Laut Tiongkok Selatan dan Masa Depan ASEAN

Dion Maulana Prasetya Peneliti tamu di Asia University Taiwan

SEBUAH lembaga penelitian Lowy Institute (LI) merilis laporan penelitian tentang pengaruh Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara (www.lowyinstitute.org). LI menggunakan empat indikator dalam mengukur pengaruh tersebut, yaitu hubungan ekonomi, kerja sama pertahanan, pengaruh diplomatik, dan pengaruh kultural.

Hasilnya, pada 2018 Tiongkok memenangi pengaruh di Asia Tenggara dengan perbandingan 52:48 terhadap AS. Menariknya, empat tahun kemudian pada 2022, pengaruh Tiongkok meningkat menjadi 54 dibanding AS yang turun ke angka 46.

LI memberikan catatan bahwa Tiongkok “menang tebal” di Laos, Kamboja, Myanmar, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Sedangkan AS hanya “menang tipis” di Filipina dan Singapura.

Dari empat variabel yang digunakan di atas, dapat dengan mudah ditebak, Tiongkok unggul di bidang kerja sama ekonomi, sedangkan AS unggul di kerja sama pertahanan. Pengaruh Tiongkok yang makin menguat di Asia Tenggara adalah konsekuensi logis dari besarnya peran Negeri Tirai Bambu itu dalam pembangunan ekonomi di kawasan.

Disebutkan, Tiongkok adalah negara mitra dagang terbesar bagi sepuluh anggota ASEAN dan penyedia bantuan pembangunan terbesar setelah Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia. Para pengamat hubungan internasional menyebut fenomena ini sebagai diplomasi dolar Tiongkok.

Pada tataran praktis, fenomena menguatnya pengaruh Tiongkok di kawasan ini dapat dilihat jelas dari dua negara: Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks Indonesia, “jasa” Tiongkok dalam pembangunan kereta cepat Jakarta–Bandung tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain manfaat praktis, Indonesia juga kerap diuntungkan dengan citra positif sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan kereta cepat.

Bahkan, tidak cukup hanya itu, Menko Marves Luhut B. Pandjaitan, dalam kunjungannya ke Beijing (4/4), mengajukan proposal megaproyek “Food Estate” dan mengatakan telah berhasil “memboyong” bantuan dari Bank Pembangunan Tiongkok sebesar 560 juta dolar AS untuk pembangunan proyek “green industrial park” di Kalimantan Utara.

Hal serupa terjadi pada Malaysia. PM Anwar Ibrahim dalam kunjungan resmi pertamanya ke Beijing (1/4) mengklaim telah “mengamankan” potensi investasi dari Tiongkok sebesar 38 miliar dolar AS. Investasi tersebut diproyeksikan untuk pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, otomotif, properti, daur ulang sampah, dan logistik.

Sadar bahwa nilai investasi sebesar itu akan memengaruhi posisi Malaysia di Laut Tiongkok Selatan (LTS), Anwar Ibrahim menegaskan bahwa negaranya akan terus melakukan eksplorasi di wilayah zona ekonomi eksklusifnya, meski tetap terbuka untuk negosiasi.

Tentu saja diplomasi dolar yang dilakukan Tiongkok menjadi “angin segar” bagi negara-negara Asia Tenggara di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi pascapandemi. Namun, satu hal yang harus digarisbawahi, diplomasi dolar tidak boleh membuat negara-negara

ASEAN menutup mata terhadap penerapan “taktik zona abu-abu” di LTS oleh Tiongkok. Abai terhadap makin meluasnya jangkauan zona abu-abu Tiongkok berarti abai terhadap keamanan dan soliditas ASEAN. Mengapa?

Baca Juga:  Menyoal Monopoli Disruptif TikTok Shop

Taktik Zona Abu-abu

Secara sederhana zona abu-abu diartikan sebagai suatu kondisi antara perang dan damai, di mana aktivitas yang terjadi di dalamnya juga bersifat ambigu. Penerapan taktik ini biasanya melibatkan aktivitas-aktivitas tertentu seperti serangan siber, pengerahan milisi maritim, penyebaran disinformasi, dan tindakan koersif nonmiliteristik.

Tujuan dari taktik ini adalah untuk mengacaukan, melemahkan, dan menyerang pertahanan musuh, tapi tindakan tersebut tidak bisa disebut peperangan atau pertempuran dalam arti konvensional.

Taktik ini bukan taktik baru bagi Tiongkok. Vietnam menjadi salah satu negara ASEAN yang memiliki pengalaman pahit menghadapi taktik zona abu-abu Tiongkok. Pada tahun 1974 Tiongkok dan Vietnam Selatan memperebutkan Pulau Robert (Kepulauan Paracel) dan terulang di Kepulauan Spratly (Karang Johnson Selatan) pada 1988.

Pada dua kasus tersebut Tiongkok secara konsisten mengerahkan milisi maritim untuk melakukan aktivitas pembangunan di kepulauan yang disengketakan. Vietnam yang terpancing segera melakukan tindakan untuk menghentikan pembangunan tersebut, di mana tindakan itu kemudian menjadi alasan bagi Angkatan Laut Tiongkok untuk “melindungi” warganya.

Pertempuran laut pun tidak terelakkan, yang mengantarkan Vietnam pada kekalahan dan kehilangan kontrol atas beberapa pulau di Paracel dan Spratly. Pada kasus yang lebih kontemporer Tiongkok secara konsisten memainkan taktik zona abu-abu bertumpu pada tiga aktivitas: pengerahan milisi maritim (sering kali berkedok nelayan), sokongan dari kapal Penjaga Pantai Tiongkok (China Coast Guard/CCG), dan penyebaran narasi anti intervensi asing.

Dalam kasus terbaru yang dialami Filipina (5/8), CCG terlihat lebih agresif dengan melakukan manuver berbahaya, yakni memotong jalur kapal Penjaga Pantai Filipina (the Philippines Coast Guard/PCG) dan menembakkan meriam air ke arah PCG. Bahkan, yang lebih baru (8/9), dua kapal PCG Filipina yang mengawal proses pergantian rutin di Ayungin Shoal dikepung empat CCG dan empat kapal milisi maritim Tiongkok.

Lalu apa konsekuensi logis dari tindakan Tiongkok yang makin agresif tersebut? Beberapa negara yang bersinggungan langsung dengan Tiongkok di LTS mulai kehilangan kepercayaan terhadap saluran multilateral ASEAN.

Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr kembali mendekat dan mencari perlindungan ke AS, di mana presiden sebelumnya lebih memilih mendekat ke Tiongkok. Begitu juga Vietnam yang baru saja menjalin kemitraan komprehensif strategis dengan AS yang ditandai dengan kunjungan Presiden Joe Biden pada Minggu (9/9).

Fenomena menipisnya sentralitas ASEAN itulah yang ditakutkan banyak pihak. Selama ini kerangka multilateral dianggap mampu menekan perilaku agresif dan menciptakan stabilitas di kawasan.

Namun, dengan makin asertif dan agresifnya Tiongkok di LTS baru-baru ini, banyak pihak yang mulai kehilangan harapan pada ASEAN. Dan gejala itu terlihat jelas pada KTT ASEAN di Jakarta beberapa waktu lalu. (*)