SEKALIPUN tahun berganti, pemberitaan mengenai kekerasan seksual seakan tidak pernah berhenti menceritakan hal-hal baru. Kasus-kasus yang memuat konten pornografi, ironisnya bisa menghinggapi siapapun terlepas dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, maupun lingkungan pergaulannya.
Padahal, aturan-aturan yang disusun untuk mencegah hal-hal seperti itu telah cukup lama diberlakukan melalui Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hanya saja, tak jarang aturan hanyalah aturan, yang implementasinya tidak kuat membentuk karakter maupun perilaku yang menjauhkan diri sebagai tersangka maupun korban kekerasan seksual.
Pertanyaannya yang muncul adalah kenapa seseorang bisa begitu kecanduan terhadap konten pornografi itu? Aturan yang disusun untuk mengatur perilaku manusia, tentu sebaiknya berangkat dari menjawab pertanyaan bagaimana perilaku tersebut bisa muncul.
Acara berjudul Elaborasi (Eranya Ngobrolin Public Policy) dengan tema “Kebijakan Pendidikan dalam Mencegah Adiksi Pornografi pada Anak” yang diselenggarakan oleh BRIN di hari pertama Maret 2023 mengingatkan saya kepada penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu empat tahun dari tahun 2018.
Pada tahun itu, saya dipertemukan oleh Ibu Elly Risman, seorang psikolog yang perjuangannya di bidang parenting begitu dikenal, pertama kalinya di KemenPPPA. Di sanalah saya tahu dan terbuka mata, betapa mengkhawatirkannya realita di lapangan banyaknya para pelajar yang sesungguhnya telah kecanduan terhadap konten pornografi.
Guna mengedukasi masyarakat akan bahaya konten-konten tersebutlah, maka pada saat itu kami membentuk konsorsium untuk menguak pemetaan otak para remaja yang terindikasi adiksi terhadap konten pornografi tersebut.
Pelaksanaan penelitian yang didukung penuh oleh Kemenristekdikti nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Kesulitan pertama justru muncul pada definisi adiksi pornografi itu sendiri. Sekalipun penelitian mengenai adiksi pornografi telah ada sejak Tahun 2010 (Hilton, 2010), penamaan penyakit adiksi pornografi itu hingga saat ini belumlah ada.
Hal ini pula yang menjadikan tim kami berkali-kali menghadapi ronde dengan para reviewer kala men-submit manuskrip agar bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional terindeks Scopus hanya untuk mempertahankan kriteria adiksi yang kami gunakan (Prawiroharjo dkk, 2019).
Permasalahan berikutnya adalah, penyaringan partisipan berdasarkan kriteria inklusi maupun eksklusi yang tim peneliti tentukan. Dikarenakan pemetaan otaknya menggunakan instrumen pencitraan otak berupa EEG (electroencephalography) dan FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging), maka mereka-mereka yang terindikasi adiksi pornografi sama sekali tidak boleh memiliki riwayat ataupun penyakit penyerta yang menjadikan hasil pemeriksaan itu bias.
Sungguh kesulitan luar biasa yang harus dihadapi tim peneliti pada saat itu. Pada akhirnya, dari tiga ratusan partisipan yang disaring, didapatkan lah jumlah partisipan yang memadai untuk kami analisis.
Satu fakta pertama menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya kecenderungan mereka-mereka yang terindikasi adiksi tidak mudah terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para peneliti.
Fenomena faking good, suatu kondisi dimana pihak yang diwawancara memberikan jawaban sebegitu rupa agar mendapat kesan positif dari pewawancara, lazim diperlihatkan oleh para partisipan kala ditanya tentang kebiasaannya menonton konten porngrafi (Izdihar dkk, 2019).
Hal ini rasanya bisa dimaklumi, karena bahasan konten pornografi masih dianggap tabu. Padahal, hal yang dianggap tabu itu jika tidak diedukasi dengan baik, yang akan muncul hanyalah penyalahgunaan belaka.
Fakta menarik berikutnya yang kami temukan dari penelitian ini, dengan dukungan kesabaran dan tindakan persuasif para psikolog yang menjadi tim peneliti, bahwa mereka-mereka para pelajar yang mengalami adiksi, tidak mendapatkan konten-konten tersebut secara mandiri.
Mereka mendapatkannya dari lingkungan-lingkungan pergaulannya seumuran utamanya dari sekolah-sekolah. Apa yang bisa kita petik dari fakta ke dua ini? Bahwa upaya penguatan karakter agar seseorang khususnya pelajar tidak terjerumus pada adiksi, perlu dilakukan secara menyeluruh melalui tata kelola pendidikan di sekolah.
Masa remaja, maupun anak, adalah masa di mana mereka mempelajari sesuatu itu salah atau benar berbasiskan social proof lingkungan sekitarnya. Jika teman-teman pergaulannya sudah menganggap biasa saja menonton adegan vulgar tak pantas, menjadi hal yang wajar belaka jika mereka pun nantinya akan kecanduan.
Kembali ke pemetaan otak dengan EEG, apa yang ditemukan? Aktivitas otak mereka yang terindikasi adiksi dengan mereka yang bebas adiksi dilakukan dalam kondisi resting state, tidak diberikan stimulasi tontonan konten pornografi.
Hal ini perlu dilakukan agar penelitian yang dilakukan selain ilmiah, namun juga etis. Adapun regio otak yang kami fokuskan analisisnya adalah otak depan, tepatnya di bagian yang dinamakan sebagai prefrontal cortex.
Jika rekan-rekan menyentuh alis, persis di atas alis itulah, yang kadang kala kita menyebutnya dahi, jidat, atau kening, tempat di mana lapisan luar otak sisi depan tersebut berada. Pusat berpikir manusia baik itu imajinasi atau rasionalitas, semuanya terpusat di sana.
Sedangkan untuk gelombang otak, yang lazimnya terdiri dari gelombang delta, theta, alpha, beta, dan gamma, kami tim peneliti memusatkan analisisnya pada gelombang delta dan gamma saja. Bagaimana hasilnya?
Sesuai yang diprediksi, kami tim peneliti menemukan adanya dominansi gelombang delta dan gamma pada regio prefrontal cortex, di mana hal serupa tidak ditemukan sama sekali pada kelompok non adiksi (Amilah dkk, 2021).
Adanya dominansi gelombang gamma di prefrontal cortex pada kondisi resting state menunjukkan adanya perilaku impulsif pada diri seseorang (Choi dkk, 2013). Sedangkan dominasi gelombang delta pada kondisi yang sama menunjukkan penurunan fungsi otak (Sengoku dan Akagi, 1998).
Di sinilah pertanyaannya, penurunan fungsi otak yang seperti apakah terjadi pada mereka-mereka yang terindikasi adiksi terhadap konten pornografi itu alami? Tes intelegensia yang dilakukan oleh tim peneliti berupa Wechsler maupun Bender Gestalt tidak ditemukan perbedaan antara kelompok adiksi dan non adiksi.
Apa artinya? Jika hendak diadu kecerdasan intelektual seperti kemampuan aritmatika, bahasa, logika, dan sebagainya, tidak bisa kita katakan bodoh mereka-mereka yang adiksi itu. Menjadi tidak aneh jika kita temukan kasus kekerasan seksual walau itu berupa foto vulgar dilakukan oleh mereka yang mengeyam pendidikan tinggi.
Akan tetapi, ada fakta menarik yang ditemukan pada pemeriksaan lanjutan berupa Adolescent Sexual Activity Index di mana mereka-mereka yang terindikasi adiksi terhadap konten pornografi memiliki kecenderungan dan peluang untuk melakukan aktivitas seksual bahkan hingga taraf berhubungan intim sekalipun masih berusia remaja dan belum menikah.
Tentu saja hal ini menjadi satu analisis menarik. Sekalipun intelegensia nya baik, hal itu tidak mencegah mereka dari perbuatan yang jelas-jelas terlarang oleh norma sosial, adat, maupun agama. Jika kita mengingat kembali pola aktivitas otak depan yang didominasi oleh gelombang delta di kondisi istrahat pada kelompok adiksi, di sinilah terjawab fungsi otak seperti apa yang mengalami penurunan.
Manusia, memiliki satu sistem pada otak yang dinamakan sebagai braking system, di mana berbekal fungsinya itu, manusia bisa mencegah diri dari perbuatan salah. Manusia tercegah dari perbuatan salah, karena ia tahu perbuatan itu salah, dan ia tidak melakukannya.
Braking system inilah yang ditenggarai bermasalah pada mereka yang terindikasi adiksi terhadap konten pornografi. Sudah jelas menonton konten tersebut tidak baik, tetap ditonton. Sudah jelas merekam tubuh orang lain itu tak baik, masih juga direkam.
Berdasarkan apa yang kami temukan pada penelitian lapangan maupun laboratorium, maka upaya penguatan karatker manusia melalui perumusan kebijakan dan pelaksanaan tata kelola pendidikan harus dilandaskan pada pemahaman karkter manusia, dan harus secara menyeluruh. (*)