Ikhsan Yosarie
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute
Saya jujur saja menulis ini dalam perasaan jengkel. Bagaimana tidak, di tengah massifnya gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil di pelbagai penjuru Indonesia sebagai bentuk protes terhadap pengesahan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, atau ngetren disebut Omnibus Law Cilaka, masih ada saja pihak-pihak yang berupaya melakukan pembusukan dan degradasi terhadap gerakan tersebut.
Sebagai antithesis dari gerakan tersebut, berkembang narasi di publik yang mempertanyakan apakah mereka yang turun ke jalan melakukan demonstrasi penolakan tersebut telah tuntas membaca ribuan pasal dalam Omnibus Law. Mereka yang mempertanyakan ini menganggap ketidaktuntasan peserta demonstrasi dalam membaca ribuan pasal mencerminkan kedangkalan gerakan penolakan ini.
Narasi tersebut kemudian berkembang dengan stereotype bahwa mereka yang tidak tuntas membaca dianggap hanya ikut-ikutan, ajang keren-kerenan, asal omong, dan mencerminkan rendahnya kultur membaca. Melihat narasi ini, jelas terlihat adanya upaya pengaburan substansi penolakan omnibus law melalui narasi-narasi yang dangkal dan jauh dari substansi.
Sementara pada saat yang sama, justru penolakan terhadap omnibus law juga datang para Guru Besar dan akademisi di Perguruan Tinggi air, serta pelbaga lembaga riset di tanah air. Penolakan tersebut tentu merupakan buah hasil kajian, pembacaan, dan analisis yang komprehensif, sehingga sampailah pada kesimpulan, menolak omnibus law. Pelbagai hasil kajian dan riset tersebut telah berseliweran di ruang publik melalui publikasi di media cetak, online, dan website tiap-tiap lembaga, sehingga mudah sekali di akses.
Pada titik ini, jika saya berpositif thingking, barangkali mereka yang mempertanyakan ketuntasan membaca omnibus law para demonstran ini tidak mengetahui bahwa para Guru Besar, Akademisi, dan lembaga riset memiliki telah mengeluarkan kajian mengenai omnibus law, baik secara prosedur perundang-undangan maupun implikasi pengaturan pasal.
Ketidaktahuan ini sebelumnya bisa jadi dilatarbelakangi mereka yang tidak update, kehabisan kuota paket internet, atau memang terdapat gangguan sinyal di tempat masing-masing ketika kajian dan hasil riset tersebut di publikasi. Persoalan-persoalan mereka tadi baru bisa teratasi ketika demonstrasi penolakan tengah berlangsung, sehingga mereka tidak keburu berselancar di dunia maya untuk mencari publikasi riset tadi.
Kegerahan dan kejengkelan terhadap narasi yang mempertanyakan ketuntasan membaca omnibus law ini juga memicu lahirnya narasi-narasi tandingannya. Uniknya, narasi tandingan tersebut semakin mencerminkan kedangkalan narasi sebelumnya. Misalnya, narasi tandingan tersebut menganalogikan penolakan terhadap omnibus law ibarat membuat skripsi atau tesis.
Jamak kita ketahui, bahkan juga lakukan, ketidaktahuan kita dalam beberapa materi dalam pembuatan penelitian tersebut, tidak lantas membuat kita berhenti. Ketidaktahuan tersebut dapat ditanggulangi dengan mencari referensi yang relevan, baik itu berasal dari riset yang dilakukan lembaga-lembaga yang kredibel, informasi media massa yang kredibel, serta pendapat para pakar.
Pada kasus penolakan omnibus law, ketidaktuntasan membaca ribuan pasal tersebut tentu juga dapat ditanggulangi dengan metode serupa. Tidak ada bedanya sama sekali. Jika mereka yang mempersoalkan ketidaktuntasan membaca omnibus law itu pernah melakukan penelitian, setidaknya saat pembuatan skripsi, seharusnya mereka paham soal ini. Kecacatan dan kedangkalan logika semakin terlihat dalam persoalan ini.
Selain penganalogian dengan pembuatan skripsi dan tesis tadi, narasi lainnya yang lahir berkaitan dengan pengalaman berorganisasi. Untuk narasi ini, tentu mau tak mau harus dan wajar muncul. Mereka yang pernah berorganisasi, tentu paham sekali bahwa terdapat pelbagai divisi dalam organisasi tersebut, di antaranya divisi penelitian dan pengembangan (litbang), divisi kajian strategis (kastrat), dan divisi hukum politik. Ketiga divisi ini umumnya memiliki domain tugas yang sama, hanya saja di pelbagai organisasi berbeda penyebutan.
Sekali lagi, jika mereka pernah berorganisasi, sebelum turun kejalan pasti selalu ada kajian lembaga yang dilakukan oleh divisi yang tadi kita sebutkan. Divisi itulah yang membaca, mengkaji, dan menganalisis secara komprehensif persoalan, termasuk dalam hal ini omnibus law. Mencari referensi dari riset dan pendapat ahli juga dapat dilakukan.
Setelah kajian selesai, kemudian didiskusikan secara internal, dan seterusnya sampai kepada kesimpulan dan sikap lembaga. Melalui proses ini, setiap anggota organisasi akan tercerahkan melalui kajian yang dilakukan salah satu divisi, sehingga tidak perlu semua anggota melakukan kajian masing-masing. Belum lagi jika ada koalisi organisasi, maka kajian dapat dilakukan secara tematik dan komprehensif.
Namun demikian, sekali lagi, itu jika mereka punya pengalaman organisasi. Sehingga, jika kita bernegatif thingking, narasi tersebut memang bertujuan untuk membusukkan dan mendegrasi substansi persoalan dalam penolakan omnibus law di ruang publik.
Tentang Demonstrasi
Pelbagai diskursus penolakan Omnibus Law perlahan dibawa menjauhi substansi penolakan. Selain mempertanyakan ketuntasan membaca Omnibus Law bagi mereka yang berdemonstrasi, keberlangsungan demonstrasi tersebut juga dihilangkan nilai juang dan substansinya. Aksi demonstrasi terhadap penolakan Omnibus Law kemudian dianggap sebagai langkah tidak bijak dan tidak tepat. Judisial Review (JR) ke MK dikonstruksi sebagai satu-satunya solusi atas penolakan tersebut.
Dalam kontruksi negara hukum, JR ke MK tentu menjadi solusi atas persoalan-persoalan konstitusional. Tidak perlu diajarkan soal pengetahuan ini. Tetapi juga perlu diingat bahwa demonstrasi juga bagian dari konstruksi negara hukum, karena dijamin oleh konstitusi.
Lebih dari itu, aksi demonstrasi seharusnya tidak dipandang sebagai langkah bijak atau tidak bijak. Meskipun pada dasarnya aksi-aksi anarkis dalam demonstrasi tidak dapat dibenarkan, namun substansi tuntutan dan hukum sebab-akibat harusnya menjadi logika dasar dalam hal ini, karena demonstrasi tentu tidak terjadi begitu saja. Ada rentetan panjang dibelakangnya.
Demonstrasi seharusnya dipandang sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap suatu kebijakan. Dikarenakan demonstrasi ini merupakan opsi terakhir, maka seharusnya dilihat bahwa kekecewaan tersebut telah memuncak. Bukan saja karena kebijakan, tapi juga respon pemerintah yang tidak lagi mendengarkan aspirasi publik.
Narasi bijak-tidak bijak ini juga memperlihatkan penyempitan perspektif dalam melihat demonstrasi. Barangkali mereka yang mengemukakan narasi ini lupa kata bijak di dunia gerakan, bahwa mendidik penguasa itu dengan perlawanan. Selain itu, narasi ini secara implisit mengamini keangkuhan otoritas bersangkutan, dalam hal ini pembuat UU. Upaya JR ke MK ini seharusnya membuat pembuat UU semakin malu, karena bukan hanya JR, tapi publik juga melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak UU yang mereka buat.
Lebih dari itu, dengan melihat pelbagai kejanggalan selama proses pembuatan Omnibus Law, bagaimana mungkin masyarakat dapat pasif menunggu JR di MK? Aspirasi publik tidak didengar, Naskah Akademik (NA) sulit diakses, draft yang ketok palu ternyata belum final, karena akan dirapikan. Bahkan terdapat lebih dari satu versi draft Omnibus Law yang tersebar di publik. (***)