Oleh : Two Efly, Wartawan Ekonomi
Tak lah anak Minang namanya kalau tak arif dan pandai membaca tanda tanda alam. Seorang anak Minang tentulah Pandai Mambaco nan ta Sirek di baliak nan ta Surek (membaca atau menangkap makna dari setiap peristiwa). Apa yang diamanatkan oleh “Alam Takambang Manjadi Guru” harus betul betul diaplikasikan dalam kehidupan. Baik dalam berpemerintahan maupun dalam mengelola dunia usaha.
Pepatah lama juga mengatakan Gabak di Hulu Tando ka Hujan, Cewang Dilangik Tando ka Paneh (Mendung di wilayah Hulu sungai tanda akan turun hujan, cuaca cerah pertanda Matahari akan bersinar terang). “Dilipatnya” tiga Bank Syariah milik Himbara menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) bisa mestilah contoh. Tak “beringsutnya” market share perbankan syariah secara local maupun nasional dari angka keramat 7 persen bisa jadi titik focus perhatian. Terjebaknya bangsa ini di jurang krisis dan resesi dalam dua tahun terakhir akibat Covid-19 juga bisa menjadi “Kodal” alias kode alam. Bisa jadi itu teguran untuk mengingatkan kita semua. Untuk itu arif dan pandailah membaca tanda tanda alam ini.
RUPS LB Bersejarah
Besok (Selasa 22 Juni 2021) pemegang saham Seri-A Bank Nagari (Gubernur, Bupati dan Walikota) akan menggelar Rapat Pemegang Saham Luar Biasa yang bersejarah sepanjang perjalanan Bank Nagari. Dalam RUPS-LB dengan agenda tunggal evaluasi konversi Bank Nagari. Apakah keinginan konversi yang dituangkan pada RUPS LB tahun sebelumnya dilanjutkan atau akan dievaluasi ulang untuk dikaji kembali sampai datangnya waktu dan momentum yang lebih tepat.
Penulis dalam kontek ini tidak memperdebatkan lagi tepat atau tidaknya konversi itu. Selain itu penulis juga tidak sedikitpun meragukan tentang potensi perbankan syariah di Ranah Minang khususnya untuk jangka panjang. Namun dalam tulisan ini penulis hanya mengingatkan kepada kita semua bahwa banyak kajian bisnis, prinsip dan dasar hukum yang selama ini terlupakan dalam melaksanakan konversi Bank Nagari dari Bank Umum Konvensional (BUK) menjadi Bank Umum Syariah (BUS).
Pertama, aspek Bisnis. Secara kajian bisnis tentulah “Urang Dapua” (Dewan Komisari dan Dewan Direksi bersama tim) sudah membuat kajiannya bisnis dan simulasi apa yang akan terjadi dimasa mendatang jika konversi dilakukan. Sebagai orang diperintah oleh RUPS LB diyakini sangat bahwa kajian bisnis dan simulasi yang dibuat para Dewan Komisaris dan Dewan Direksi itu sangatlah jelas, detail dan objektif sekali. Tak mungkinlah sebagai orang yang ditunjuk pemegang saham mereka membuat kajian abal abal apalagi mengada ngada. Pastilah mereka membuat berbasiskan data dan fakta. Pahit pastilah akan dikatakan pahit dan manispun akan disampaikan manis agar mereka tidak menyesal dan disalahkan dimasa mendatang.
Bagaimana hasilnya? Pemegang Saham Seri A (Gubernur, Bupati dan Walikota) sudah mendapatkan dan memahami. Sebab kajian itu bersifat tertutup dan hanya bisa diketahui oleh internal pemegang saham saja. Konon secara gamblang dan terang benderang Dewan Komisaris dan Dewan Direksi sudah memaparkan data, kajian bisnis dan simulasinya untuk lima tahun depan pasca terjadi konversi saat Rakor di bulan Mei 2020 yang lalu. Konon kabarnya hasilnya juga sangat mengagetkan kita bersama. Intinya, sangat beresiko memaksakan diri untuk konversi tersebut.
Pengalaman dimasa lalu mengatakan, konversi selalu saja menghasilkan turbulensi kinerja dijangka pendek. Ini fakta dan kita bisa berkaca pada sejumlah perbankan yang melakukan konversi. Selain asset yang turun, cash out flow pasti terjadi. Dana Pihak Ketiga turun drastis. “Larinya” Dana Pihak Ketiga yang bersumber dari Coorporate merupakan konsekwensi yang tak bisa dihindari. Regulasi juga mengamanatkan untuk penempatan dana pada Perbankan Syariah mustilah dilakukan pula oleh unit layanan syariah. Artinya, sepanjang instistusi yang menempatkan tidak memiliki unit investasi syariah maka dapat dipastikan mereka tak akan bisa pula menempatkan dananya di Bank Nagari Syariah.
Kalaupun ada upaya untuk mencarikan penggantinya dengan menyambil dana yang bersumber dari umat seperti BPKH dan Bank Syariah Indonesia tentulah belum dapat dipastikan. Dalam dunia perbankan sesuatu yang tak pasti sangat beresiko untuk rujukan dasar keputusan strategis. Sebuah komitmen baru dapat dikatakan okey apabila sudah menjadi transaksi dan mengendap dananya di Bank Nagari. Sepanjang baru berkunjungi, mendatangi dan menghasilkan komitmen lisan serta belum menjadi trasaksi maka itu sama saja dengan kabar angin.
Kenapa perbankan syariah lain bisa mengambil dana dari institusi non syariah? Itu syariah syariah an namanya. Kalau kita betul betul ingin syariah maka bersyariahlah dengan “Kaffah” (sebenar benarnya syariah). Jangan ambil dan tempatkan dana dilembaga non syariah. Jangan di “Subhad” kan lagi dana yang kita gunakan untuk pengembangan usaha. Bukankah tujuan kita untuk bersyariah untuk melepaskan warga dari riba?.
Begitu juga dengan dampak lain. Ibaratkan lokomotif kereta, ketika gerbong bergerak maka indicator lainnya juga akan terdampak. “Larinya” Dana Pihak Ketiga selain menurunkan total asset juga berdampak pada intermediasi. Ratio intermediasi akan melabung jauh melampaui angka 100 persen (mengacu data Loan to Deposit Ratio Bank Nagari per 31 Desember 2020) dan ini jelaslah tak sehat.
Tingkat kesehatan bank akan melorot dengan drastis. Ini juga akan mengunci fortopolio kredit sehingga untuk beberapa tahun ke depan Bank Nagari setelah konversi tak kesulitan untuk menyalurkan kredit hingga ratio intermediasi kembali berada di bawah 95 persen. Ini jelas akan berdampak pada kemampuan menghasilkan pendapatan bunga.
Muara akhir dari semua ini adalah penurunan laba usaha dan deviden yang harus diterima pemegang saham. Bisa saja deviden yang diterima oleh Pemprov, Pemkab dan Pemko hanya tinggal 55 persen dari total deviden yang diterima pada tahun sebelumnya.
Jika di masa lalu sebutlah salah satu kabupaten menerima Rp 20 Miliar per tahun bisa jadi setahun setelah koversi hanya akan mendapat Rp 9,5 Miliar. Bisakah kita menerima realita itu?. (Untuk kajian bisnis ini penulis sudah menerbitkan dengan detail pada tulisan sebelumnya dengan judul “Arok dek Punai Tabang, ……”, edisi 13 Maret 2021 di Harian Pagi Padang Ekspres)
Kedua, aspek Yuridis. Inilah yang selama ini kita lupakan. Salah satu Pemegang Saham Seri A Bank Nagari bernama Benny Utama SH MM (Bupati Pasaman) konon kabarnya sudah dua kali mengingatkan kajian itu. Pertama saat RUPS tahun buku 2020 tepatnya bulan Maret 2021 dan rakor (Rapat Koordinasi) Kepala Daerah beberapa jam setelah Rakor RPJMD dibulan Mei 2021. Disitu kembali ditegaskannya bahwa kita sudah salah langkah.
Fakta hukumnya sampai saat ini Bank Nagari masih bersandar pada produk hukum yang lama (perda dimasa lalu, baik diawal pendirian maupun perda berikutnya untuk setiap kali terjadi penambahan modal). Saham saham yang ditempatkan oleh pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota masih dituangkan dalam Perda untuk Bank Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat.
Ingat Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat bukan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat Syariah (BPD bukan BPD Syriah-red). Artinya, belum ada satupun dasar hukum yang bisa menjadi pijakan untuk mengalihkan saham dari BPD ke BPD Syariah.
Benar juga apa yang di katakan oleh Benny Utama. Selaku mantan Jaksa penyidik beliau mengingatkan kajian hukumnya harus ditinjau ulang dan diperkuat kembali. Sesuai Undang Undang, pemegang saham di Bank Nagari itu adalah Pemerintah Daerah.
Bupati bukanlah pemilik tunggal Pemerintahan Daerah. Bupati itu berdampingan dan bermitra dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Tak bisa hanya berbekal selembar surat dari Bupati/Walikota lalu dukungan dan persyaratan untuk melaksanakan konversi sudah cukup dan sangatlah kuat.
Kita juga musti ingat, Kabupaten dan Kota dalam setiap penempatan dananya menjadi modal Bank Nagari selalu dituangkan dengan Perda (Peraturan Daerah). Masak mengalihkan saham yang sudah ada dari bank konvensional ke bank syariah hanya dengan selembar Surat Keputusan Bupati/Walikota dan itu sudah bisa anggap setara dengan Perda. Ini jelas kealfaan kita bersama. Jangan dilanjutkan itu, itu sama saja artinya kita memberi ruang kepada DPRD untuk meng “inpact” Kepala Daerah dan ini jelaslah tak baik dalam tata kelola pemerintahan.
Penulis bukanlah orang hukum. Namun secara prinsip menurut penulis sebuah produk hukum hanya bisa dibatalkan dengan produk hukum. Undang undang dibatalkan dengan undang undang dan Perda hanya bisa dibatalkan dengan Perda. Hadirkanlah Perda konversi Bank Nagari itu dari masing masing Kabupaten dan Kota terlebih dahalu.
Bak kecek urang awak, Kok ta Icia di Japuik, Kok Umpang Disisik. Ndak elok mamasoan diri. Arih dan bijak lah mambaco bayang. Alam ta kambang menjadi guru. Evaluasi ulanglah keinginan konversi itu. Kalaupun enggan mengambil kata menunda atau membatalkan, carilah kalimat yang tepat sehingga tak ada yang merasa “dilukai” apalagi sampai merasa dikalahkan. Bisa saja kalimatnya mengkaji kembali konversi Bank Nagari sampai tuntasnya dasar hukum dan datangnya momentum yang tepat.
Selamat ber RUPS-LB, semoga 19 “Pendekar” di Sumatera Barat ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang tepat bagi Bank Nagari dan menguntungkan bagi semua pihak. (***)