Daring dan Ketidakjujuran

124

Oleh : Two Efly, Wartawan Padang Ekspres

Siak ka lisiak daun jilatang
Nan cadiak ba usaho mangaliciak
Nan luruh tabuang jo aturan akhirnyo ta icia surang di balakang

Seperti itulah dunia pendidikan di Kota Padang khususnya dan Sumbar umumnya. Pasca Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berjilid jilid dengan status level 4, dunia pendidikan di Kota Padang seperti pohon di tengah rimba.

Ada yang tumbuh tinggi dan banyak juga yang tumbuh kecil. Tegasnya pemerataan dan kesempatan untuk Pembelajaran Tatap Muka (PTM) tidaklah berlaku secara merata. Ada sekolah yang sudah melaksanakan tatap muka dengan cara “mengakal-akali” regulasi dan ada yang “luruih tabuang” sehingga tetap melaksanakan pembelajaran daring.

Ini realita. Tak perlu ditanya sekolah mana yang sudah tatap muka. Pemerintah memiliki sarana yang cukup untuk menelusuri itu. Turunlah ke lapangan. Penulis yakin tak sulit untuk menemukan itu. Bukankah kebijakan ganda ini sama artinya dengan diskriminasi pendidikan?

Daring dan Ketidakjujuran

Di masa pandemi Covid-19 ini semua kita pasti sepakat bahwa keselamatan jiwa manusia adalah prioritas utama. Namun, pasrah menerima takdir juga tidaklah elok. Ancaman jelas menghadang. Di depan mata Covid-19 membentang, di masa mendatang ancaman loss generasi menghadang. Dua pilihan pahit ini sama sama menghadapkan kita ke jurang ketidakpastian.

Memang saat ini proses belajar dan mengajar masih berlangsung dengan sistem daring. Namun di lapangan kita pun harus jujur mengakui daring sudah mulai salah arah dan berubah fungsi.

Ada beberapa dampak nyata yang sudah kita rasakan saat ini sebagai buah terselubung sistem Daring. Pertama, daring mendekatkan dan melengketkan anak dengan gadget. Mulai pagi sampai siang anak anak kita mesti menggunakan gadget untuk belajar.

Setelah belajar tak tertutup kemungkinan siangnya disambung lagi dengan membuat tugas. Di sini anak kembali bermain dan browsing melalui gadget. Selesai tugas anak kita kembali membutuhkan gudget setidaknya untuk mengirimkan tugas yang sudah dikerjakan. Tidak selesai sampai di situ, dengan mimik sedikit “ngeles” anak kita kembali mintak diberi waktu hiburan dengan bermain game.

Kalaulah direratakan dalam sehari anak-anak kita bergelut dengan gadget lebih kurang 6 jam sampai 8 jam per hari.

Kedua, daring mengajarkan ketidakjujuran. Esensi dasar pendidikan adalah etika dan karakter. Transfer ilmu dan teknologi hanya bagian dari tujuan akhir pendidikan. Ilmu tanpa etika bisa jadi bumerang, namun ilmu dan etika kalau disatukan akan membawa kemaslahatan.

Sistem daring sangat sulit mendapatkan itu. Pembentukan etika dan karakter hanya dapat dilakukan dengan pengawasan langsung di lingkungan sekolah. Pesan pesan moral ini disampaikan secara bertahap dalam setiap kali proses belajar mengajar.

Lihatlah realita daring. Kondisinya sangat jauh berbeda. Hari ini yang bersekolah adalah ibunya. Hari ini yang membuat tugas dan bisa jadi yang menjawab soal ujian adalah ibu atau kakak dan atau guru privatnya.

Ini lumrah saja. Sebab, setiap orang tua ingin anak mendapatkan nilai yang bagus. Setiap orang tua tak ingin nilai anaknya tak tuntas. Artinya, demi sebuah nilai akademik lakukan apa yang bisa dilakukan. Soal anak benarkah memiliki ilmu atau tidak itu soal lain. Toh orang tua lain tak tertutup kemungkinan melakukan hal yang sama.

Itu hanya sekelumit dari salah arahnya daring saat ini. Kalau mau ditelusuri bisa jadi lebih banyak dari itu. Untuk itu evaluasilah sistem daring ini. Kerusakan dari sistem dari ini sudah semakin nyata dan parah.

Tatap Muka dan Vaksin

Menyesali takdir tak ada gunanya tapi pasrah menerima realita juga salah. Covid-19 memang memaksa dan mengunci kita. Namun membiarkan dunia pendidikan seperti ini dalam jangka cukup panjang juga membahayakan bangsa.

Baca Juga:  Kendaraan Listrik Masih Sebatas Lifestyle

Nyaris hampir dua tahun sudah kita melaksanakan PBM dengan sistem daring. Dalam dua tahun inipun kita bisa melihat hasilnya seperti apa. Cari lah kreasi baru dan beranilah dalam mengambil keputusan.

Kalau tak mungkin menghasilkan kreasi baru berlakukan kembali PBM tatap muka. Janganlah disparitas dan diskriminasi kesempatan untuk belajar dibiarkan berlangsung seperti ini.

Kalau tak memungkinkan untuk memberlakukan 100 persen per ruang kelas berlakukan sistem genap ganjil seperti semester II tahun 2020 yang lalu. Kalau tak memungkinkan juga kita kurangi lagi hingga 30 persen dari kapasitas kelas.

Bukankah ini akan membuka peluang melambungnya kembali kasus covid-19? Bisa saja. Tak ada yang bisa menjamin Covid ini tidak akan mewabah. Sebaliknya, tak tatap muka pun covid ini tetap juga mewabah.

Kenapa kita mengorbankan masa depan anak bangsa. Toh di luar sana warga masih banyak warawiri tanpa melaksanakan Prokes sebagai mana mestinya. Justru anak didik di sekolah jauh lebih taat dan patih dengan prokes. Kalau tak percaya lihatlah jubelan warga di fasilitas publik. Datangi tempat nongkrong dan hiburan. Maaf kata, PPKM level 4 di Kota Padang bak cita rasa PPKM level 2.

Orang bijak berkata, “hidup ini penuh risiko”. Tak ada sisi kehidupan kita yang lepas dari resiko. Sebagai umat kita diwajibkan untuk meminimalisir risiko itu.

Bagaimana caranya? Lakukan vaksin massal. Harus kita akui saat ini ratio vaksin di Sumbar khususnya kota Padang masih terlalu rendah dibandingkan wilayah lain. Ini pulalah yang membuat status PPKM level 4 menjadi betah.

Ada beberapa hal yang membuat ratio vaksin ini tak kunjung merangkak naik. Pertama, ketidakpercayaan masyarakat pada vaksin itu sendiri. Ini dipicu massifnya hoax yang beredar dari mulut ke mulut dan medsos. Kedua, enggannya masyarakat meluangkan waktu untuk pergi vaksin. Ini juga bisa dilihat dari relatif sepinya warga di tempat pelaksanaan vaksin.

Realita ini jelas sangat tak menguntungkan. Pemerintah terutama satgas Covid-19 sudah harus mencari cara agar ratio vaksin ini terus merangkak naik. Sudah saatnya strategi menunggu dikombinasikan dengan menjemput bola. Artinya, selain didatangi calon pasien, mendatangi calon pasien juga harus dilakukan.

Mungkinkah? Ini jelas sangat mungkin. Dalam dunia marketing Strategi Bedah Wilayah (SBW) menjadi senjata ampuh membuka pasar. Selain mampu menyisir potensi dengan lebih terukur, hasilnya pun lebih terlihat nyata. Mungkin sudah saatnya strategi bisnis ini dilakukan.

Efektif kah? Penulis yakin sangat evektif. Di Kota Padang sendiri terdapat 114 kelurahan. Artinya satu kelurahan dilakukan vaksin massal di satu RT. Bila dalam satu RT tersebut berhasil divaksin 50 pasien maka dalam sehari sudah dilakukan vaksin terhadap 5.700 pasien. Bayangkan kalau pola itu dilakukan selama satu bulan maka ratusan ribu warga sudah mendapatkan vaksin. Bila itu terlaksana bisa jadi Kota Padang menjadi kota yang tertinggi Ratio Vaksinnya di Pulau Sumatera.

Selain itu, mendatangi calon pasien vaksin jadwal layanan vaksin pun sebaiknya di perpanjang. Saat ini rerata vaksin dilangsungkan di puskesmas dari pagi sampai pukul 12.00 WIB. Kalau perlu tambah waktu layanan hingga siang harinya.

Buka peluang untuk lakukan vaksin mandiri. Ini bisa saja dilakukan mengingat ada warga yang tak bersedia menunggu atau mengantri. Selain itu bisa jadi ada yang enggan menggunakan vaksin Sinovac. Di vaksin mandiri ini warga bisa saja memilah dan memilih sesuai keinginan masing-masing.

Bak ma ambiak rambuik dalam tapuang, rambek dapek tapuang indak taserak. Kita selamatkan anak bangsa, kita lindungi warga dari covid-19. Mari kita lakukan vaksin dan belajar tatap muka. (***)