Oleh : Two Efly, Wartawan Ekonomi
Berang ka mancik lubuang nan dibaka. Ndak ka tuju jo latak parabot rumah nan tuka. Macam itu begitulah nasib negeri ini. Mudah-mudahan tidak berujung dengan uruik salido, lah diuruik mako ka cido, he he he.
Pertengahan April 2022, Pemimpin negeri ini marah karena harga minyak goreng tak kunjung jinak dan bisa dikendalikan. Padahal, sejumlah senjata pamungkas sudah dikeluarkan. Domestik Marketing Obligation (DMO) sudah dihapus. Harga Eceran terendah dan tertinggi juga sudah diberlakukan. Tapi yang namanya minyak tetap juga lincia dan licin.
Di sejumlah wilayah minyak goreng khususnya minyak curah masih sulit didapatkan. Tak mau berlama lama dalam kondisi sulit “kiper bangsa” ini akhir maju menyerang. Dia marah dan dibilang hentikan ekspor Crude Palm Oil dan Migor. Mungkin di matanya ekspor inilah pemicu naik tak karu-karuannya harga Migor. Bisa jadi naiknya harga karena minimnya stok bahan baku. Pengusaha sawit lebih senang ekspor ketimbang memproduksi Migor untuk domestik.
Kenapa harga naik? Macam-macamlah alasannya. Ada yang mengatakan dampak perang Rusia dengan Ukraina. Ada pula yang mengatakan Crude Palm Oil mulai dialihkan pada produk derivatif lainya karena lebih bernilai ekonomi dari pada minyak goreng.
Semua alasan dan analisa itu ada juga benarnya. Yang namanya produk bisnis dan dikuasai oleh lembaga bisnis tentulah orientasinya bisnis murni. Dimana untung lebih besar maka dia akan mengalir kesitu. Ini lumrah saja dan setiap pengusaha pasti akan melakukan itu. Hanya pengusaha aneh dan bodoh yang tak mau menangkap peluang itu.
Lihatlah realita pasar internasional. Tahun 2020 harga Crude Palm Oil di kisaran US 715 per ton. Tahun 2021 naik menjadi US 1.194 per ton. Pasca dimulainya perang Rusia vs Ukraina harganya naik lagi menjadi US 1.400 per ton. Ada game yang tinggi dari perubahan harga Crude Palm Oil di pasar internasional. Pengusaha sawit mendapatkan Windfall profit yang tinggi. Hitung-hitung rejeki nomplok alias Rasaki Harimau lah bagi pelaku bisnis kelapa sawit.
Kenapa harga Global naik lagi? Uni Eropa saat ini sedang mengalami kekurangan pasokan minyak nabati. Selama ini minyak nabati uni eropa didominasi oleh minyak nabati yang bersumber dari bunga matahari, kacang kedelei, jagung dan Rampeseed. Bahan baku itu mayoritas diproduksi oleh negara eks Uni Soviet. Kini Negara itu sedang terlibat konflik perang terbuka. Produksi bahan baku terganggu, distribusi bahan baku pun terganggu. Uni Eropa kesulitan mendapatkan minyak nabati. Minyak nabati dari Crude Palm Oil yang selama ini diembargo kini mulai diburu.
Itu di pasar global, di pasar domestik juga terjadi lonjakan. Pasca merangkak naiknya harga Tandan Buah Sawit (TBS) dari September 2021 berdampak besar pada cost produksi Crude Palm Oil dan Minyak Goreng. Harga TBS merangkak naik dari Rp 1.500 per kilo menjadi Rp 3.800 per kilo. Malahan harga sempat menyentuh topnya di tingkat Rp 4.000 per kilo nya. Inilah posisi harga tertinggi semenjak empat tahun terakhir.
Siapa yang diuntungkan? Jelaslah petani sawit. Kenaikan harga TBS bagaikan angin segar bagi petani sawit. Bak setetes hujan ditengah kemarau panjang, kenaikan harga yang begitu tinggi jelaslah bak durian runtuh. Petani sawit betul-betul tertolong. Pendapatan mereka meningkat hampir tiga kali lipat dari bulan bulan sebelumnya. Cukup banyak Orang kaya baru (OKB) di daerah sentra sawit. Lihatlah data data konsumsi. Mayoritas naik berkali kali lipat.
Dari sisi produksi tentulah kalkulasinya berbeda. Bahan baku mahal, produknya otomatis juga harus dijual mahal. Tak mungkin dong bahan baku mahal lalu produk turunannya dijual lebih murah dari itu. Siapa yang musti menanggung biaya produksi dan biaya operasional lainnya. Tak ada rasanya produsen yang mau berbisnis rugi. Dilema produksi dan pasar inilah yang memicu kelangkaan.
Kelangkaan Migor beberapa bulan lalu itu adalah sinyal kuat dari produsen untuk dapat melakukan penyesuaian harga. Sayang sinyal itu sangat terlambat dibaca pemerintah. Keterlambatan inilah yang akhirnya dibayar mahal dengan terjadi kelangkaan di pasar dan berujung panic buying.
Larang Eksport dan Pukulan Harga
Larangan eksport tak ubahanya langkah panic dan keliru. Tak tau lah kita siapa yang membisikikan nahkoda bangsa ini hingga terlontar keinginan untuk melarang ekspor. Ditegasnya tanggal 28 April 2021 larangan eksport itu berlaku efektif.
Tepatkah? Pasti tidak. Kebijakan ini justru bisa menjadi boomerang. Pasalnya, dari 25,53 Juta ton produksi Crude Palm Oil di Indonesia, lebih kurang 60 hingga 64 persennya masuk pasar global melalui jendela eksport. Bayangkan jika larangan eksport itu benar-benar diberlakukan. 60 persen dari Crude Palm Oil yang selama ini mengisi pasar global akan menumpuk di pasar domestic.
Ini jelas berbahaya. Penumpukan produksi akan memicu ekses suplly. Ekses suplly dipastikan akan menekan harga ke titik terendah. Buktinya, harga Tandan Buah Sawit di Sumbar saja per tanggal 25 April 2021 sudah melorot dari periode sebelumnya.
Baru seminggu pasca Presiden Jokowi mengucapkan larangan eksport harga TBS mulai terjun bebas. Di Sumbar harga TBS turun re rata Rp 1.900 per kilo. Harga TBS saat dipatok dengan re rata Rp 1.900 sampai dengan 2.500. Bisa jadi periode berikutnya kembali akan menyentuh titik terendah kembali.
Kalaupun menyentuh titik terendah masih mendingan. Yang paling kita takutkan pabrikan Crude Palm Oil tak mau lagi membeli buah dari petani. Mereka lebih mengutamakan buah dari kebun sendiri. Bayangkan betapa menjerit dan menderitanya petani akibat larangan eksport tersebut. Ingat !!! Ke enggan untuk membeli buah dari petani itu sendiri juga sudah mulai terjadi. Tak percaya? Lihat dan turunlah ke lapangan.
Batalkan saja Larangan Ekspor itu
Orang bijak berkata mencegah lebih dari pada mengobati. Sebelum larangan eksport itu berdampak fatal, lebih baik larangan itu dibatalkan saja. Sebab, larangan eksport itu hanya akan menghasilkan dampak buruk secara sistemik. Baik bagi Negara maupun bagi pelaku usaha apalagi bagi petani sawit.
Bagi Negara, larangan eksport sama saja artinya menghilangkan pasar yang selama ini sudah dikuasai. Ingat pasar global tak akan bisa sabar. Bagi mereka kalau tak ada Crude Palm Oil dari Indonesia maka mereka akan mencari dari pasar lain. Ingat, produsen sawit di dunia ini bukan hanya Indonesia. Di belakang kita masih ada Malaysia dan Thailand serta beberapa negara di Afrika. Pasal Global pasti akan mereka tutupi. Bagi mereka larangan eksport tak ubahnya durian runtuh. Pasar yang selama ini kita kuasai dapat direbutnya dengan mudah tanpa harus bekerja keras dan memeras keringat.
Bagi Negara, larangan eksport juga mendatangkan dilema baru. Pajak eksport Crude Palm Oil yang selama ini terbilang besar dan gemuk menjadi hilang. Ini jelaslah sebuah kerugian besar apalagi saat ini negara lagi kesulitan likuiditas. Penurunan pendapatan pajak dalam negeri sudah jadi rahasia umum.
Satu lagi, larangan eksport inipun kelak akan memukul telak pertumbuhan ekonomi karena salah satu indicator pertumbuhan ekonomi adalah realisasi eksport. Jangan jangan pasca diberlakunya larangan eksport ini Neraca Perdagangan internasional kita terjerumus level minus. Import bisa jadi jauh lebih besar dibandingkan dengan Eksport.
Jauh lebih lagi, di tingkat produsen alias petani. Larangan eksport dipastikan akan memukul telak harga Tandan Buah Sawit. Ini sudah terjadi. Kalau tetap dilanjutkan maka tak tertutup kemungkinan gelombang penurunan harga akan terus terjadi.
Sudahlah, kita boleh risau dengan kelangkaan Minyak Goreng. Namun sebagai nahkoda kita tak boleh panic apalagi dihadapan 250 juta lebih penumpang kapal besar bernama Indonesia. Ingat didepan mata ombak dan badai masih menghadang. Lebih kurang 250 juta lebih penumpang kapal bernama nusantara ini membutuhkan kematangan mental dan sikap profesionalisme nahkoda kapalnya.
Batalkan sajalah larangan eksport itu. Janganlah karena ingin membunuh seekor tikus lalu lumbung penyimpangan padinya yang kita bakar. Sisir dan lokasirlah permasalahan. Kalau memang ingin menyelamatkan stock minyak goreng dalam negeri mungkin lebih baik kuota eksportnya yang dibatasi. Misalnya, Crude Palm Oil untuk sementara waktu hanya boleh 50 persen untuk eksport dan 50 persen lagi untuk memenuhi kebutuhan domestic.
Solusi lain yang bisa ditempuh adalah menaikkan pajak eksport. Ini jauh lebih bijak menguntungkan. Harga Tandan Buah Sawit bisa stabil kembali seperti sebelumnya, petani sawit kembali tersenyum riang dan pendapatan pajak eksport bisa ditingkatkan. Muaranya pendapatan negara pun akan meningkat.
Sekali lagi sudahlah, hentikan saja keinginan untuk larangan eksport itu. Lebih baik kita memikirkan untuk menghidupkan kembali ekonomi yang sudah telanjur nyungsep akibat pandemic ini. Jangan biarkan petani menjerit kembali. Biarkanlah pertani dengan hati tenang dan riang turun ke ladang. Jangan sampai petani yang seharusnya turun ke ladang akhirnya mereka turun ke jalan seperti anak-anak mereka yang sedang duduk di bangku perguruan tinggi saat ini. (***)