KEBAKARAN di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, dengan korban belasan nyawa serta material patut disayangkan. Itu menjadi bukti lemahnya antisipasi dan analisis risiko. Lemahnya antisipasi bisa dilihat dari tidak adanya penerapan metode check list dan what if.
Metode tersebut dilakukan untuk mengetahui bahaya apa yang akan terjadi ketika para pekerja menuju depo untuk bekerja serta masyarakat sekitar yang tinggal di dekat depo itu. Tujuannya untuk mengendalikan bahaya berdasar rekomendasi yang tertulis dalam metode tersebut. Akhirnya konyol, tak berdaya dengan besarnya korban jiwa dan material.
Berdasar analisis risiko (meliputi penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko), bahaya kebakaran di industri minyak dan gas bumi ini termasuk kategori tinggi. Data tertulis juga bisa jadi bukti betapa tingginya risiko tersebut.
Yaitu Peraturan Menakertrans Nomor 4 Tahun 1980 bahwa bahan bakar golongan cair ini termasuk mudah terbakar. Juga sesuai Peraturan Menakertrans Nomor 186 Tahun 1999 bahwa depo SPBU termasuk industri dengan klasifikasi tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi.
Karena menyimpan bahan cair atau bahan lainnya, bila kebakaran, apinya cepat membesar dan melepaskan panas tinggi serta api cepat menjalar. Dengan kategori-kategori tersebut, dalam pengelolaannya dibutuhkan antisipasi dan pengendalian risikonya yang kuat.
Bahkan, perlu ada manajer risiko sehingga betul-betul dilakukan pencegahan maupun mitigasi. Sebagai kegiatan dengan risiko tinggi karena faktor likelihood (frekuensi) dan konsekuensi, pengendalian risiko harus dilakukan terhadap keduanya.
Likelihood dikendalikan dengan pencegahan untuk menurunkan risiko tinggi menjadi risiko rendah tanpa kebakaran. Faktor konsekuensi dikendalikan dengan cara mitigasi. Diantaranya penyebaran depo di beberapa lokasi yang aman serta pengalihan risiko menggunakan outsourcing maupun asuransi.
Kebakaran yang bersumber dari bahan bakar membuktikan bahwa pengendalian secara teknik, antara lain, sensor tidak jalan. Konsekuensi kebakaran berupa belasan korban jiwa serta rumah terbakar mengindikasikan lemahnya mitigasi.
Pekerja yang menangani depo bisa jadi bukan tenaga ahli yang kompeten mengurusi itu dan tidak memiliki sertifikat ahli K3 kebakaran atau ahli K3 kimia. Pihak ketiga atau outsourcing yang betul-betul kompeten dalam bidang tersebut yang perlu menanganinya karena termasuk risiko tinggi berdasar faktor konsekuensi.
Yang dibutuhkan adalah penerapan teknologi canggih untuk pengendalian likelihood. Sedangkan untuk pengendalian faktor konsekuensi dibutuhkan tenaga ahli berkompetensi. Biaya pengendalian risiko memang jadi mahal.
Tapi, ini relatif sangat murah bila dibandingkan dengan kebakaran serta turunnya kredibilitas Pertamina di mata internasional. Dengan analisis di atas, K3 menjadi sebuah investasi bagi perusahaan.
Aspek K3 harus masuk dalam sistem manajemen perusahaan, dihitung target kinerja K3-nya, juga bonus-bonus yang diperoleh bila tidak terjadi kecelakaan. Pendekatan cost-benefit analysis diperlukan untuk membandingkan beberapa opsi pengendalian guna memilih opsi terbaik.
Selain itu juga mempertimbangkan aspek legal atau peraturan dan aspek sosial. Seperti karyawan dan masyarakat sekitar. Pemenuhan ketiga aspek di atas yang menjadi dasar depo SPBU itu bisa beroperasi di wilayah tersebut.
Bila hanya mempertimbangkan situasi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar SPBU yang hanya berjarak 50 sampai 100 meter, depo itu tidak layak. Hasil riset penulis tentang efek depo SPBU terhadap kesehatan masyarakat sekitar, ternyata terdapat risiko seperti kanker-leukemia dan berbagai kasus kelainan darah lainnya.
Anak-anak mengalami risiko tersebut karena lebih rentan. Sebab, sistem barrier membrane sel mereka masih lemah sehingga toksin seperti benzene dan toluene mudah masuk sampai target organ termasuk darah.
Masyarakat yang tinggal di sekitar SPBU tidak hanya menghadapi risiko kebakaran, tetapi juga setiap hari terpapar udara mengandung bahan bakar seperti benzene, toluene, xylene, dan lain-lain. Juga ada risiko toksin lewat air yang terkontaminasi.
Uap toksin bisa masuk sampai ke rumah mereka lewat air tanah sehingga meningkatkan risiko penyakit akibat paparan toksin dari depo. Ini berdasar analisis RSBLs (risk based screening level) yang membandingkan konsentrasi bahan kimia di tanah dengan konsentrasi umum yang bersifat proaktif terhadap kesehatan.
Seharusnya Kemenaker mengembangkan konsep ini dalam peraturan untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat yang bertempat tinggal sekitar depo. Banyak depo SPBU di Indonesia yang berada di sekitar masyarakat.
Lebih jauh dari itu, banyak SPBU yang beroperasi di sekitar masyarakat juga. Ini perlu ditelaah oleh kementerian untuk melindungi masyarakat. Terutama terhadap risiko penyakit kanker serta kelainan pada saraf karena paparan bahan kimia dari SPBU maupun depo SPBU.
Energi Jiwa Negatif
Berdasar analisis kuantum kecelakaan, kecelakaan disebabkan adanya energi jiwa negatif, seperti mudah marah, apatis, yang mengeluarkan energi karyawan (Dana Zohar, Ian Marshallk, 2010) yang akan mengikat energi negatif dari depo SPBU itu sehingga terjadilah kebakaran.
Energi jiwa negatif seperti emosi memiliki kekuatan 300 juta kali sesuai formula relativitas Einstein dibandingkan dengan energi biasa manusia. Sehingga kecelakaan, termasuk kebakaran, 100 persen karena faktor manusia (unsafe action) seperti yang dikembangkan oleh James Reason (1990).
Sebelumnya banyak kajian yang menyebutkan, kecelakaan 86 persen disebabkan oleh unsafe action dan 14 persen karena unsafe condition. Unsafe action dengan energi jiwa berupa emosi yang sangat besar membuat pekerja lepas kontrol dalam bekerja.
Hal itu dapat menyebabkan unsafe condition berupa kebakaran yang akhirnya menimpa pekerja, termasuk masyarakat sekitar. Dengan demikian, walau sebagus apa pun pengendalian kebakaran yang dilakukan, bila para pekerja memiliki energi jiwa negatif, risiko kebakaran sulit dihindarkan.
Apalagi terhadap bahan bakar yang mudah terbakar. Sehingga untuk mengendalikan kecelakaan maupun kebakaran di industri, para pekerja harus memiliki energi jiwa positif. (*)