pelbagai wacana mengemuka dalam konteks penyempurnaan sistem pendidikan nasional yang berkualitas. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebetulnya telah merumuskan uji standar yang berlaku untuk Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) tahun 2019/2020. Ini dituangkan dalam Prosedur Operasional Standar (POS) Penyelenggaraan Ujian Nasional tahun 2019/2020. Ini tentunya mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pemberlakuan kurikulum Tahun 2013 (K-13), dianggap sebagai kurikulum terbagus dalam jenjang pendidikan nasional. Dimana kurikulum ini setiap tahun mengalami revisi penyempurnaan, dan dapat dikembangkan dengan beberapa metoda pembelajaran yang lebih efektif. Sehingga output (hasil) pendidikan dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Mengingat tantangan yang dihadapi dunia pendidikan yang semakin komplek. Pendidikan sudah berorientasi pada era globalisasi.

Pada beberapa tahun silam, Presiden Jokowi pernah menyampaikan tentang semangat untuk membangun negara dan bangsa dalam tema “Holopis Kuntul Baris”, yang dimaknai sebagai kebersamaan membangun dengan semangat gotong royong. Ini tentunya bukan sekadar peletakan sebuah retorika, tetapi bagaimana prinsip ini secara berkesinambungan diterapkan untuk membangun bangsa. Pendidikan yang kuat tentunya akan menghasilkan sebuah generasi yang kuat, yang mampu menjawab tantangan zaman.

Kita tak mampu menghindar ketika musibah datang dengan tiba-tiba, meski dalam pengamatan beberapa pihak, pemerintah dianggap cukup lamban dalam penanganan wabah virus corona. Tetapi hal ini cukup dilematis, mengingat penyebaran virus ini populasinya sangat cepat dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di saat para peserta didik mulai bersiap untuk menghadapi Ujian Nasional (UN). Semua program pendidikan menjadi terbengkalai. Banyak yang terjebak dalam silang pendapat dan opini, hingga orang sekelas menteri, Nadiem Makarim, tak mampu membuat kebijakan pendidikan secara tepat dan cepat.

Politisasi masalah yang terkait penyebaran virus korona, seperti menjadi benang merah dalam menguraikan bagaimana sebaiknya sebuah kebijakan sistem pendidikan dilaksanakan. Jika ini terjadi diumpamakan sebagai bencana alam, tentu kita harus melihat sisi regulasi hukum yang mengikat. Apakah status pendidikan harus dihentikan karena dianggap sebagai status force majeur? Bukan untuk berandai-andai, jika misalnya proses pendidikan tetap dilakukan tanpa memperhitungkan atau mengabaikan kondisi khusus, apakah ada yang mampu menjamin penyebaran virus korona dapat diatasi begitu saja?

Baca Juga:  Maklumat Dua Tahun Mahyeldi-Audy

Ada beberapa ketetapan hukum yang mungkin harus dipertimbangkan dalam nalar logika sehat dan bijak. Pemberlakuan prinsip-prinsip humanisme (kemanusiaan) harus jalan bersama dengan pembenaran ilmu dan juga hukum agama. Kasus penanganan Covid-19 dalam metoda ilmu memang lebih relevan dengan penanganan medis. Ini tentunya akan sangat menguras pikiran dan tenaga. Ini sangat urgen dan dengan segala keterbatasan berbagai pihak seharusnya pihak pendidikan turun berperan-serta dalam menyosialisasikannya ke masyarakat. Asumsi anggaran pendidikan yang tidak terpakai dalam pelaksanaan Ujian Nasional, seharusnya bisa dialokasikan untuk pembiayaan penanganan virus korona.

Menyoal tentang pendidikan yang mengalami jedah waktu, bukan berarti kita harus meninggalkan tujuan dari kurikulum nasional. Seyogyanya, interaksi pembelajaran yang saat ini tidak dapat dilakukan secara formal, harus mampu memberi jaminan tentang nilai ukur, terhadap standar output pendidikan. Disini kita melupakan, bagaimana penyelesaian tugas-tugas administrasi kurikulum. Beban guru dan siswa, terutama dalam beberapa waktu ke depan sulit untuk menunjukkan grafik parameter pendidikan.

Bagaimana mungkin kita bisa mengukurnya, jika metoda pembelajaran dilakukan secara sepihak. Cukup belajar dari rumah. Tetapi pada sisi ini, kita tidak boleh mengambil sebuah kesimpulan, seolah-olah guru pada posisi yang diuntungkan. Dalam gambaran masyarakat, tentu juga akan sulit menerima kondisi semacam ini. Karena beberapa tahun, kita selalu beranggapan dalam paradigma yang salah, seolah-olah peningkatan kecerdasan siswa/anak didik adalah tanggungjawab pendidikan formal.

Sungguh bumerang bagi sistem pendidikan nasional kita, tetapi mungkin masa ini menjadi riwayat catatan bagi generasi baru. Ada beberapa hal, yang tidak bisa dipecahkan secara rasionalisasi logika, tetapi sisi positif bagaimana hal ini menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi masa depan pendidikan. (*)

*Ovito Prasetyo – Pegiat Sastra dan Peminat Budaya, tinggal di Malang