Oleh : Two Efly, Wartawan Ekonomi
“Mambasuik”. Secara terminologi kata ini berarti muncul dari bawah. Kata “mambasuik” ini juga banyak dan lazim ditemukan dalam dunia bisnis.
Tak percaya? Pergilah ke pinggir pantai barat Sumatera Barat. Mulai dari Kanagarian Tiku Kabupaten Agam sampai ke Tarusan Kabupaten Pesisir kita bisa menemukan jejeran tambak udang. Ukurannya pun beragam, ada yang membentang luas dalam satu kawasan dan ada pula yang terpetak petak sesuai kemampuan masing-masing pebudidaya. Semuanya terbentuk secara alami.
Tak terbayangkan oleh kita, bibir pantai yang selama ini hanya jadi kawasan semak dan belukar, kini bisa bernilai ekonomi seperti ini. Dataran pasir bergaram yang selama ini hanya jadi “tanggul alami”, kini bisa memberikan sumber penghidupan. Puluhan dan bahkan ratusan orang berkerja di situ. Mulai dari pemilik lahan, anak tambak, tenaga ahli, tenaga teknik dan bisa jadi pula memerlukan seorang manager. Intinya, bibir pantai yang selama ini jadi tempat tumpukan sampah menepi dibawa ombak berubah fungsi jadi wadah investasi.
Tapaga Karambia Condong
“Tapaga karambia condong kato urang” awak. Pangka diawak buah dek urang. Begitu juga yang dialami oleh para pebudidaya udang Vaname di Sumbar.
Ratusan juta bahkan bisa jadi sudah miliaran uang pebudidaya yang mengalir keluar Sumatera Barat untuk mendapatkan bibit/benur Vaname setiap empat bulannya.
Kemana mengalirnya? Dua saja. Kalau tak Provinsi Lampung selaku sentra udang di Indonesia, ya Pulau Jawa. Besaran uangnya pun beragam. Jika satu kolam standar 1.000 persegi dengan dencity 200 benur per meter maka setiap satu kolamnya membutuhkan 200.000 ekor benur. Dari data normal ini bisa kita proyeksikan berapa banyak benur yang dibutuhkan.
Itu baru dari sisi jumlah benur. Belum lagi kita bicara harga per benurnya. Diasumsikan harga benur per ekor Vaname F1 berkisar Rp50-75 per ekor. Artinya untuk satu kolam standar dibutuhkan Rp5.250.000 per empat bulannya. Itu baru untuk satu kolom. Data inipun bisa menuntun kita untuk mengkalkulasi berapa kebutuhan untuk tambak udang di sepanjang pantai barat Sumatera Barat.
Belum selesai di situ, uang pun terus mengalir. Selama satu siklus budi daya, satu ekor benur membutuhkan pakan untuk menjadi besar. Rata-rata setiap kolam seluas 2.500 m² bisa menghabiskan pakan sebanyak 3 Ton hingga panen atau usia 100 hari sejak penebaran benih. Harga pakan udang ini sekitar Rp15.000 per kilogram (kg). Artinya untuk satu kolam dengan luas 2.500 m2 dibutuhkan lebih kurang Rp45 juta.
Balai Bibit dan Pakan
Maaf, kita memang tak pernah mau belajar dengan sejarah. Dulu, kita pernah “terkurung” dalam lingkaran pakan ternak unggas. Untuk memenuhi kebutuhan jutaan ternak unggas di Sumatera Barat peternak mesti mendatangkan pakan Sumatera Utara. Proses ini berlangsung cukup lama hingga hadirnya pabrik pakan ternak di Sumatera Barat.
Sejarah pun terulang kembali. Ribuan hektare budi daya perikanan air tawar dan keramba apung juga membutuhkan pakan ikan dalam jumlah yang banyak. Semua pakan itu sampai saat ini juga masih didatangkan dari luar provinsi. Sampai kini, ketergantungan “impor local” pakan dari luar provinsi masih berlangsung. Hanya Pemkab Pasaman yang mencoba berkreasi dengan menghadirkan pabrik pakan mandiri. Semoga saja upaya itu berhasil dan setidaknya mampu meringankan beban biaya sebagian bagi petani ikan di Kabupaten Pasaman.
Kini dilema unggas dan ikan akan terjadi lagi pada tambak udang. Ini hanya soal waktu saja. Walau belum sebesar kebutuhan Unggas dan Ikan, budi daya tambak udang bakal semarak. Artinya, sudah saatnya pemerintah daerah hadir dan mensuport itu. Setidaknya pengalaman dimasa lalu tentang kebutuhan pakan dan bibit sudah musti dipersiapkan. Pemerintah melalui isntansi terkait sudah saatnya mempersiapkan balai benih bibit Vaname. Kalau perlu libatkan perguruan tinggi untuk itu. Begitu juga dengan pakan, pemerintah sudah saatnya mengantisipasi menggandeng pihak swasta untuk menghadirkan pabrik pakan. Pasalnya tak tertutup kemungkinan sepanjang pantai barat pulau Sumatera ini kelak akan bermunculan pula tambak-tambak udang.
Zonasi Kawasan Pantai
Zonasi kawasan pesisir pantai menjadi kata kunci. Kita juga bisa belajar dari pengalaman sejarah ketika budi daya Keramba ikan apung di Danau Maninjau. “Idolanya”, budi daya ikan air tawar ini memicu masyarakat sekitar danau menggeluti aktivitas ekonomi itu. Tak ada yang salah dengan itu, sebab setiap orang di sekeliling Danau punya hak yang sama untuk berusaha dan mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu zonasi kawasan budi dayapun tak pernah ditetapkan oleh pemerintah daerah dikala itu.
Kini, seiring mulai banyaknya ditemukan budidaya tambak udang pemerintah daerah musti mengambil pelajaran dari masa lalu. Bibir pantai yang membentang mulai dari Air Bangis sampai ke Lunang Silaut sangatlah panjang. Selain itu, bibir pantai juga berperan multifungsi. Mulai dari kajian lingkungan hingga tameng akan bencana Abrasi dan Tsunami.
Lakukanlah pemetaan, buatlah zonasi. Kalau perlu review ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sesuaikan dengan kebutuhan dan kelayakan lingkungan. Ekonomi penting, namun aspek lingkungan dan keselamatan bersama juga penting.
Sudah saatnya pemerintah hadir dengan regulasi yang berpihak pada pebudidaya. Ingat, budi daya ini lahir dan berjalan secara alami dari arus bawah. Puluhan dan bahkan ratusan masyarakat sudah merasakan manfaatnya. Hadirlah, bantulah dengan regulasi yang berpihak padan pelaku budidaya tambak udang. (*)