Ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW sebagai awal diturunkannya Al Quran di bulan Ramadhan adalah: Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq (Bacalah dengan menyebut Tuhan yang menciptakan). Wahyu pertama sekaligus perintah pertama itu menjadi titik awal sekaligus rahasia sukses kemajuan peradaban Islam.
Membaca dan menulis adalah dua aktivitas paling pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara ilmu laksana air mengalir yang menyuburkan peradaban. Sumber mata itu sendiri adalah Al Quran.
Hayatilah wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW itu. Nabi diperintahkan untuk membaca, dengan menggunakan kata Iqra’, asal katanya qa-ra-a, berarti mengumpulkan atau menghimpun.
Pada kata qara’a juga terkandung makna menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya. Begitu penjelasan M Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah.
Menariknya, perintah membaca mesti dilakukan dengan menyebut “Nama Tuhan” yang menciptakan. Syeikh Muhammad Abduh menafsirkan, “apabila kamu membaca, hendaknya kamu selalu membaca dengan pengertian bahwa bacaanmu itu merupakan perbuatan yang kamu laksanakan demi Allah saja, bukan demi sesuatu selain-Nya.”
Syekh Abdul Halim Mahmud dalam kitab al-Quran fi Syahril Quran menegaskan bahwa tujuan dan sasaran ilmu pengetahuan mestilah atas nama Tuhan. Ilmu pengetahuan yang didasari oleh Nama Tuhan akan dapat meraih segala kebaikan, kemuliaan, keutamaan, dan kebahagiaan setiap manusia.
Maka bacalah dengan nama Tuhanmu, bangkitlah dengan nama Tuhanmu, kuasailah ilmu dengan nama Tuhanmu, sehingga semua ucapan, gerakan dan diam pun dengan nama Tuhanmu.
Inilah kunci sukses kemajuan peradaban Islam. Al Quran menjadi sumber, inspirasi, triger, dan panduan buat umat untuk meraih peradaban gemilang. Terbukti, kesuksesan pertama diraih sendiri oleh Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW sukses mengubah peradaban yang telap gulita, jahiliyah, dan mereka benar-benar dalam kondisi yang nyata kesesatannya (dhalalin mubin).
Cara Nabi SAW melakukan perubahan itu adalah dengan mendidik umat membaca, memahami dan mengamalkan Al Quran dengan kemurnian akidah dan akhlak yang penuh hikmah (QS Ali Imran ayat 164 dan Al Jumuah ayat 2).
Allah juga menyandingkan kata membaca dan menulis (Al Alaq ayat 4). Wahbah al-Juhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan, “seandainya tidak ada tulisan, pastilah ilmu-ilmu itu akan punah, agama tidak akan berbekas, kehidupan tidak akan baik dan aturan tidak akan stabil.
Tulisan merupakan intrumen peralihan ilmu antara suatu kaum dan bangsa. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat terlestarikan dan berkembang sesuai yang dikehendaki oleh Allah SWT. Peradaban suatu bangsa akan berkembang, pemikiran akan semakin canggih, agama dapat terjaga dan agama Allah akan semakin tersebar luas.”
Ilmu yang berkembang dengan dasar Al Quran, bukan hanya terhenti pada tingkat mengetahui, namun harus diamalkan dan diajarkan. Dengan mengamalkan ilmu, maka berkembanglah kajian-kajian ilmiah lainnya. Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan: “Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan memberinya ilmu mengenai apa yang belum diketahuinya”.
Al Quran yang dipelajari harus menjadi akhlak sehari-hari. Ketika A’isyah ditanya tentang akhlak Nabi, jawabnya: wa kana khuluqul quran, akhlak Nabi SAW adalah al-Quran. Pantas saja disebut akhlak nabi itu agung (Al Qalam ayat 4), sehingga pribadinya menjadi teladan (QS Al Ahzab ayat 21) bagi manusia sepanjang zaman. Akhlak seperti inilah yang menjadi modal utama untuk sukses dalam gerakan dakwah dan tarbiyah.
Generasi shalafusshaleh juga mencapai kemajuan peradaban. Fauzi Muhammad Abu Zaid dalam kitabnya Kunu Qur’anan Yamsyi baina an-Nas, menyebut mereka adalah manusia terhormat yang dapat memimpin dunia, karena rahasia mereka terletak pada Al Quran. Mereka menjadikan Al Quran sebagai kitab yang hidup di antara mereka.
Kini, umat Islam masih berjuang menapaki jenjang kemajuan peradaban. Tak sedikit di antara umat yang silau akan peradaban barat dan negeri asing lainnya yang dinilai lebih maju dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.
Padahal peradaban yang terlepas dari akar agama, apalagi bertentangan dengan wahyu pastilah mengalami penyakit kronis. Secara fisik mereka maju, namun aspek ruhani manusia terabaikan, manusia laksana robot mempertuhankan harta dan kedudukan, hanya berjuang meraih untung dan selera syahwat meski dengan cara licik hingga brutal.
Banyak yang rindu akan peradaban gemilang yang dicapai era Nabi SAW dan generasi muslim di era kejayaan: Dinasti Abbasiyah dan Umayyah Barat. Namun apa yang harus kita lakukan?
Tidak ada pilihan lain: pelajari, amalkan, dan ajarkan Al Quran. Gerakan dakwah dan tarbiyah harus didesain secara matang untuk mencerdaskan umat dengan Al Quran. Ulama dan umara bekerja samalah untuk membumikan dan menghidupkan Al Quran. Tidak cukup hanya membaca dan menghafal, mesti diperkuat dengan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan isi Al Quran dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Al Ghazali dalam kitab Jawahirul Quran mengingatkan bahwa dalam Al Quran itu ada ilmu agama, jika dikelompokkan ada dua bagian utama: ilmu kulit dan ilmu saripati. Ilmu kulit (ulum al-shadf) adalah ilmu bahasa Arab terdiri dari lima cabang, yaitu ilmu lughah, ilmu nahwu, ilmu qiraat, ilmu makharijul huruf, dan ma’ani (memahami tekst).
Sedangkan ilmu saripati (ulum al-lubab) ada dua tingkatan pula. Tingkatan terendah terkait dengan ilmu kisah-kisah dalam Al Quran, ilmu kalam untuk memperkuat akidah, serta ilmu terkait hukum yang dikuasai oleh ahli fiqh. Sedangkan tingkat tertinggi adalah ilmu tentang Allah dan hari akhir.
Al Ghazali mengkritik mereka yang hanya berhenti pada ilmu kulit, tanpa berupaya memahami ilmu inti. “Tidakkah cukup musibah tatkala mereka hanya memahami Al Quran hanya pada tataran kulit terluarnya saja,” tulisnya.
Dengan menguasai ilmu yang terkandung dalam Al Quran, maka peradaban yang dihasilkan akan mendekatkan umatnya pada Allah SWT. Sejatinya makin cerdas umat ini, semakin tunduk dan patuh pada Allah SWT. Negeri seperti inilah akan memperoleh berkah (QS Al A’raf ayat 96).
Sebaliknya, ilmu yang tidak dilandasi dengan tauhid, buta dari ilmu ma’rifatullah, maka kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan mendatangkan malapetaka bagi peradaban manusia.
Nuzulul Quran yang kita peringati di setiap Ramadhan sejatinya meneguhkan semangat kita untuk menghidupkan Al Quran dalam setiap detak jantung, gerak pikir dan perbuatan kita untuk meraih kemajuan peradaban gemilang yang diridhai Allah SWT. Wallahul musta’an. (*)