Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Lampung Tanggal 22-24 Desember 2021, telah rampung. KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum). KH Miftachul Akhyar dipilih sebagai Rais Aam PBNU masa khidmat 2021-2026.
Muktamar NU ke-34 dianggap sebagai muktamar terbaik, paling tertib dan sejuk. Semua telah mempersembahkan yang terbaik guna untuk keadaban demokrasi NU untuk dunia secara universal
Berbicara dalam kerangka keadaban demokrasi NU ini, telah disemai di atas nilai-nilai musyawarah. Di samping, juga tercatat secara historis, penglamanan NU yang panjang dalam menerapkan sistem musyarawah mufakat dalam memilih pemimpin di berbagai level.
NU menerima dan membumikan demokrasi sebagai tatanan yang mengatur hubungan antara negara dengan rakyat. Tatanan ini berdasarkan nilai universal seperti persamaan, kebebasan dan pluralisme.
Ini sejalan dengan ajaran Islam yang membawa misi rahmat bagi seru sekalian alam. Dalam praktiknya, untuk membumikan nilai demokrasi, kadang tak terhindarkan, banyak terjadi benturan kepentingan yang juga menggoncang entitas jam’iyah dan jamaah NU.
Jika kita, mencermati dinamika perkembangan global yang terjadi secara revolusi dan disrupsi, dan juga sekaligus mengamati kehidupan bernegara yang memerlukan para agen keadilan dan kemakmuran bangsa di wilayah politik, penting merefleksikan, bagimana peran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi yang selalu memperjuangkan nilai-nilai ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (Aswaja) dan yang senantiasa menjabarkan Islam sebagai rahmat li al-‘alamin dalam spektrum kebumian Indonesia.
Maka urgensi regenerasi di tengah perubahan zaman ini membutuhkan motor penggerak baru berupa pemimpin yang lebih energik dan konstruktif dalam berbagai program dan agenda yang tidak hanya nasional, tetapi telah mendunia, sebagaimana yang diinginkan oleh warga NU, menjelang muktamar.
Di dalam diri NU telah melekat untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, regenerasi kepemimpinan, kemaslahatan tata sosial-masyarakat, dan nasib wong cilik serta izzul islam wa muslimin.
Dengan demikian, diperlukan kepemimpinan NU yang responsif, dinamis, bercirikan Aswaja al-Nahdliyah sekaligus peka terhadap masalah-masalah sosial dan intens dengan gerakan pluralisme dan moderasi beragama.
Bahwa ada agenda-agenda baru yang mesti diperjuangkan oleh kepemimpinan NU yang baru terpilih di tengah perubahan global, nasional, dan dinamika internal dalam organisasi NU.
Terpilihnya Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2021-2026 bukti bahwa regenerasi kepemimpinan berjalan dengan baik. Gus Yahya diprediksi akan mampu menjadi simbol kekuatan kader muda yang siap mengomandoi organisasi Islam terbesar di Indonesia ini di masa mendatang.
Di bawah pemimpin baru, NU bisa terus menjaga khitahnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang menjaga keislaman dan integrasi ke-Indonesia-an. NU akan terus berkolaborasi dengan pemerintah, bukan hanya dalam upaya mensejahterakan rakyat, tapi juga dalam menjadi pilar untuk memperkuat agenda nasional pemerintah terkait moderasi beragama.
Karena Islam memandangan, bahwa regenerasi memiliki tujuan selektivitas mutu kualitatif dengan kadar ketakwaan di hadapan Allah SWT. Regenerasi manusia telah menjadi ketetapan Allah SWT sejak zaman azaly, seperti termaktub pada salah satu firman-Nya: ”Kemudian kami jadikan kamu pengganti-penggganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu semua berbuat.” (QS. Yunus: 14).
Secara realitas peran regenerasi kepemimpinan NU, juga harus kritis dalam menyikapi berbagai persoalan demokrasi ke depan. Thomas Power (2021), pengajar di Sidney University Australia mengatakan, situasi demokrasi Indonesia sedang mengalami regresi.
Tren ini terjadi secara bertahap, di mana tidak semua orang bisa merasakannya, karena prosesnya yang lambat. Thomas Power menekankan tiga masalah terpenting dari regresi demokrasi. Pertama, lawfare yakni penyalahgunaan hukum dan lembaga hukum oleh aktor politik untuk tujuan politik.
Kedua, keberpihakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus yang melibatkan pemegang kekuasaan, terutama politisi partai politik. Dan ketiga, manipulasi peraturan atau perubahan aturan-aturan hukum untuk mendorong terjadinya penggelembungan kekuasaan eksekutif.
Mapping sejumlah persoalan strategis yang disampaikan Thomas Power tersebut tantangan berat bagi semua stakeholder dan praktisi politik, serta sosial di Indonesia. Dalam konteks ini, NU termasuk salah satu di antaranya. Negara dan rakyat ini membutuhkan peran-peran kritis-konstruktif dari NU dan kekuatan sosio-budaya lainnya.
Menghadapi situasi tersebut dan situasi ke depan yang sulit diprediksi. Saatnya kita saling merangkul, islah, dan komit bersama dalam menjaga dan mewujudkan khitah NU khususnya dalam aspek berkontribusi pada bangsa maupun berkontribusi dalam menjaga agama dalam koridor Islam ahlu sunnah waljamaah.
Melalui regenerasi kepemimpinan baru, insya Allah di bawah komando Gus Yahya, NU akan melahirkan spirit baru untuk keadaban demokrasi dan mari kita rapatkan barisan, bersama untuk untuk tujuan dan agenda ke depan. (*)