Tahun Kunjungan Wisata Sumatera Barat 2023

93
OSVIAN PUTRA, Master Asesor Pariwisata.(NET)

Awan hitam industri pariwisata terkuak setelah dua tahun lalu mati suri akibat pandemi. Ibarat fajar, ayam telah selesai berkokok sebagai pertanda pagi sudah dimulai. Telah tampak cahaya matahari bersinar, terang.

Hari ini kegiatan kepariwisataan Sumatera Barat telah kembali ramai. Rombongan demi rombongan wisatawan mulai datang melalui bandara Minangkabau. Begitu pula dari arah timur, iring-iringan bus wisata dari Riau sebagai pemasok utama wisatawan domestik Sumatera Barat kembali memadati jalan-jalan di seantero destinasi wisata.

Tak kurang pula dari arah utara dan selatan tentunya. Gairah itu mulai terasa. Apalagi pemerintah Sumatera Barat melalui Dinas Pariwisata telah mencanangkan tahun ini sebagai tahun kunjungan ke Sumatra Barat yang dibungkus dengan tagline “Visit Beautiful West Sumatra 2023.”

Hal lain yang cukup menarik menjadi perhatian adalah bahwa telah terjadi panambahan kapasitas. Yang pertama akomodasi. Telah berdiri beberapa hotel baru dan penambahan unit kamar pada hotel yang telah ada sebelumnya yang tentunya menambah kapasitas daya tampung wisatawan yang ingin menginap di Sumatera Barat.

Selain itu, dengan maraknya kunjungan masyarakat juga muncul puluhan bahkan ratusan jenis akomodasi baru yang jamak disebut dengan homestay. Homestay banyak muncul pertama, di kota-kota yang banyak kunjungan wisatawan, akan tetapi harga kamar-kamar hotelnya tidak terjangkau oleh wisatawan, terutama di masa-masa peak season, misalnya di Bukittinggi.

Begitu pula misalnya di desa wisata-desa wisata juga juga sudah marak bermunculan misalnya di kabupaten Agam, Limapuluh Kota, Sawahlunto, Padangpanjang, Pesisir Selatan serta Solok. Selain itu, jenis sarana akomodasi lain yang marak muncul akhir-akhir ini adalah glamping (glamour camping) yang banyak terdapat di objek-objek wisata yang selama ini minim sarana akomodasi misalnya di Lembah Harau atau di Danau Diatas.

Yang kedua, adalah bertambahnya jumlah objek wisata, baik yang bersifat alam maupun buatan. Ada yang modelnya theme park, ada pula yang bersifat objek tunggal. Objek-objek seperti ini bisa terlihat di Limapuluh Kota, Agam, Solok, Pesisir Selatan, Padang, Pariaman bahkan Dharmasraya.

Yang ketiga, setelah penyekatan dan pembatasan pergerakan manusia tidak dibatasi lagi, setelah masyarakat kembali bebas beraktivitas di luar ruangan sebagaimana biasa, terdapat pula penambahan amenitas berupa café dan restaurant. Café-café sekaligus restoran yang muncul dua tahun belakangan berbeda dengan model-model sebelumnya yang cenderung konvensional.

Namun, bukan itu saja, perlu pula ditambahkan kedalam kelompok Amenitas ini adalah toko oleh-oleh. Saat ini, café-café yang marak berdiri adalah yang estetik, instagrammable dan photogenic, mengikuti perkembangan zaman dan selera pengunjung tentunya. Begitu pula dengan toko oleh-oleh yang modelnya sudah kekinian itu, rasa-rasa tidak kalah dengan toko Krisna yang terkenal di Bali itu.

Lihatlah di sepanjang jalan menuju Air manis, di sepanjang rute Padang-Bukittinggi-Payakumbuh, di sepanjang rute Bukittinggi-Batusangkar, di kawasan Lembah Anai, di Limapuluh Kota, di Tanahdatar, di Bukittinggi hampir rata keberadaan café-café seperti ini. Takjub, Sumbar batambah rancak dan tacelak!

Capaian tersebut diatas pada posisi Sumatera Barat bukan sebagai bagian dari Destinasi (Super) Prioritas di tanah air bisa dikatakan cukup bagus. Mengingat dalam posisi tersebut Sumatera Barat sejatinya tidak mendapatkan porsi anggaran dan perhatian yang serupa dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang masuk kategori Destinasi Prioritas dan Super Prioritas.

Hal-hal yang tidak setara didapatkan antara Sumatera Barat dengan propinsi-propinsi lain pada kategori Prioritas dan Super Prioritas antara lain; dukungan infrastruktur, event dan pemasaran, tidak segencar daerah yang masuk Prioritas. Lihat misalnya di Lombok didirikan sirkuit Mandalika dan dibuatkan event Moto GP Internasional.

Di danau Toba dibuatkan event F1 Power Boat yang anggaran, sarana dan promosinya berasal dari pusat. Sumatera Barat tidak kebagian. Kemudian, semenjak tahun lalu, SDM di daerah Super Prioritas dan Prioritas mendapatkan fasilitas sertifikasi dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Sebelumnya daerah-daerah tersebut juga mendapatkan fasilitas pelatihan Asesor dan perpanjangan sertifikat Asesor berikut upgrading ASEAN Toolbox. Sumatra Barat tidak dapat. Selain itu, dari tahun kemarin, diadakan pula kegiatan pembaharuan dan pengkinian standar kompetensi sektor pariwisata secara bertahap yang berlanjut sampai tahun ini.

Belasan bahkan nanti puluhan SKKNI sektor kepariwisataan lahir dari lokus dan lokasi uji petik di daerah-daerah yang berstatus Prioritas dan Super Prioritas tersebut. Sumbar juga tidak masuk. Padahal kegiatan-kegiatan pada dua paragraph terakhir dananya berasal dari World Bank, ditujukan untuk Indonesia, akan tetapi kita tidak ikut menerima manfaat tersebut.

Baca Juga:  Ramadhan Untuk Kemajuan Peradaban

Dalam konteks penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) sektor pariwisata tersebut, tahun ini salah satunya yang disusun adalah bidang Hotel dan Restoran. Contoh kasus, pada kegiatan tersebut sejatinya Sumatera Barat punya kepentingan. Yaitu memasukkan standar kompetensi kerja kuliner Minangkabau.

Karena di dalamnya standar kompetensi kuliner dari daerah bahkan negara lain ada standarnya sementara kita tidak. Bayangkan, selama ini kita membanggakan rendang sebagai ikon kuliner Minang, akan tetapi standar kompetensi untuk mebuat masakan Minang itu sendiri sejatinya belum ada.

Padahal kegiatan untuk itu ada di Kemenparekraf, akan tetapi karena kita bukan lokus kegiatan dan disisi lain kita selama ini juga abai terhadap hal-hal yang sebenarnya bersifat mendasar ini, kita bahkan tidak punya standarnya. Maka sejatinya kita tidak bisa marah jika sekiranya ada pihak-pihak lain yang meng-klaim rendang karena kita sendiri belum punya standar kompetensinya.

Demikian pula di bidang ekonomi kreatif, misalnya Suntian anak daro Minang itu patut ada standar kompetensinya. Kita bangga dan sering memposting kemeriahan dan kemegahan pesta anak kemenakan kita “Urang Minang Baralek gadang,” padahal standar kompetensinya sendiri sebetulnya belum ada. Padahal orang lain punya.

Selain itu, karena model penyusunan standar kompetensi saat ini sekalgius berbarengan dengan menyusun Okupasi dan KKNI (Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia) pada bidang masing-masing, kita sejatinya juga kehilangan kesempatan. Bahkan bisa disebut kecolongan. Contoh, kita punya minuman khas teh talua yang sejatinya selevel dengan rendang pada produk makanan, akan tetapi masuk kedalam kelompok minuman.

Ribuan seniman peracik teh talua di seantero Sumatra Barat berikut di daerah-daerah yang banyak bermukim orang-orang yang berasal dari Sumatera Barat seperti Riau, Jambi, Jakarta dan daerah-daerah lainnya tidak terfasilitasi formalitas profesinya sebagai seorang pekerja kuliner profesional.

Seorang juru racik teh talua, adalah seorang profesional sebagaimana peramu kopi yang akrab kita sebut dengan nama profesi resmi barista itu. Sejatinya Sumatera Barat mempunyai hak untuk mematenkan nama profesi tersebut melalui kegiatan tersebut diatas. Namun apa hendak dikata, peluang telah terlepas.

Ingat, bahkan banyak yang belum tahu bahwa sekarang di Vietnam juga sudah dikembangkan jenis minuman yang sama dengan teh talua dengan metode pembuatan yang relatif sama, namun penamaannya beda dengan kita. Artinya, jika kita tidak menetapkan standar dan memberi nama okupasi untuk jenis pekerjaan dan produk itu sekarang, jangan heran jika nanti kita dipaksa ikut standarnya orang lain.

Apa yang terjadi? Stakeholders kita sepertinya abai dan tidak paham harus mendahulukan yang mana. Masalah memang banyak, yang utama tentu yang sudah berkepanjangan, jalan! Baik kualitas dan kuantitas jalan menuju destinasi-destinasi utama kita telah lama bermasalah. Dari tahun ke tahun selalu itu saja sumber masalahnya.

Namun sepertinya terlihat semua mata cenderung tertuju kearah sana, sementara ada hal lain yang mesti dipikirkan juga. Karena standar adalah dasar. Mengatur rencana, buat dulu rambu-rambu baru disusun blue print (RIPPARPROV sudah ada) baru masuk ke ranah operasional di lapangan.

Sementara kita terlihat masih kurang dalam hal perumusan, penetapan dan penerapan standar tersebut. Maka melihat kondisi diatas, sepertinya pariwisata kita masih arek-arek lungga!  Tulisan seperti ini tentu tidak akan cukup untuk membeberkan dan mencari solusi dari semua masalah.

Tapi sejatinya dengan ini kita mesti sadar bahwa kita butuh orang-orang yang paham dan berkomitmen untuk bisa menjembatani kebutuhan kita dengan sumber keuangan dan kebijakan di pusat sana. Maka mumpung partai-partai sedang sibuk mengelus dan menggosok ayam aduannya untuk berlaga mewakili kita di Senayan sana.

Kita berdoa bahwa yang akan tampil nanti pasti adalah orang-orang yang peduli dengan ekosistem kepariwisataan Sumatera Barat kedepan. Paham pariwisata secara holistic dan punya komitmen untuk membangun kampung halaman. Terlepas dari mana partanya, dari manapun daerah pemilihannya terserah. (OSVIAN PUTRA, Master Asesor Pariwisata)