Perlunya Kesadaran Perempuan Akan Hak Perempuan Didalam Politik

34
Mutia Rahmi, S.Pd, Aktivis Perempuan Sumatera Barat.(IST)

Keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% merupakan hal yang diamanahkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28 H ayat (2) UUD NKRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Lalu, pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 UU 7/2017 mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Secara jelas keterwakilan perempuan di dalam instansi dan lembaga penyelenggara pemilu KPU & BAWASLU sudah diatur.

Namun secara kenyataan perempuan masih terkungkung di dalam rumah kaca yang mana mereka melihat kondisi di depannya sudah bisa dicapai akan tetapi untuk mencapai nya mereka harus terhambat.

Faktor penghambat perempuan untuk terjun ke dunia politik atau ke dalam instansi penyelenggara pemilu, terdapat banyak hal, yang mana stigma bahwasanya perempuan tidak bisa menggantikan ke tokoh-an laki-laki di dalam hal penyelenggara ini, dan kondisi geografis juga merupakan faktor penghambat perempuan untuk terjun langsung ke dunia penyelenggara pemilu baik lembaga KPU atau BAWASLU, yang mana kondisi geografis Indonesia sampai hari ini masih sangat jauh dari segala akses baik jalan, listrik, internet, dll, sehingga ini menghambat langkah-langkah perempuan terjun ke dalam dunia politik dan penyelenggara.

Setidaknya ada tiga dasar keterwakilan perempuan 30% di KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat hingga daerah harus diwujudkan. Pertama, ada aturan hukum di level internasional dan di dalam negeri yaitu undang-undang pemilu yang mengharuskan minimum 30% perempuan anggota KPU dan Bawaslu di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Kedua, menjadi akses bagi perempuan untuk masuk di dalam isntitusi politik dan muaranya adalah mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Ketiga, memastikan struktur penyelenggara dan pelaksanaan pemilu yang berkeadilan gender.

Perspektif gender sangat penting dalam perwujudan tiga hal tersebut. Perspektif ini akan menghasilkan aturan-aturan pelaksanaan pemilihan umum yang bersifat inklusif termasuk mengakomodir kelompok rentan seperti perempuan.

Sayangnya dalam hal penyelenggara pemilu di Indonesia angka keterwakilan perempuan sangat rentan dan meniadakan keterwakilan perempuan, sehingga banyak hal suara aktivis-aktivis perempuan terbungkam karena tidak mendapatkan kursi di dalam baik lembaga penyelenggara maupun di dalam dunia politik.

Baca Juga:  Maklumat Dua Tahun Mahyeldi-Audy

Berdasarkan Interparliamentary Union (IPU) di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam. Keterwakilan perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20% tepatnya 19,8%. Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh tertinggal.

Berdasarkan data yang dihimpun KPU tentang penetapan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu Pusat, keterwakilan perempuan pada periode 2017-2022 belum mencapai batas minimal 30%.

Berikut data komisioner KPU berdasarkan SK KPU Nomor: 511/PP.06- Pu/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018-2023 dan SK No: 588/PP.06-Pu/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten Periode 2018-2023.

Komisioner KPU Pusat periode 2017-2022: 6 laki-laki (85,7 %) dan 1 perempuan (14,3%). Komisioner KPU Provinsi 2017-2022: 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21,1%). Komisioner KPU Kabupaten/Kota perioed 2017-2022: 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%).

Komisioner Bawaslu pada periode 2017-2022 pun kurang lebih serupa. Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022: 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023: 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023: 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%).

Berdasarkan jumlah dari total presentase Komisioner KPU dan Bawaslu dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara pemilu kurang dari 30%, bahkan tidak sampai 25%. Selain itu keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya memenuhi kuota 20%.

Kondisi ini menjadi tantangan yang besar bagi perempuan, karena perempuan dituntut untuk memiliki kapasitas dan komitmen dalam upaya memperkuat keterwakilan perempuan di ranah politik berdasarkan amanat konstitusi dan peraturan lainnya.

Sekarang ini merupakan masa tahapan seleksi KPU provinsi dan kabupaten/kota, seharusnya dalam masa ini peran perempuan terus ditingkatkan dan juga perempuan sendiri juga harus berani tampil dengan kecakapan yang cukup untuk bersaing didalam dunia penyelenggara.

Sehingga dengan momen ini apa yang telah diamanahkan undang-undang 30% keterlibatan perempuan itu tercapai.(Mutia Rahmi, S.Pd, Aktivis Perempuan Sumatera Barat)