Tumbangnya Perilaku ”Ago Ma Ago”

Abdul Aziz Pengamat Ekonomi dan Teknologi

PENELITIAN perubahan perilaku belanja yang dilakukan tahun 2020 di Italia oleh Leonardo Salvatero Alaimo dari Italian National Institute of Statistic dan dua rekannya Mariantonietta Fiore dari University of Foggio dan Antonino Galati dari University of Palermo, berhasil mengungkap perubahan perilaku belanja secara online.

Penelitian tersebut dilakukan terhadap 248 responden dengan kesimpulan bahwa 74,5% responden memiliki kepusan sedang dan tinggi terhadap belanja online. Pada awal penelitian juga diungkap bahwa tahun 2019 belanja online di seluruh dunia mencapai 190 miliar dollar AS dan diprediksi belanja online tumbuh 24,8% untuk periode waktu tahun 2020-2027.

Angka yang paling mengejutkan terlihat di Amerika Serikat. Pesanan makanan online diperkirakan meningkat 700% pada kwartal pertama tahun 2020 setelah pandemi Covid-19 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Terlepas dari berkembangnya penyebaran belanja makanan online, ada beberapa studi empiris yang bertujuan untuk mengamati dan memahami apa faktor utama yang mempengaruhi niat untuk membeli makanan secara online, dan merima teknologi m-commerce modern sebagai cara baru berbelanja.

Belanja online menawarkan beberapa keuntungan. Diantaranya kesempatan mengakses dan membandingkan berbagai kategori produk secara online yang tidak tersedia di pasar lokal, mengakses informasi yang bervariasi dan dalam jumlah yang sangat banyak, serta pembelian dapat dilakukan setiap saat sepanjang hari dan hanya tinggal menunggu belanjaan di atar ke alamat pembeli.

Belanja online juga akan mengurangi aktivitas fisik untuk berbelanja, menghemat waktu, sehingga dipandang menjadi suatu hal yang efektif dan efisein. Teknologi digital dan berbagai macam aplikasinya memang menghadirkan perubahan yang barangkali tidak terbayangkan sebelumnya.

Pandemi Covid-19 pun ikut memaksa manusia di bumi untuk belajar, memahami dan menggunakan teknologi m-commerce modern tersebut sebagai cara berbelanja. Belanja online dapat menjadi cara baru untuk menerapkan dan mencapai keunggulan bersaing berkelanjutan yang sangat kompetitif dalam lingkungan bisnis.

Hasil-hasil penelitian tersebut terungkap bahwa penggunaan teknologi m-commerce modern ini 69,4% responden sudah terbiasa membeli makanan secara online dan hanya 14,9% yang menyatakan agak sedikit kesulitan dalam berbelanja online, karena kurang mamahami teknologi digital tersebut.

Indonesia juga mengalami nasib yang sama dengan negara lain di dunia. Pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan tatanan pola kehidupan sosial masyarakat. Sumbar yang lebih dikenal sebagai provinsi dengan sejuta rumah gadang yang kental dengan budaya Minangbau juga tak luput dari terjangan pandemi Covid-19, sekaligus telah mengubah perilaku berbelanjanya.

Orang Minangkabau yang sering disebut orang Padang itu, memiliki perilaku berbelanja sedikit berbeda dan unik dibandingkan daerah lain. Kebiasaan suka menawar “ago ma ago” sebelum berbelanja, membandingkan harga yang satu dengan lainnya, membandingkan kualitas, mode, rasa dan lainnya sebelum membeli, kebiasaan orang Padang.

Bahkan, sering kita jumpai bahwa “ago ma ago” dikatakan sangat identik dengan orang Minang. Mengapa disebut identik “ago ma ago” atau tawar-menawarnya orang Padang lebih menekan dari pada daerah lain di luar Minangkabau?

Karena, orang Padang sangat waspada dan tidak mau tertipu soal harga pembelian barang. Perasaan sakit hati orang Padang ketika pernah membeli barang kemahalan tersimpan lebih lama, sehingga sudah menjadi kebudayaan untuk “ago ma ago” sebelum terjadi transaksi jual beli.

Untuk menghindari hal demikian, maka pembeli yang berasal dari Minang menawar juga tidak tanggung-tanggung dan tidak segan-segan menawar dengan harga sangat rendah.
Perilaku “ma ago” memang sudah mengakar sejak dulu kala pada budaya Minangkabau.

Kita masih bisa menjumpai tradisi “ma ago” yang masih sangat tradisonal pada proses jual beli ternak (sapi, kerbau dan lainnya) di Sumbar sebagai tradisi atau warisan yang masih terjaga dengan baik. Proses tawar-menawar ketika berlangsungnya jual beli ternak itu dikenal dengan istilah “marosok”.

Baca Juga:  SAU dan Preferensinya Kepada Calon Rektor

Budaya marosok erat kaitanya dengan rasa malu dan sopan santun. Pada zaman dahulu hewan ternak yang akan dijual, seperti sapi atau kerbau berasal dari peninggalan harta pusaka yang diturunkan dari leluhur suatu kaum keluarga.

Menurut Umassari (2017), dalam pandangan masyarakat Minang adalah hal yang memalukan dan menjadi aib apabila suatu kaum terpaksa menjual harta pusakanya. Namun ketika sakit, kematian, kebutuhan biaya pernikahan, biaya pendidikan dan lainnya, pihak keluarga terpaksa menjual harta pusaka mereka dan berusaha menjaga rahasia agar penjualan harta pusaka berupa hewan ternak tadi tidak diketahui orang kampung.

Sebab jika harga murah mereka dianggap mengobral harta pusaka, namun jika harga tinggi, mereka dianggap mencari keuntungan dengan menjual harta peninggalan nenek moyang mereka sendiri. Maka untuk menjaga kerahasiann itulah tradisi marosok ini lahir.

Tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang dilaksanakan secara marosok dilakukan tanpa suara dan hanya menggunakan bahasa isyarat dengan media jari tangan. Dan uniknya lagi transaksi ini umumnya dilakukan laki-laki, baik sang pemilik ternak itu sendiri, maupun meminta bantuan orang lain untuk menawarkan ternaknya kepada calon pembeli (karena si pemilik ternak tidak piawai dengan proses marosok).

Selalu ada orang yang siap untuk menjembatani proses marosok ini. Biasanya orang yang berperan sebagai parosok dianggap mengerti tentang berat tubuh ternak, banyak daging dan kondisi hewan ternak yang akan di perjual belikan.

Tradisi marosok, selain sebagai rahasia dagang juga merupakan bentuk etika penjagaan hubungan baik antar pedagang ternak, karena kode etiknya lebih terjamin tidak menyinggung perasaan teman penjual lain.

Kode etik yang dimaksud adalah rasa tenggang rasa antar penjual ternak dalam hal tawar menawar teranak. Sifat tenggang rasa dianggap sebagai salah satu sifat yang paling dijunjung tinggi masyarakat Minangkabau.

Rasa tenggang rasa dikenal dengan konsep raso jo pareso. Raso jo pareso memiliki makna yang mendalam yang merupakan suatu pedoman kebijaksanaan orang Minangkabau dalam berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain.

Pandemi Covid-19 melalui belanja online berhasil mengubah perilaku orang Minang yang suka ma ago, membanding-bandingkan harga dan kualitas secara berlebihan, suko ma miliah dan budaya mambali nak rancak, harago nak murah.

Belanja online yang sudah merambah sampai ke kota-kota kabupaten di seluruh Sumbar benar-benar telah menggeser perilaku cara membeli orang Minang. Melalui belanja online, orang Minang tidak bisa lagi melakukan ago ma ago karena harga yang tertera adalah harga final yang harus dibayar si pembeli kepada penjual.

Belanja online awalnya terbatas pada belanja makanan akibat pandemi Covid-19, kini sudah merebak ke berbagai kebutuhan. Berangkat dari berbagai bentuk diskon harga, dapat membandingkan berbagai jenis produk, foto-foto produk yang menggiurkan sebagai bagian dari promosi dan kemudahan berbelanja lainnya berhasil merubah keputusan pembelian orang Minang yang suka ma ago untuk melakukan pembelian tanpa ma ago.

Berkembangnya teknologi e-commerce dan berbagai aplikasinya dalam bidang perdagangan memang tak terbantahkan lagi mengingat teknologi itu telah memberikan kemudahaan dan berbagai keuntungan kepada kehidupan sosial dan peradaban manusia.

Namun sebagai orang Minangkabau yang sangat mencintai budayanya harus mewaspadai dan melakukan pengendalian secara bijak agar keberadaan dan pemanfaatan teknologi tidak sampai merusak moral dan akhlak masyarakat Minangkabau sebagai penjual maupun pembeli dalam berbisnis. (*)