Urgensi Pendidikan Bagi Kemaslahatan Bersama

27
Abdul Aziz Pengamat Ekonomi dan Teknologi

SUATU hal yang sangat menarik di negara tetangga Malaysia adalah bagaimana negara memperlakukan penduduk aslinya (orang Melayu) dalam bidang ketenagakerjaan. Mayoritas penduduk asli Malaysia dipekerjakan pada sektor-sektor formal di pemerintahan.

Menjadi pegawai pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara adalah target utama penduduk asli Malaysia. Kita tidak akan menjumpai penduduk asli Malaysia yang menjadi satpam, pekerja bangunan gedung, tukang apalagi sebagai petugas cleaning service.

Paling rendah, masyarakat asli Malaysia bekerja menjadi pada pelayan-pelayan pada supermarket dan mall. Negara Kerajaan Malaysia telah mem-ploting jenis pekerjaan tertentu yang bukan untuk penduduk asli mereka.

Para pekerja kasar diambil dari pekerja migran dari negara lain sebagai TKA. Tenaga pengamanan (satpam) diambil dari warga negara Bangladesh, India dan Nepal. Pekerja perkebunan dan bangunan, cleaning service dan bahkan sebagian besar pembantu rumah tangga diadatangkan dari Indonesia.

Banyak juga warga negara asal India dan Tiongkok lebih memilih membuka restoran dan kuliner yang buka dari pagi sampai larut malam. Potensi ini mereka manfaatkan karena kurangnya keberadaan tempat-tempat makan yang beroperasi sebagai tempat pilihan sarapan pagi dan makan malam setelah melewati pukul 21.00.

Kita juga banyak menemukan banyak tenaga kerja berpendidikan tinggi asal Indonesia yang bekerja di Malaysia. Lulusan strata-1 dengan pengalaman 2 tahun dan fasih berbahasa Inggris memiliki penghasilan RM 8.000-10.000 yang cukup memuaskan dibandingkan bekerja di sektor industri di bawah BUMN di Indonesia.

Mereka-mereka yang bekerja tersebut, rata-rata berasal dari universitas terkemuka di Kerajaan Malaysia seperti UTM, UUM dan lainnya. Ada juga yang berasal dari perguruan tinggi di Indonesia namun memang mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan TOEFL di atas 500.

Negara Malaysia memang tidak memiliki banyak perusahaan industri manufaktur baik yang dikuasai negara ataupun pihak swasta yang berasal dari investor asing. Salah satu industri manufaktur yang banyak memegang peranan penting bagi ekonomi Malaysia adalah sektor perkebunan sawit, serta pengolahan CPO.

Kantor-kantor perusahaan asing, lebih banyak hanya sebagai pusat pengendali perusahaan mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara. Di samping berkantor di Singapura, perusahaan asing juga lebih senang berkantor di Kuala Lumpur. Pertanyaannya, mengapa mereka tidak berkantor di Indonesia yang merupakan sebuah negara yang tergolong kepada negara besar?

Baca Juga:  Kendaraan Listrik Masih Sebatas Lifestyle

Jawaban sementara terhadap hipotesis di atas adalah, pertama, kurangnya kemampuan berhasa Inggris yang dimiliki penduduk Indonesia. Kedua, rendahnya kualitas pendidikan rata-rata masyarakat Indonesia.

Ketiga, kurangnya perhatian negara terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Dan keempat, rendahnya dorongan negara terhadap keharusan untuk mendapat pendidikan tinggi bagi warga negaranya.

Lantas, apa solusi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dalam bidang SDM dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, serta kemajuan sosial ekonomi? Jawabnya, “Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri dengan fasilitas pendidikan dan perguruan tinggi.

Pemanfaatan dana CSR dari seluruh pelaku industri dan perusahaan di Indonesia merupakan sumber dana potensial yang bisa dikelola dan dimanfaatkan sebagai sumber dana subsidi untuk menempuh pendidikan tinggi bagi para mahasiswa berprestasi.

Kerja sama para dosen tingkat doktoral dengan kalangan industri juga potensi yang sangat penting untuk dimanfaatkan demi kemajuan manajemen dan teknologi. Para mahasiswa fresh graduate bisa dimanfaatkan kalangan industri sebagai ikatan kerja untuk bekal pendidikan jenjang doktoral bagi mereka.

Tanpa pengalaman yang mumpuni, sepertinya untuk studi S-3 sangat maksimal hasilnya bagi mahasiswa. Pemanfaatan dan kolabirasi antara kalangan industri, perguruan tinggi dan pemerintah menjadi sangat penting untuk dikelola dengan baik.

Keharusan itu tercermin dari betapa pentingnya peran nagara dalam mengejar semua ketertinggalan sektor ekonomi dan sosial melalui peningkatan kemampuan SDM-nya. Kerja sama itu kebutuhan mendasar untuk menjawab pertanyaan di atas.

Tentunya, tahun 2030 mendatang Indonesia benar-benar bisa menggapai cita-cita bangsa sebagai negara berkekuatan ekonomi dan teknologi terbesar di Asia bisa terwujud yang diawali dengan pembinaan kemampuan SDM dan manajerial.

Tak bisa hanya rencana tanpa aksi nyata dari kolaborasi antara kalangan industri, pemerintah dan perguruan tinggi, jika bangsa ini tak ingin digilas kerasnya roda era technology 4.0 dan society 5.0. (*)