Sitinjaulauik, Mengubah Tantangan Jadi Peluang

Riza Falepi Wali Kota Payakumbuh/ Alumnus ITB

BEBERAPA waktu lalu media massa dihebohkan dengan bencana longsor cukup parah di kawasan Sitinjaulauik, Lubukkilangan, Kota Padang. Selain longsor, juga beredar keributan di depan gubernur Sumbar terkait solusi penyelesaian masalah tersebut yang menurut kami kurang santun.

Apa daya keributan ini telah terjadi kemudian saling menyalahkan. Sebenarnya permasalah Sitinjaulauik ini peluang yang harus diselesaikan. Bukan dipertentangkan. Apalagi, menjelek-jelekkan gubernur yang dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah.

Seharusnya, kita memberikan usulan kepada gubernur hendak diapakan Sumbar ini. Tagline “Basamo Mangko Manjadi” perlu kita bunyikan di setiap pembangunan daerah. Sayang, saya tidak mengerti kenapa kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dan terindikasi ada persoalan kepemimpinan yang perlu dibereskan, serta dicarikan jalan keluarnya.

Beberapa waktu lalu, ada solusi diberikan anggota DPD RI dengan membuat jalan layang seperti di Kelok Sembilan. Namun, solusi itu mahal dan belum tentu menyelesaikan masalah.

Mengingat, biasanya jalan Sitinjaulauik dilewati truk-truk yang melintasi jalur Padang-Solok terus ke Lintas Sumatera jalur tengah. Persoalannya, membuat jalan layang diperkirakan menghabiskan biaya kurang lebih Rp 5 sampai 6 triliun.

Terlebih, tidak hanya di lokasi tersebut saja susah dilewati truk, namun lintas atasnya tetap juga berat dilewati. Makanya, mungkin lebih baik kita selesaikan lewat cara pendekatan. Seperti dilakukan Bapak Andrinof Chaniago sewaktu membuka jalan ke tempat wisata Mandeh.

Terbukti, jalan itu menghadirkan tempat pariwisata baru dan cukup menarik ke depannya. Tentunya, tetap diperlukan peran swasta. Sehingga, menimbulkan multiplier efect dan bergulir sendirinya.

Ini yang saya heran kenapa pemerintah dan anggota DPR/DPRD tidak bersuara dan mencarikan jalan terbaik. Menurut kami, solusi alternatifnya membuat jalan baru dari Padang ke Solok dan memadukan planning ini dengan rencana pariwisata jangka panjang. Saya berharap tim pariwisata yang dibuat pemprov bersuara keras tentang ini.

Saya punya mimpi Sitinjaulauik tidak lagi dilewati truk-truk besar karena rawan longsor, terguling dan rawan bagi sopir truk tak berpengalaman, rawan rem blong, dan pokoknya tidak cocok jadi lintasan truk atau logistik. Kita membayangkan misalnya Sitinjau seperti puncak pass bagi orang Jakarta dan Padang.

Ketika membuat flyover yang diusulkan anggota DPR tersebut, buat kami itu solusi yang terlalu mahal dari sisi kajian benefit to cost analysis, karena hanya satu flyover yang bisa dibuat. Sementara jalan ke atasnya pendakian masih jauh bagi truk, maka kesimpulan kita jalan Sitinjaulaut tidak layak lagi dilewati truk.

Sederhananya, bayangkan truk mendaki dan menurun dengan gigi satu hampir sepanjang Padang-Solok. Berapa pemborosan solar, keausan mesin dan bahaya kecelakan. Saya mengusulkan Sitinjaulauik dijadikan daerah wisata hanya dilewati mobil kecil, seperti halnya orang Jakarta ke puncak.

Truk dialihkan ke jalur lebih baik, aman, landai dan tidak tajam pendakiannya. Itu solusi terbaik. Pengaturan tata ruangnya, tentu melibatkan pemerintah pusat (Kemenhut) dan provinsi.

Jalan alternatif paling bagus adalah jalan Padang ke arah Bukittinggi dan belok ke arah Asampulau, di mana itu melewati kantor bupati Padangpariaman. Dengan begitu, kawasan itu menjadi hidup dan tidak sunyi akibat keberadaan hutan. Alternatif lain, sekitar Kayutanam dibuat jalan ke arah Sumpu. Trasenya kita cari yang terbaik.

Kami sudah melihat dari Google Map, dari jalan lintas Padang-Bukittinggi masuk ke arah dalam itu sudah ada jalan lebih kurang 10 km. Jalan ini bisa kita perlebar yang penting bisa dilewati truk.

Hanya menambah jalan baru 10 km lagi, kita sudah keluar di perbatasan Sumpu-Malalo. Dengan asumsi biayanya sekitar Rp 5 juta/km, maka kita butuh dana Rp 50 miliar guna membuka jalan baru tersebut. Bandingkan dana membuat flyover Sitinjaulauik, sangat jauh selisihnya.

Terdapat sejumlah keuntungan jalan ini; Pertama, jalannya landai dan layak untuk truk. Ini akan menaikkan efisiensi. Kalau melewati Sitinjaulaut, truk itu naik dengan gigi 1 dan turun dengan gigi 1.

Kalau di jalur baru, diperkirakan bisa memakai gigi 2 dan jalurnya lebih pendek, serta membuat biaya per kilometer logistiknya lebih murah. Dari Malalo, kita perlebar jalan keluar di Sumani terus ke Solok.

Baca Juga:  Paradok Pelarangan Transaksi Social Commerce

Inilah jalur alternatif bagi truk yang perlu diperlebar. Begitu pula bagi turis yang turun di BIM, hanya butih waktu 45 menit bila ingin ke Danau Singkarak. Bandingkan BIM-Bukittinggi, belum macetnya, sangat menyita waktu, nggak layak kalau terlalu lama untuk tujuan wisata dari bandara.

Bandingkan Pantai Kuta bisa jalan kaki ke bandara. Itulah kelemahan kita bahwa Sumbar pusat wisatanya semua jauh dari bandara. Di Danau Singkarak sangat banyak puncak indah, hotspot wisata, dan alam sepertinya diciptakan saat Tuhan tersenyum. Di Malalo ada Puncak Makau tempat  paralayang internasional berlatih.

Bila memandang Danau Singkarak, kita seakan sedang berada di Swiss. Dan, masih banyak puncak lainnya sekitar Singkarak, Malalo dan Sumpu. Semua ini potensi wisata sangat luar biasa.

Usulan jalan ini bisa lebih dekat lagi kalau menggunakan terowongan tol, paling juga biaya sekitar Rp 5-6 triliun juga, sama atau mirip biaya flyover Sitinjaulaut. Jalan ini juga sangat bagus ketika jalur padat seperti lebaran dan libur sekolah.

Dengan adanya jalur jalan ini, maka efisiensi logistik terselesaikan dan potensi wisata berkembang pesat Dengan begitu, pariwisata Padangpariaman, Tanahdatar sekitar danau maupun arah Pariangan dan Batusangkar, dan Solok sangat kompetitif.

Hal ini tentu mendatangkan PAD kepada ketiga kabupaten tersebut dan Sumbar. Kita ambil contoh daerah Badung salah satu kabupaten di Bali. Sebelum Covid-19, PAD-nya mencapai Rp 7 sampai 8 triliun.

Kita tidak perlu sebanyak itu, cukup PAD masing-masing kabupaten sekitar Rp 500 miliar per tahun sudah sangat mengangkat pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur daerah. Daerah kita pun “labiah tacelak”.

Jadi tantangan Sitinjalauik membuka peluang alternatif jalur via Asampulau atau Kayutanam, mana yang terbaik sesuai kajian lebih dalam. Tentu kawasan Singkarak, puncak hotspot seperti Makau, dan kawasan sekitar kantor bupati Padangpariaman dijadikan potensi wisata baru.

Akhirnya, menjadi pusat pertumbuhan dan pusat kota baru bagi masyarakat Padangpariaman. Itu kegembiraan tersendiri bagi masyarakat sekitar jika terealisasi, maka jadilah pariwisata Sumbar memiliki kawasan bagus dengan akses ke bandara cukup dekat.

Ini tentu memberikan sumber penghasilan banyak bagi masyarakat Piaman, Solok dan Tanahdatar. Dengan anggaran tertentu, kita bisa meletuskan potensi baru sumber penghasilan besar bagi rakyat, termasuk efek multiplier-nya. Berpikir seperti ini penting, dan perlu diperjuangkan bersama.

Tentu nanti masalah penata ruang dan lainnya masing-masing kita harus mempersiapkan dengan baik dan terencana. Sehingga, semuanya tidak asal tumbuh di tempat-tempat pariwisata itu dan nyaman dikunjungi banyak pihak.

Inilah barangkali pembangunan berbasis pariwisata yang sering kita lupakan, di mana tidak ada keterkaitan antara dinas pariwisata dengan orang yang merencanakan infrastrukturnya. Sehingga, berjalan sendiri-sendiri.

Bayangkan, uang Rp 5 triliun itu tidak perlu dijadikan flyover namun dijadikan untuk membangun jalan. Ini sangat luar biasa dan tidak membahayakan sopir truk. Memang ada ide lain yaitu membuat jalan dari Lubukminturun ke Paninggahan.

Itu terlalu jauh dan jaraknya diperkirakan 42 km. Kemudian, kemiringannya juga tajam sekali. Pemikiran alternatif jalan harusnya menimbang kemiringan, efisiensi logistik dan dampak pariwisatanya.

Hal-hal seperti ini kita terkadang lupa dan tidak berinovasi untuk berpikir out of the box, karena itu banyak tantangannya. Tantangan pertama hutan lindung harus diselaraskan dengan pemerintah pusat.

Di sinilah kebersamaan tokoh Minang, anggota DPR, rantau dan ranah, serta lainnya dikondisikan. Tantangan kedua penyelesaian ini tidak selesai dalam 1 periode kepemimpinan, maka harus ada kesadaran kepemimpinan berikutnya melanjutkan.

Ibaratnya, “kito guguah basamo-samo” untuk kebaikan Sumbar. Ini juga membuat pariwisata Tanahdatar, Solok dan Piaman jadi kompetitif karena dapat mempersingkat jalan ke tempat pariwisata lainnya, serta sekitar kabupaten tersebut, seperti ke Pagaruyuang, Pariangan dan lainnya.

Masalah ketiga anggaran, namun harusnya tidak masalah kalau membawa anggaran Rp 5-6 triliun untuk flyover bisa, asal kito pasamoan. Inilah yang kita maksud mengubah tantangan menjadi peluang.

Kita perlu memberikan terobosan pembangunan baru untuk masyarakat se-Sumbar. Terobosan yang juga harus didukung tokoh politik, senior Minang, pengusaha, birokrat dan lainnya, agar menjadi kerja besar kita. (*)